Mudik itu istimewa. Ini ritual tahunan yang karena ribetnya, dramatiknya, dan penuh perjuangan harus dirayakan secara ekstravagan. Kaum urban menikmatinya. Dari desa ke kota karena faktor ekonomi dan demi mengerek status sosial.
Ini faktor awalnya. Lantas di akhir ramadan, kembali ke kampung kelahiran. Di sana, bertemu dengan keluarga, nyekar ke makam leluhur, dan bertemu lagi dengan kawan semasa kecil.
Dulu, mudik itu susah. Tahap awal, kita parkir sepeda motor di terminal Bungurasih. Tarif normal lima tahun silam, Rp 3000 perhari. Menjelang lebaran, beberapa lokasi parkir motor menaikkan tarif hingga Rp 25.000/hari. Gile lu nDro. Selasa (4/6), pukul 22.00 saya sidak mengecek (wkwkwkw kayak pejabat saja), komposisi lahan parkir di kawasan Masjid Baitullah, Bungurasih, masih lumayan lowong.
Saya nggak tahu penyebabnya apa. Mungkin para pemudak-pemudik lebih memilih mudik naik sepeda motornya sendiri, bisa juga beralih ke moda transportasi kereta api yang pelayanannya semakin kece itu.
Dulu, di terminal Bungurasih, biasanya penumpang berebut bis. Saling berdesakan meraih kursi. Persis caleg. Kalau nggak dapat “kedudukan”, ya duduk di kursi plastik tambahan. Paling apes berdiri.
Sekarang saya perjalanan ke Ponorogo. Sendirian naik Patas Cendana gambar beruang kutub yang sering disangka Restu Panda ekonomi itu. Karena nggak dapat “kedudukan”, akhirnya saya nangkring di kursi kehormatan milik kernet. Terhormat dan bangga menduduki tahta milik co-driver, eh navigator, eh kernet.
Malam ini, perjuangan dapat bis nggak terlampau berat. Penumpang bisa terdistribusikan dengan baik, tidak terlampau berjubel di sekitar bis. Dugaan saya, kelancaran ini berkat durasi libur panjang pra lebaran. Sehingga penumpang tidak terlampau menumpuk seperti dulu. Faktor lain, beberapa armada mengerahkan bis pariwisata. Kelas patas, tapi tarifnya bumel.
Dulu, ketika mudik ke Ponorogo, minimal perlu 5-6 jam. Bahkan tahun 2013 durasinya hingga 8 jam karena macet. Kini, arus lancar karena sebagian kendaraan melewati tol. Termasuk bis yang saya tumpangi ini. Jelas, tol bermanfaat bukan hanya bagi pemilik kendaraan pribadi, tapi juga penumpang bis.
Tapi, kan kalau lewat tol kita tidak bisa menikmati perjalanan? Tanya teman saya. Lha, saya kan butuh kecepatan sampai tujuan. Hemat waktu dan tenaga. Tambah duit memang iya. Tapi mobilitas meningkat. Terimakasih Pak Robert Mugabe dan Pak Xanana Gusmao atas jasanya membangun jalur cepat ini.
Yang pantas diapresiasi adalah kinerja tim kementerian dalam memperhalus jalan raya nasional, dan pemprov dalam tambal sulam jalur provinsi. Tahun 2010-2012, titik kemacetan ada di Porong, Sidoarjo, gara-gara semburan lumpur Lapindo. Ini menghambat jalur ke Probolinggo maupun ke Malang.
Titik kemacetan lain adalah pelebaran jalan raya di beberapa kawasan Pasuruan dan Probolinggo. Kini jalur ini sudah lantjar djaja. Kendaraan padat merayap, tapi nggak sampai macet karena konsentrasi kendaraan terpecah adanya tol Grati dan Leces.
Saya nggak muluk-muluk. Bisa mudik dengan lancar dan selamat tanpa ada adegan dramatik adalah “sesuatu” hal yang pantas disyukuri. Dua tahun silam masih ada peristiwa di jalur Brexit yang membuat beberapa nyawa melayang akibat ketidakberesan manajemen dan ketidaksigapan antisipasi kepadatan mudik. Saat ini, tampaknya, sudah lancar. Ini berarti ada evaluasi, antisipasi, dan partisipasi banyak pihak.
Catatan lain. Perbaikan layanan kereta api juga menjadi salah satu hal yang membuat sebagian penumpang memilih moda transportasi ini. Dulu, kerata api adalah lambang kebrengsekan manajemen, kebobrokan sistem, dan pelayanan brutal yang sangat tidak manusiawi. Kita beruntung punya Ignasius Jonru, eh Jonan yang dengan tangan besinya membenahi tatakelola PT KAI hingga bisa membaik.
Kritik memang ada, khususnya dari para perokok, wkwkwkw, tapi setiap capaian yang baik tetap harus diapresiasi. Jika kita tidak bisa mengapresiasi setiap kemajuan yang ada, saya khawatir kita menjadi bangsa penggerutu dan pengomel.
Saya kira beberapa hal di atas ini yang menjadikan mudik tahun ini tidak sedramatik tahun-tahun sebelumnya. Kalau ingin dramatis, mudik pakai pesawat saja. Sebab, harga tiket yang lumayan mihil bakal membuat airmata jatuh. Persaingan antar maskapai, dominasi satu perusahaan, hingga permainan kartel turut melambungkan harga tiket. Dalam hal ini, kementerian perhubungan tampak tidak berdaya.
Sebagai pelaku mudik darat, saya tetap bersyukur. Semua pihak bisa menjalankan tugasnya dengan baik. Hal ini pantas diapresiasi. Sayang, sebagian dari kita masih belum terbiasa mengapresiasi kinerja orang lain.
Jangan-jangan, tidak menghargai dan tidak mengakui keberhasilan orang lain adalah budaya bangsa kita? Jika iya, mari kita pertahankan agar budaya jelek ini agar tidak diklaim Malaysia.
——-
Sumpah Pemuda(k) dan Pemudi(k)
Kami, pemudak dan pemudik Indonesia, bersumpah, berbangsa satu, bangsa Indonesia murah meriah!
Kami, pemudak dan pemudik Indonesia, bersumpah, berbahasa satu, bahasa keselamatan di perjalanan! Kami, pemudak dan pemudik Indonesia, bersumpah, bertanah air satu, tanah air kampung kelahiran!
Dosen