Matahari sedang marah sepertinya. Sampai-sampai membuat bumi serasa lebih panas dari biasanya. Tapi, panas itu segera berubah menjadi adem. Saat aku berpapasan dengan bocah-bocah bersarung. Menggayuh sepeda. Ada tas kecil dikempitnya. Ati terasa maknyes.
Mereka, bocah bersarung itu. Sedang benyusuri tepi jalan. Lebih dari tiga orang. Mereka berusaha menepi karena tak ingin menghalang-halangi pengendara lainnya. Setelah melihat sebuah gapura. Mereka mulai melaju ke tengah. Berusaha menyebrang dan masuk di gang itu. Sebuah gapura yang bertuliskan sebuah pesantren di Singgahan Tuban.
Seketika saya berhenti. Memandangi kaum bersarung itu hingga semua lenyap ditelan mulut gang. Sesekali aku memotretnya secara diam-diam. Di daerah Tuban Selatan memang cukup banyak pesantren. Termasuk Singgahan yang selalu aku lintasi saat akan ke Blora. Bangilan juga tak kalah banyak. Termasuk Senori.
Seorang kawan pernah bercerita ada pesantren yang kiainya senang berpuasa di Tuban selatan. Saking rutinnya ada julukan tersendiri. Kalau tidak salah Mbah Soim. Dulu saat sang kiai memimpin pesantren.
Banyak, santri yang datang ke Singgahan. Sebuah pesantren kecil dalamnya selalu bergemuruh ilmu. Mulai ilmu pengetahuan hingga ilmu kebatinan. Semua tersedia di pesantren ini.
Singgahan adalah wilayah yang tepat untuk keberadaan pesantren. Sebab, daerah ini selalu digunakan untuk persinggahan orang-orang hebat.
Kini, aroma pesantren memang tak seperti dulu. Jumlah santri pun demikian. Namun, saat aku melihat para santri bersarung menunggang sepeda dan mengapit kitab. Sontak aku sadar aroma pesantren masih cukup kuat di tengah era kids jaman now yang sok milenial itu.
Beberapa teman yang anaknya menginjak dewasa sedang gelisah. Di tengah era serba canggih ini memilih sekolah pun menjadi sulit. Sebab, tak menjamin sekolah negeri ternama di sebuah kota bisa menjamin baik pendidikannya.
Mereka memilih pesantren sebagai alternatif untuk mendidik anaknya. Lalu, pesantren yang bagaiamana yang dipilih? Itu juga akan membutuhkan waktu lagi untuk memilihnya. Jadi, menjadikan anaknya sebagai santri sudah dianggap solusi di tengah caruk maruknya pergaulan anak muda.
Menurut beberapa literatur setidaknya ada dua pendapat yang dapat dijadikan rujukan apa santri itu. Pertama santri berasal dari kata “Santri” dari bahasa sansekerta yang artinya melek huruf.
Kedua, kata santri berasal dari bahasa Jawa “Cantrik” berarti seseorang yang mengikuti seorang guru kemanapun pergi atau menetap dengan tujuan dapat belajar suatu keilmuwan kepadanya.
Pendek kata mereka yang berada di pondok pesantren bisa disebut santri. Gus Mus punya pendapat lain. Kiai nyentrik ini menyebut santri bukan mereka yang mondok saja. Tapi, mereka yang memiliki perilaku seperti santri mereka juga disebut santri.
Kini santri telah menjadi mode, benarkah? Apakah hari santri benar-benar telah mengangkat derajat santri? Itu perlu dilakukan penelitian terlebih dahulu. Banyaknya foto profil dengan bingkai tulisan bangga jadi santri belum bisa menjadi ukuran.
Tapi, saya berkeyakinan santri adalah makhluk segala zaman. Di era apapun santri selalu mengambil ruang. Sekarang, sejumlah santri telah mengisi pos-pos penting. Baik di tataran pemerintahan hingga pertanian.
Bagi saya, santri ibarat air. Kehadirannya bisa menyegarkan suasana. Kadang santri menjadi tanah. Siap diinjak dan ditanami. Namun akan berontak ketika diinjak atau ditanami bangunan keangkuhan penguasa. Santri bisa menjadi langit yang terus mengayomi tanpa bertanya apakah mereka berTuhan sama atau tidak.
Santri punya cara tersendiri dalam menjalani hidupnya. Di pondok mereka tak diizinkan membawa gawai. Bahkan melihat televisi. Kondisi inilah yang membuat santri harus memaksa dirinya membaca buku atau kitab.
Apa lagi yang akan mereka lihat kalau tidak buku atau kitabnya. Jadi, jangan kaget kalau santri itu gila dengan buku. Bila ada santri yang tak gandrung dengan buku perlu dipertanyakan apa yang dilakukan di pondok.
Hiburan seorang santri adalah cangrukan dan omongan-omongan sesama santri. Lumrah sekali, bila khazanah cerita unik selalu lahir dari para santri. Guyonan khas cah pondok memang selalu segar.
Bila anda sedang berburu menantu pilihlah cah pondok. Sebab, mereka adalah menantu idaman. Akhirat terjamin dan akan menjadi teman ngobrol yang mengenakkan bagi mertua.
Mertua yang baik itu memang relatif. Baik menurut siapa itu kondisional. Namun, menantu seorang santri ini akan bisa menyelami mertuanya. Dari apapun latar belakang mertuanya. Santri akan tetap woles. (*)
Redaktur suluk.id