Mentadabburi Al-Qur’an sebagai sebuah proses merenungkan, memikirkan dengan seksama, atau memperhatikan dengan mendalam tentang apa yang ada dalam sebuah ayat Al –Qur’an. Tentu proses tersebut tidaklah singkat. Bahkan tidak hanya di dunia melainkan sampai nanti kelak di akhirat. Sungguh nikmat nan berbahagia yang tidak ternilai dengan apapun ketika kesempatan itu datang.
Bayangkan saja, jika ketika masih di dunia merasakannya. Suatu hari ketika kita membaca satu ayat. Kemudian timbul rasa penasaran dengan apa yang sebenarnya Allah SWT ingin sampaikan kepada hamba-Nya. Hati dan pikiran mulai merekah untuk membaca catatan Ulama’ mencari makna, tafsir dan sebab turun (asbabun nuzul) nya. Seolah diri telah terlarut dalam pusaran waktu. Waktu yang nyatanya tidak cukup singkat. Ba’da sholat Isya’ hingga lima menit menjelang shubuh terasa hanya satu menit. Sungguh sangat nikmat. Pernah mengalaminya? Coba saja temukan satu ayat yang membuatmu menyelam lebih dalam akan ilmu dari firman-Nya. Sekaligus sebagai cara ‘bermesraan’ dengan-Nya.
Ya Muqollibal Qulb. Yang Maha membolak balikkan hati manusia. Allah SWT menciptakan hati dan pikiran manusia dengan sangat dinamis, mudah berubah-ubah. Lain waktu, ayat Al-Qur’an yang dapat membawa kita melayang dalam buaian, menjadi terasa sangat datar, biasa saja, dan tak ada rasa apapun. Tidak ingin lagi mendalami maksud di dalamnya. Tak ada lagi bersemedi mengurung diri dalam pusaran ilham Al-Qur’an. Kembali normal seolah tidak terjadi apa-apa. Tentu situasi kehidupan sangat menentukan bagaimana arah dan sudut pandang terhadap makna yang sedang kita baca. Begitu juga saat tadabbur Qur’an.
Setidaknya kita pernah merasakan ketika menemukan sebuah kutipan ayat “Wah, ayat ini cocok banget untukku saat ini”. Apakah itu suatu kebetulan semata? Atau perasaan kita saja? Atau memang waktu yang tepat sehingga mampu menghubungkannya dengan kita? Apakah dunia nyata juga memiliki algoritma sehingga manusia dengan mudah mendapat informasi sesuai suasana hati? Kemungkinan besar demikian. Atau kita dapat menyebutnya sebagai hukum tarik menarik (Law of Attraction). Ketika berpikir positif dengan suasana bahagia akan menarik hal-hal positif dan membahagiakan pula.
Sesuai dengan penelitian National Center for Biotechnology Information (NCBI) dalam jurnal berjudul Coherence and Frequency in The Reticular Activating System (RAS), bahwa sistem aktivasi retikular (RAS) dalam otak yakni meregulasi kesadaran dan kewaspadaan, siklus bangun-tidur, penyaringan informasi, dan membantu kita merespon apa yang terjadi di sekitar kita. Misalnya, ketika kita sedang menghadapi suatu masalah, otak akan secara otomatis memilih informasi yang relevan dan memfokuskannya dalam kesadaran sesuai dengan yang sedang terjadi pada lingkungan.
Jika ditarik pada moment membaca suatu ayat Al Qur’an kita merasa terhubung dengannya, kemungkinan otak sedang merespon dan membangkitkan memori yang relevan terkait Al-Qur’an tersebut. Maka pentingnya untuk tetap mengistiqomahkan membaca Al’Qur’an untuk mengisi ruang-ruang penyimpnan otak dengan ayat-ayat Al-Qur’an.
Begitulah perjalanan mencari jawaban bagaimana cara mencintai Allah SWT ketika mentadabburi Al-Qur’an. Bukan sebuah perjalanan menjadi seorang sufi. Seorang sufi yang melalui proses pengosongan diri dari perihal yang mengotori hati (takhalli). Kemudian diisi dengan sifat-sifat mulia (tahalli). Akhirnya sampai ke puncak ketasawufan yakni penyaksian atas kehadirat Allah SWT (tajalli). Ini hanya sekedar perjalananku menjadi pecinta amatiran yang imannya sering berkurang (yanqush). Saking kurangnya, hingga membuat buta arah cara untuk menciantai-Nya.
Konsep dalam mencinta, kita akan selalu patuh pada siapa yang kita cintai. Misalnya antar sesama manusia, kita pasti akan manut dengan apapun yang ‘dititahkan’ olehnya. Meski kadang perintah yang tidak kita suka. Namun juga, apakah cukup ketika aku ingin mencintai Allah hanya dengan menyatakan “Ya Allah, aku mencintaiMu, uhibbuKa, I love You, Je t’aime” secara sembunyi-sembunyi (sirr), atau dengan terang-terangan. Tentu kalimat cinta saja tak cukup menjadi bukti bahwa kita adalah pecinta bukan? Kemudian bagaimana cara mencintai-Nya?
Memang benar bahwa jika kita ingin berbicara dengan Allah, maka berdo’alah. Sebaliknya, jika ingin Allah yang berbicara kepada kita, maka bacalah Al-Qur’an. Mungkin itulah cara awal membimbing kita untuk semakin mengenal-Nya.
Lora Ismael Al Ascholy pernah menyampaikan dalam suatu forum. Ketika membaca Al Qur’an, anggaplah ayat tersebut turun pada saat ini dan untuk kita. Mungkin kita pernah berada dalam situasi seperti merasakan seolah harus mencari lebih dalam makna dan apa yang terjadi di dengan ayat tersebut. Dari tafsir, asbabun nuzul, atau hanya ingin mengartikannya. Misalnya saja dalam Q.S Ali Imran:31
قُلْ اِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللّٰهَ فَاتَّبِعُوْنِيْ يُحْبِبْكُمُ اللّٰهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْۗ وَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
Artinya: “Katakanlah (Nabi Muhammad), Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”
Asbabun nuzul ayat di atas diriwayatkan Hasan Basri bahwasanya ada beberapa orang pada masa Rasulullah SAW yang telah bersaksi bahwa mereka sangat mencintai Allah. Setelah membuka Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Jalalain, Ringkasan Al-Azhar, sekaligus tafsir ringkas dan lengkap versi kemenag inti dari ayat tersebut adalah jika mencintai Allah, hendaklah mengikuti jalan Rasulullah. Apapun yang dilakukan oleh rasul, sunnah-sunnahnya yang kita pelajari dari kitab-kitab hadits, diajarkan orang tua atau guru-guru kita yang sanandnya tersambung hingga Rasulullah. Sehingga, ketika sudah melakukan hal tersebut menjadi cara yang mengantarkan kita pada cinta Allah yang nyata. Kita terbiasa mendengar pernyataan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, itulah makna takwa.
Selain itu, cinta dalam ucapan saja tidaklah cukup. Menyatakan cinta padahal kehendak hati yang dicintai tidak diikuti melakukan yang diperintahkan adalah bentuk cinta palsu. Allah SWT tidak menyukai kepalsuan. Kita menyatakan cinta kepada Allah, namun kita mendurhakaiNya. bermaksiat kepadaNya. Suatu hal mustahil dan ganjil.
Meskipun dalam akhir ayat Q.S Ali Imran:31 Allah menyebut dirinya sebagai dzat Yang Maha Ghofur (pemberi ampunan) dan Rahiim (maha penyayang), sebagai hamba, kita tidak bisa semena-mena. Orang yang beriman dan mencintai Allah SWT harus memiliki dua perangkat sikap sekaligus yakni raja’ (pengharapan, cinta) dan khauf (takut). Kita selalu berharap dan mengadu kepada Allah. Kemudian ketika ingin melakukan suatu hal yang tidak baik, kita takut kepada Allah. Begitulah sikap yang membuktikan bahwa kita sedang mencintai. Karena cinta lah yang membuat kita beradab dan dekat dengan Allah.
Saat kita mencinta, otomatis kita menghamba kepadaNya. Lantas bagaimana ciri-ciri hamba? Jawabannya ada pada Q.S Al-Furqan:63-74. Menurut Lora Ismail Al-Ascholy dalam buku The Qur’anything, menjelaskan Q.S Al-Furqan:63-74 bahwa hamba dari Tuhan Maha Pengasih adalah orang yang hidupnya tidak mempersulit pikiran tentang duit (keduniaan), tetap sabar dan santai meski dalam provokasi, menunaikan ibadah malam (tahajud), senang meminta perlindungan kepada Allah dari api neraka, berinfaq dengan masuk akal (sesuai dengan kapasitas), tidak syirik, tidak membunuh, tidak zina, tidak berdusta, bertaubat dengan sungguh-sungguh (taubat nasuha), mempunyai harga diri, gemar mendengarkan ayat-ayat Al Qur’an dan maknanya, terakhir mendo’akan orang lain atau umat.
Pada akhirnya, ada beberapa cara mencintai Allah SWT sebagai Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang: bertakwa untuk menjalankan perintah dan laranganNya dibarengi dengan bukti nyata perbuatan sebagai hamba sebagaimana dipaparkan di atas. Akan sangat mudah dilakukan ketika sudah terbiasa. Semoga Allah SWT tetap memberikan kita rasa ‘kangen’ kepada ayat-ayat Al-Qur’an dan Rasulullah Muhammad SAW. Siapkah tuk mencinta dan menghamba? Wallahu a’lam bisshowab.
Editor : Muchamad Rudi C
Khalifah yang diutus mengurus bumi