Pernah mendengar nama Kabupaten Tuban?. Anda pasti tidak asing dengan kota itu. Menurut Wikipedia, Kabupaten Tuban salah satu kabupaten di Jawa Timur yang terletak di Pantai Utara Jawa Timur.
Kabupaten dengan jumlah penduduk sekitar 1,3 juta jiwa ini terdiri dari 20 kecamatan dan beribu kota di Kecamatan Tuban. Kabupaten Tuban mempunyai letak yang strategis, yakni di perbatasan Provinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah dengan dilintasi oleh Jalan Nasional Daendels di Pantai Utara.
Kabupaten Tuban berbatasan langsung dengan Rembang di sebelah barat, Lamongan di sebelah timur, dan Bojonegoro di sebelah selatan.
Pusat pemerintahan Kabupaten Tuban terletak 100 kilometer (KM) sebelah barat laut Surabaya, ibu kota Provinsi Jawa Timur dan 210 km sebelah timur Semarang, ibu kota Provinsi Jawa Tengah.
Oleh karena itu, pada zaman dahulu Tuban dijadikan pelabuhan utama Kerajaan Majapahit dan menjadi salah satu pusat penyebaran Agama Islam oleh para Walisongo.
Luas wilayah Kabupaten Tuban 183.994.561 Ha, dan wilayah laut seluas 22.068 km2. Letak astronomi Kabupaten Tuban pada koordinat 111o 30′ – 112o 35 BT dan 6o 40′ – 7o 18′ LS. Panjang wilayah pantai 65 km.
Ketinggian daratan di Kabupaten Tuban bekisar antara 0 – 500 mdpl. Sebagian besar wilayah Kabupaten Tuban beriklim kering dengan kondisi bervariasi dari agak kering sampai sangat kering yang berada di 19 kecamatan, sedangkan yang beriklim agak basah berada pada 1 kecamatan.
Kabupaten Tuban berada pada jalur pantura dan pada deretan pegunungan Kapur Utara. Pegunungan Kapur Utara di Tuban terbentang dari Kecamatan Jatirogo sampai Kecamatan Widang, dan dari Kecamatan Merakurak sampai Kecamatan Soko. Sedangkan wilayah laut, terbentang antara 5 kecamatan, yakni Kecamatan Bancar, Kecamatan Tambakboyo, Kecamatan Jenu, Kecamatan Tuban dan Kecamatan Palang.
Kabupaten Tuban berada pada ujung utara dan bagian barat Jawa Timur yang berada langsung di perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah atau antara Kabupaten Tuban dan Kabupaten Rembang.
Tuban memiliki titik terendah, yakni 0 m dpl yang berada di Jalur Pantura dan titik tertinggi 500 m yang berada di Kecamatan Grabagan.
Tuban juga dilalui oleh Sungai Bengawan Solo yang mengalir dari Solo menuju Gresik.
Betapa lengkapnya potensi yang dimiliki kabupaten yang saat ini menahbiskan sebagai Bumi Wali tersebut. Sebab, di bumi Tuban bersemayam ratusan, bahkan ribuan malam para auliya.
Baik yang sudah terdeteksi dan dikenal masyarakat, maupun yang belum dikenal. Bahkan, diyakini masih banyak pusara auliya yang belum ditemukan.
Karena menjadi jalur perdagangan yang besar, dengan pelabuhan yang ramai para saudagar pada tempo dulu, tak heran akulturasi atau percampuran budaya di Bumi Wali ini begitu kental.
Berbagai ragam budaya, adat dan kebiasaan hidup dan berkembang di Tuban. Begitu juga dengan ras atau golongan manusia ada di Tuban.
Dengan mudah kita akan menemukan Pecinan, atau kampungnya orang-orang keturunan Tionghoa dari berbagai marga. Ada juga Kampung Arab dengan penghuni dari bermacam-macam bani (keturunan) atau marga.
Semua bisa berjalan beriringan. Bisa hidup damai dan saling melengkapi. Tanpa gesekan dan bisa hitup berdampingan dengan rukun layaknya sebuah masyarakat yang harus menjada pranata sosial.
Karena berbagai macam ras dan suku serta golongan. Tentu saja agama dan kepercayaan masyarakat juga beragam. Muslim tentu saja mendominasi. Meski warga Tri Dharma yang terdiri dari Budha, Hinda dan Konghucu juga tak sedikit.
Rumah ibadah? Tengoklah sendiri, betapa megahnya tempat ibadah para pemeluk agama di Tuban ini. Selain Masjid Agung Tuban sebagai simbol kebesaran muslim.
Ada klenteng Kwan Sing Bio yang konon sebagai klenteng terbesar se Asia Tenggara. Gereja-gereja megah juga ada. Warga Tuban saling menghargai. Toleransi bermasyarakat warga Tuban bisa menjadi contoh, atau inspirasi warga di belahan bumi lainnya.
Saya teringat ketika usia SMP saya mengaji pada seorang Kiai, yang kemudian kelak saya tahu, Kiai saya ini adalah mursyid salah satu thariqoh terkenal.
Kiai saya ini di sela-sela penjelasan tentang salah satu bab di dalam kitab yang dikaji, tiba-tiba menyebut Tuban. Dia bilang Tuban adalah kota tua yang menjadi ‘punjer’atau pusat serta kiblat daerah lain di nusantara ini.
Maka Tuban harus dijaga. Sebab, ketika di Tuban terjadi gejolak apapun. Terlebih terjadi kekaucauan atau kerusakan. Kiai saya bilang, kondisi kota-kota lain di negeri ini, pasti akan lebih parah dibanding Tuban. Saya belum faham maksud Kiai saya ini saat itu. Sebab, saat itu kondisi Tuban aman dan damai.
Hingga pada 2006 ketika terjadi kerusuhan akibat perseteruan politik dalam pilkada terjadi amuk massa. Tak lama kemudian, di daerah-daerah lain muncul peristiwa serupa.
Terlepas dari peristiwa itu sebagai sebuah kebetulan atau tidak, namun kabupaten ini harus terus dijaga, agar tetap dan damai. Tuban adalah miniature Indonesia yang semua agama, suku, ras dan golongan ada di sini.
Warga Tuban sudah terbiasa dengan perbedaan. Sudah faham dan sangat mengerti pentingnya toleransi. Warga bebas menjalankan ibadah menurut agama dan kepercayaan masing-masing.
Soal keberagaman ini, sejak ratusan tahun silam, Maulana Makhdum Ibrahim, putra Sunan Ampel yang dikenal sebagai Sunan Bonang sudah memaklumi, dan mengajari warga Tuban untuk menerima dan menjalani kehidupan dalam keberagaman.
Jika Anda punya kesempatan dan berkenan, tengoklah museum Kambang Putih. Di sana, Anda akan menemukan koleksi bagaimana ajaran luhur tentang menghargai perbedaan itu disimpan.
Selain koleksi kitab-kitab kuno dan jejak peninggalan wali yang disimpan, ada bukti fisik yang mendukung ajaran moderat Sunan Bonang.
Ya, museum Kambang Putih mempunyai koleksi unggulan atau masterpiece berupa Kalpataru. Benda ini berwujud kayu, menyerupai sebatang pohon dengan empat cabang yang berukir. Di atasnya disambung balok kecil.
Semuanya terbuat dari kayu jati. Kayu ini, dulunya adalah tiang penyangga atau soko tunggal pendopo rante dari kompleks makam Sunan Bonang.
Selain barang langka, Kalpataru itu juga berusia tua. Berdasarkan hasil uji laboratorium, Kalpataru ini dibuat pada era tahun 1445 sampai 1525.
Uji laboratorium itu dilakukan pada 8 Agustus 2014 di Beta Analytic Radiocarbon Dating Laboratory di Miami, Florida Amerika Serikat. Tes menggunakan Carbon-14 untuk menentukan kronologi umur pasti dengan teknik penghitungan waktu radiocarbon.
Dalam Kalpataru tersebut, terukir berbagai bentuk tumbuhan, binatang, serta bangunan suci empat agama,yakni Islam, Hindu, Budha dan Tri Dharma.
Ini adalah bukti ajaran Sunan Bonang yang ingin berkehidupan yang harmoni, hidup berdampingan meskipun berbeda kepercayaan. Kalpataru berarti pohon harapan. Jadi, pohon itu adalah lambang harapan Sunan Bonang agar masyarakat bisa hidup berdampingan dengan aman dan damai.
Jika tak percaya, coba datang dan buktikan sendiri. Tanya petugas museum di sana, maka mata Anda akan terbelalak betapa dalam makna simbol-simbol yang diciptakan Sunan Bonang.
Itulah ajaran yang dikembangkan Sunan yang makamnya terletak di belakang masjid agung Tuban tersebut. Karena ajarannya yang luwes dan tidak membedakan golongan dan asal usul, Islam yang dibawa putra Sunan Ampel ini menarik perhatian masyarakat. Sehingga, banyak pengikutnya.
Karena masyarakat tidak merasa terjajah dan diintimidasi Islam, namun Islam bisa selaras dan menyelami budaya masyarakat. Sehingga, warga Tuban sangat memahami itu, dan menikmati keberagaman tersebut.
Sebagai warga Tuban, anak cucu Sunan Bonang, kakek buyutnya sudah sedemikian lama mengajari untuk toleran dan tidak mempertentangkan perbedaan keyakinan.
Karena itu, bagaimana mungkin kemudian warga diprovokasi dengan ide-ide dan suntikan semangat yang bisa memberangus keragaman yang demikian indah itu.
Hanya, terkadang provokasi dari orang luar masuk. Berusaha untuk mengusik manisnya keragaman masyarakat yang berkembang di Tuban.
Masih ingatkah polemik soal patung dewa di klenteng Kwan Sing Bio beberapa tahun lalu? Berdirinya patung Kongco Kwan Kong di halaman belakang Klenteng Kwan Sing Bio mendadak viral. Menjadi topik menarik di media sosial.
Bahkan, memantik reaksi yang menurut saya, warga asli dan tinggal di Tuban, terlalu berlebihan ! Ada juga yang demo mendesak agar patung salah satu dewa bagi warga penganut Tri Dharma itu dirobohkan.
Tentu saja saya yang tinggal di Tuban ini terkaget-kaget. Karena Tuban justru adem ayem, tak berisik apalagi ada gesekan. Patung itu sudah berdiri cukup lama, sebelum diresmikan dan kemudian memicu reaksi.
Ribuan orang sudah datang berkunjung. Bermain di klenteng, bagi warga Tuban bukan hal yang aneh. Bangunan-bangunan unik yang ada di tempat ibadah Tri Dharma itu banyak menarik minat masyarakat untuk datang.
Sejauh saya hidup di Tuban, belum pernah mendengar dan mengetahui terjadi benturan atau gesekan dengan alasan SARA atau pertentangan agama. Inilah miniatur Indonesia.
Warga Tuban bukanlah warga yang lembek, apalagi pengecut. Darah Ronggolawe yang mengalir di setiap nadi warga Tuban memunculkan keberanian alami.
Sikap yang opo anane (apa adanya) tegas, terbuka, lugas dan tanpa tedeng aling-aling. Artinya jika suka ya bilang suka, jika tidak suka tidak sungkan atau takut menyatakan ketidaksukaannya.(*)
Tinggal di Tuban, Jawa Timur