Mungkin terbilang langka, untuk saat ini seorang sarjana muslim asli Nusantara mampu menyerap dengan baik keluhuran dua kutub pemikiran Barat dan Timur di Usia yang masih muda.
Saya sebut Barat, karena frame nalar liberalnya beliau dapati sejak kuliah di Amerika, dan saya ambil diksi Timur, karena Beliau adalah seorang santri pondok salaf tulen, itu terlihat dari lancarnya beliau nyarehi kitab gundul ihya dengan maknanan Pegon Jawiy.
Cak Ulil, begitu nama awal yang saya pertama kali dengar dan kenal lewat tulisan-tulisannya di media massa kala itu. Mungkin sekitar tahun 2004-an, perkenalan saya dengan beliau lewat kolomnya yang saya baca saat masih mondok.
Sebagai seorang santri yang polos, tulisan Cak Ulil terlalu berani dan membahayakan, meskipun diam-diam saya mengamini kejujuran nalar beliau. Corak berpikirnya kala itu dianggap orang ramai telah menabrak nilai-nilai tabu keagamaan yang profan dan sakral.
Lewat tulisannya, Cak Ulil gemar dan berani membakar dinginnya tembok kejumudan nalar sebagian muslim perihal “kontemporer” yang belum di sentuh dan di jawab oleh bijaknya “nilai” keagamaan.
Beliau berkeyakinan, ukuran sebuah agama sebagai rahmat bagi semesta alam haruslah relevan terhadap problem-problem sosial. Satu essainya yang kuat diingatan saya dengan judul “Membakar Rumah Tuhan”, sontak saja, kelancangan berpikirnya di kecam oleh sebagian kalangan dan dianggap sesat.
Hal itu sudah berlangsung lama, sekitar 3 tahunan ini, saya temui beliau aktif kembali berwacana di medsos lewat ngaji live-nya. Tidak gemen-gemen, kitab yang beliau balah adalah “ihya Ulumuddin” masterpiece-nya pemikir Islam termasyhur Imam Ghozali.
Pasti kita akan tepok jidad melihat manuver pilihannya saat ini. Dari bebasnya nalar galak beliau menyoal jumudnya pikiran, kini terjun bebas ke ruang yang lebih terjaga dan hati-hati menyoal agama lewat “rasa dan hati”
Apa yang kita lihat pada sosok Cak Ulil saat ini, tak akan ada yang pernah mampu memprediksi. Mungkin bisa saja kita beranggapan beliau akan istiqomah dengan nalar liberalnya hingga di usia senja, namun siapa yang menyangka prediksi itu justeru tidak “begitu”.
Saya meyakini ini bagian dari perjalanan nalar seorang cendekiawan muslim yang telah merasakan manisnya buah pikiran Barat dan Timur secara “sadar”.
Malam itu saya nderek beliau ngaos di pendopo Islam Nusantarannya IKAPMII Blitar dan disaksikan oleh sejumlah kader dan sahabat yang haus akan ilmu makrifat.
Mumtaz. Istilah Bahasa Arab yang alih padanannya berarti sempurna. Ungkapan ini yang pasti akan disematkan ke seseorang luar biasa keilmuannya.
Matur sembah nuwun kerawuhane “Gus” Ulil.
Dosen IAIN Tulungagung.