Gang Ababil Keluruhan Sidokumpul Lamongan sedikit lenggang. Jalan yang biasanya ramai dengan aktivitas santri ini saat lebaran telah beralih tangan. Kini warga sekitar yang lebih banyak memenuhinya.
Hari itu, hari pertama syawal. Setelah salat idul fitri, masyarakat Lamongan melakukan unjung. Sebuah tradisi berkunjung ke kediaman sanak saudara. Mungkin, unjung diambil dari kata berkunjung. Atau ada makna lain saya kurang paham.
Saya menyusuri lorong yang tak begitu ramai itu. Motor pun berhenti di sebuah rumah sederhana. Tidak megah. Sangat biasa. Di teras, ada dua anak muda bersarung. Dia bersiap menyambut siapapun yang akan menjadi tamu di rumah itu.
Sandal kami lepas. Saya dan kakak ipar masuk. Ruang tamu sudah ada dua orang yang sudah duduk. Mereka sedang menunggu sang tuan rumah.
“Abah masih di belakang,” ujar seorang pria yang murah senyum dengan kopyah hitam ala Gus Baha.
Kami menunggu. Menunggu kedatangannya. Tamu perempuan pun berada di ruangan sebelah ruang depan. Sama. Mereka juga menunggu. Menunggu pemilik rumah itu.
Pria dengan rambut yang sudah mulai memutih pun berjalan dari ruang belakang. Saya tak melihat kemewahan pada busana yang dikenakan. Sederhana sekali.
Kami para tamu duduk di bawah. Beliau duduk di atas. Ada kursi khusus yang tengah disiapkan. Sebelum duduk. Para tamu berebut untuk mencium tangannya.
Kiai Aziz. Sosok pria yang sudah tak lagi muda itu. Lebih tepatnya beliau sudah sepuh. Di Lamongan, Kiai Aziz termasuk orang yang disegani. Kiai yang mendirikan Pesantren Al Maruf. Sebuah pesantren yang ada di perkotaan Kota Soto.
Pagi itu, Kiai Aziz tidak banyak dawuh. Dengan tenang bertanya kabar para tamu. Beberapa tamu menjawab. Tak lama kemudian, beliau memanjatkan doa. Doa yang ditujukan pada kita semua para tamu.
Kami mengaminkan. Saya selalu senang. Jika ada seorang kiai sedang berdoa. Lebih-lebih saya berhadapan langsung.
Doa selesai. Kami pamit lantas melanjutkan unjung ke lokasi berikutnya.
Lebaran kali ini mungkin saja menjadi lebaran yang berbeda bagi Kiai Aziz. Sebab, istrinya, Bu Nyai Mariya telah meninggal dunia beberapa bulan lalu. Namun, beliau terlihat tegar.
Melihat sosok yang tegar. Saya ingat betul bagaimana sikap Kiai Aziz saat ada sebuah acara di Masjid Agung Lamongan. Saat itu, pembicara yang telah diundang namun tidak bisa hadir. Sebagai, pemilik hajat. Kiai Aziz pun biasa saja. Beliau dengan tenang menyampaikan ke jamaah yang hadir saat itu.
Pesan sabar, pernah disampaikan ke saya saat sowan usai menikah tahun lalu. Pesannya sama.
“Urip omah-omah kuwi kudu sabar,” kata beliau.
Jadi, hidup berumah tangga itu yang didahulukan adalah kesabaran. Saling pengertian antara satu dengan yang lainnya.
Saya sowan bukan tanpa alasan. Perempuan yang kini menjadi istri saya adalah santri Kiai Aziz. Jadi, saya perlu meminta petuah beliau.
Sebelum pulang pun beliau masih mengingatkan saya lagi. Sekali lagi. Beliau tetap berpesan tentang kesabaran. Begitu juga Bu Nyai Mariya saat disowani istri saya. Pesannya disuruh qonaah.
Sabar dan qonaah bagi saya adalah kunci dalam mengarungi hidup. Seprogresif apapun semangat. Sabar dan qonaah akan tetep menjadi kontrol. Jadi, hidup memang akan terjadi sesuatu yang tak diduga. Maka sabar dan qonaah adalah kuncinya.
Sebelum tulisan ini saya tutup. Saya tanyakan istri saya. Apa pesan Kiai Aziz saat dirinya jadi santri.
“Ya pokok diutus ngaji,” terangnya.
Jadi, kata istri saya mengutip pesan Kiai Aziz. Kelak jika sudah besar santri diminta untuk mengajar. Sebisa mungkin menjadi pendidik
Sehat selalu kiai. (*)
Redaktur suluk.id