Sering kita dengar di beberapa riwayat, para sahabat Nabi Muhammad kedapatan menangis tersedu-sedu, ketika ayat al-Qur’an di lantunkan, baik oleh Nabi sendiri maupun sahabat yang lainnya.
Tamsilan yang paling masyhur kita ketahui pada riwayat sahabat Umar bin Khattab ketika mendengar adiknya membacakan surat Al-Thoha kepadanya maka terjatuhlah seketika pedang yang sedang terhunus dibawanya. Hatinya tersentuh jatuh semacam tercabik haru.
Bahkan kerongkongannya semacam tersedak menahan tangis mengakui keluhuran bahasa maha dahsyat yang mungkin baru kali itu ia dengar. Dan puncaknya sahabat Umar bin khattab mennyatakan Syahadat dan masuk Islam
Dari beberapa riwayat tadi sering saya renungkan, mengapa sedikitpun saya tidak pernah tersentuh hati kemudian merasa haru ketika mendengar maupun sedang melantunkan ayat-ayat Qur’an yang saya baca sendiri.
Jikalau ada rasa nyaman di hati, itupun ketika lantunan ayat tadi dilantunkan oleh Qori’ ternama dan saya pun hanya khusyuk menikmati untaian nada dari sang Qori tapi bukan pada kandungan ayatnya.
Dan baru saja, mungkin tepatnya 10 menit sebelum saya mengetik curhatan ini, saya mendengarkan Kang Maman seorang yang piawai membuat epilog ternama yang sering hadir di beberapa acara talkshow di TV.
Saat itu kang Maman membacakan epilog tentang indahnya akhlak Nabi Muhammad yang menebar Islam rahmatan lil almain. Tak tahu kenapa seketika rasa haru dan tetesan airmata saya hadir di saat yang bersamaan. Ini bukan soal piawainya Kang Maman membacakan Epilog, karena memang disetiap kesempatan beliau sering membacakan epilognya di tema-tema yang lain.
Toh, terkadang saya biasa-biasa saja menikmati epilog kang Maman pada tema yang lain tadi. Tapi ini semacam magic. Mungkin karna saya paham bahasanya, sebab kang Maman membahasakan epilognya dengan bahasa Indonesia hingga saya bisa paham arti dan kandungan epilognya secara detail.
Kembali menyoal kenapa ketika lantunan Ayat suci tadi belum bisa menyentuh hati saya secara total, karena saya pribadi tidak menguasai bahasa yang indah ini dengan utuh dan sempurna.
Saya menganalogikannya dengan beberapa kisah sahabat tadi, mereka seketika menangis dan semakin kuat iman dan islamnya setiap mendengar maupun membaca lantunan ayat. Karena Alquran sendiri berasal dari bahasa “ibu” mereka. Saya mengandaikan jika saja saya seorang native arabic, mungkin saja saya akan menangis dan mengharu ketika mendengar maupun membaca lantunan ayat Alqr’an di tiap harinya.
Ini hanya pengalaman kecil dan terkhususkan buat saya yang selalu berharap kepada Tuhan agar hidayah dan iman selalu tetap dicurahkan olehNYA
Amien..

Dosen IAIN Tulungagung.