Untungnya saya belum sekonyol Lora yang baru saja viral menyalahkan doa Gus Mus. Saat itu Kiai Mustofa Bisri berdoa untuk Indonesia. Padahal, dengan gelar ulama yang disandangnya, mana mungkin lah seorang Gus Mus lalai dalam berdoa, kalo cuma kesalahan gramatikal saja, bagi saya seorang Gus Mus akan jauh dari hal itu.
Lha setiap harinya beliau mbalah kitab gundul. Mimpin ngaosnya santri di pesantren yang beliau pimpin. Tentu soal uslub berdoa beliau lebih jeli ketimbang kita yang jarang berdialog dengan kitab gundul di setiap harinya, apalagi saya.
Kekonyolan yang saya maksud berawal dari pemahaman saya tentang kalimat idul fitri. Sekitar dua tahun lalu, setelah saya menemukan akar kata dari idul fitri yang sesungguhnya. Saya hampir tiap hari nyinyir sekaligus prihatin jika ada beberapa muballigh atau ustad yang menyatakan jika idul fitri berarti kembali suci.
Secara lafal jika didengar idul fitri memang berarti kembali suci. Mafhum bagi kita ied berarti kembali. Sedangkan fitri suci. Kata fitri sendiri terserap sebagai bahasa Indonesia yang memang diartikan suci.
Banyak orang tua menamai anaknya dengan nama ini. Namun kecerobohan kita jika mengartikan ied itu sendiri. Mungkin maksud kita ied tadi berakar dari kata ‘ada-ya’udu.
Padahal, masdarnya jelas bukan ‘iida. Beda lagi jika ayyada-yuayyidu yang masdarnya baru ketemu ‘iid. Mana mungkin kan jika arti idul fitri adalah kembali suci, apa mungkin idul adha kita maknai juga kembali menyembeleh?
Dengan congkaknya saya bercerita ke sesama jika di Arab sana idul fitri cukup dirayakan sederhana bukan bermaaf-maafan dan kemudian saling tilik atau ziaroh ke tetangga sanak handai taulan.
Namun kesombongan tadi segera sirna ketika saya merenungi salah satu tradisi yang lumrah saya dan warga desa lakukan setelah shalat idul fitri di desa.
Tepat setelah shalat dan khutbah ied dilaksanakan segenap warga berbondong-bondong mengantarkan berkatnya ke masjid untuk dislameti dan dimakan bersama.
Nah, dari tradisi ini saya renungi dengan seksama. Apa sesungguhnya para wali tadi tidak benar-benar menghilangkan makna dari idul fitri secara bahasa. Mereka justru memolesnya agar lebih mudah diterima oleh masyarakat Jawa kala itu.
Karena memang hikmah puasa dapat membersihkan seorang hamba dari dosa jika si hamba tadi berpuasa dengan sebenar-benarnya puasa. Maka tradisi musoffahah, saling menziarahi untuk silaturahmi, adalah buah kreatifitas para wali tadi agar kita sesama muslim nusantara akan saling tilik atau sambang ke sesama, toh tradisi ini pun dirasa baik.
Konon tradisi meminta maaf ini sudah ada sejak jaman Jawa belum diislamkan. Orang jawa yang hendak upasa (puasa) terlebih dahulu harus meminta restu dari orang terdekat guna menetralkan dirinya dari prasangka dan kesalahan-kesalahan dimata orang lain.
Setelah rangkaian tadi dilaksanakan maka calon petapa yang hendak melakukan upasa tadi menyepi ke sebuah tempat yang wingit, angker atau tempat yang sudah ditunjuk oleh sang resi atau empu penuntun petapa tadi.
Dan ketika puasa didakwahkan oleh para wali kepada masyrakat jawa, maka tradisi sebelumnya tadi kemudian dibingkai oleh para wali dalam nilai-nilai Islam.
Saling meminta maaf ke sesama merupakan laku yang positif dan berfaedhah. Kembali ke makna idul fitri secara bahasa. Mungkin saja, jika para wali tadi menjelaskan idul fitri secara saklek bukan tidak mungkin nantinya justeru kita yang salah paham.
Pesta makan makan tadi jadi sebuah momen balas dendam kuliner ria. Hingga laku boros dan berlebihan justeru lebih tampak ketimbang jadi pribadi yang bertakwa paska sebulan penuh puasa.
Ingat nggeh my lurs, kita itu udah dimudahkan oleh para wali untuk tidak repot-repot dadak maknani pesan-pesan Tuhan dalam kalamnya. Kadang yang udah diterjemahkan oleh para wali aja oleh ustaz ustaz seleb yang sering ngetok di tipi ae di salah tapsiri maneh.
Tangio lur, turumu miring. Kopimu enthek, awas sandingmu keset iso mbleseti.
Dosen IAIN Tulungagung.