Rabu siang, gawai saya berdering. Rupanya yang telpon Gus Pete alias Gus Ali syaifullah. Sahabat sejak mondok 2002 lalu. Dalam percakapan via telepon itu beliau bilang hendak mampir ke rumah.
Setiap ketemu, kami selalu membincangkan tentang pesantren dan perkembangannya. Maklum saja, dengan umur yang masih muda, saat ini beliau diamanahi untuk ngopeni (ngurusi) pesantren keluarga di desanya.
Jadi menurut Gus yang satu ini, dia butuh banyak referensi dan teman untuk saling bertukar pikiran soal lembaga endogenusnya Indonesia ini.
Kala itu obrolan kami menyoal tentang bagaimana bahasa Arab di kelola di pesantren. Kami sepakat bahwa pesantren memposisikan bahasa Arab sebagai alat untuk mengupas ilmu agama yang dijabarkan melalui turats atau kitab-kitab kuning pesantren bukan sebagai alat komunikasi seperti yang dilakukan oleh pesantren modern yang konsen kepada praktek berbahasa.
Ingat ya, di pesantren tradisional itu bahasa Arab dipelajari sebagai alat menganalisis struktur kata, sampai kalimat. Maka jangan heran jika di pesantren tradisional, dars bahasa Arab lebih banyak disuguhkan dalam bingkai ilmu bahasa bukan praktek berbahasanya. Nah, dari obrolan kami itu saya bertanya ke Gus Pete.
“Gus, lantas jenjang kitab-kitab dasar yang membahas struktur bahasa dalam bentuk bait-bait yang jumlahnya ratusan hingga ribuan itu bagi santri ideal manfaatnya seperti apa?”
“Jurumiyah itu, jenjang bagi santri yang ingin bisa membaca kitab. Sebab dasarnya qoidah dasar struktur bahasa Arab itu ya sudah termaktub di jurumiyah itu. Komplit sudah, (urainya dengan mimik muka menggebu)., kalau Alfiyah, ini berarti santri sudah masuk ke kevel hendak menulis atau menyusun kitab karena bobotnya alfiah itu sudah ke ranah menata bahasa pake rasa dan rima,” jawabnya.
“Lha kalau imrithi gus, Di mana posisinya,” sambung saya.
Gus Te menggeser duduknya. Lantas mengangkat tangannya. Seraya berujar.
“Nah kalo yang itu sebagai penghubung atau konektor gitulah sebelum santri masuk ke ruang alfiyah. Jadi imrithi itu semacam warming up gitu agar santri ga kaget kalau masuk ke alfiyah langsung. Imrithi itu sejatinya mengulas ulang jurumiyah kok, tapi ada pula bab-bab yang isinya sudah mulai menggiring sebagai penghantar menuju Alfiyah.”
“Oooo ngeten nggeh Gus. Sejatinya santri itu kalau PD sama keilmuan yang ada di Pesantren bisa keren ya, kayak Gus Baha itu. Ilmunya kok bisa menyegara gitu.” Saya memberi penekanan atas apa yang telah disampaikan Gus yang makin keren ini.
“Ya itu tantangan hari ini mber (ini nama kondang saya selama sekolah sama beliau dulu. Mber — alias Tember). Santri hari ini belajarnya sepotong sepotong. Belajar diniyyahnya juga cuma sambilan (saya merasa tersindir). Kalah sama urusan-urusan yang lebih formal (mungkin maksudnya sekolah formal). Tapi memang sudah jamannya kok, makane santri saiki ga podo wani dadi Kiai. Karepe kabeh dadi pedagang atau guru atau kerja kerja yang lain. Tapi ya tetap ada status santrinya. Jadi mekikuk kalau kayak gini.” Saya potong keluhannya dengan menawarkan kopi yang sudah saya buatkan.
“Diunjuk Te, kopimu!”
Tanda ba bi bu dia lantas menyruput kopinya. Sama seperti yang sudah sudah, selepas nyeruput kopi yang saya buat, gusPete langsung komentar.
“Kok enak to mber kopimu mesti’an.”
“Yo enak to Te, wong Ra umbas, karek Nyeruput.”
Kami tertawa bersama. (*)
Dosen IAIN Tulungagung.