Berpulangnya Mbah Moen menghadap Sang Pencipta menyisakan duka yang sangat mendalam bagi kita semua. Gurat kesedihan, isak tangis dan do’a dari jutaan umat manusia mengiringi kepergian beliau menuju kekasihnya.
Ribuan pentakziah masih terus berdatangan ke rumah duka. Di beranda lini masa, ucapan belasungkawa, foto kenangan, cerita, dan obituari Mbah Moen terus mengalir, ditulis oleh banyak orang, memotret kehidupan beliau dari berbagai sudut pandang. Semua merasa kehilangan atas wafatnya kyai sepuh yang sangat kharismatik dan menyejukkan ini.
Entah mengapa, saya sendiri juga merasakan kesedihan yang mendalam. Beberapa kali mbrebes mili jika mengingat sosok Mbah Moen, seolah kehilangan orang yang sangat dekat sekali. Padahal saya bukan santri Al Anwar Sarang. Interaksi dengan Mbah Moen paling banter hanya menyimak ceramah beliau dari kejauhan.
Beberapa kesempatan ingin mencium tangan Mbah Moen, mungkin hanya sekali yang kesampaian. Selebihnya, ketika sudah mendekat selalu saja terdorong oleh para Banser atau santri pengawal Mbah Moen. Terdesak oleh tubuh-tubuh yang lebih besar, kemudian terpental dan hilang di tengah kerumunan.
Keinginan untuk sowan Mbah Moen memang selalu muncul, tapi tak pernah benar-benar terlaksana. Bahkan ketika abah, ibu, dan saudara saya sowan Mbah Moen dua bulan kemarin, saya juga tidak bisa ikut. Di satu sisi ada semacam keyakinan bahwa suatu saat pasti saya akan bisa sowan Mbah Moen sendiri. Keyakinan bodoh yang akhirnya benar-benar saya sesali. Ah, seandainya waktu bisa diputar kembali.
Mbah Moen adalah ulama kelas dunia. Kedalaman dan keluasan ilmunya, keagungan akhlaknya, serta pergaulannya yang luas melintasi sekat-sekat perbedaan, menghadirkan teladan bagi kita semua. Nasehat dan pesan-pesan Mbah Moen sangat sederhana, tetapi berhasil membidik pusat kesadaran manusia. Nasehat yang hanya bisa lahir dari jiwa suci, tulus, dan mulia.
Ada satu nasehat Mbah Moen yang sangat halus tetapi berhasil menampar kesombongan saya sebagai seorang guru. Nasehat ini awalnya saya peroleh dari media sosial, tetapi kemudian juga sering saya dengar dari cerita beberapa santri Mbah Moen sendiri.
“Jadi guru itu tidak usah punya niat pengen bikin murid pintar. Nanti kamu akan marah-marah jika melihat muridmu tidak pintar. Ikhlasnya jadi hilang. Yang penting niat menyampaikan ilmu dan mendidik dengan baik. Masalah muridnya nanti pintar atau tidak, serahkan saja pada Allah. Didoakan saja terus menerus agat dapat hidayah”.
Mak jleb. Nasehat ini langsung menusuk batin saya sebagai guru. Duh Gusti, berarti selama ini saya adalah guru yang sangat angkuh dan merasa diri yang paling benar. Saya tidak peduli siswa saya siapa, seberapa luas pengetahuannya, seperti apa jenis kecerdasannya, bagaimana latar belakang keluarganya, kondisi ekonominya, kehidupan sosialnya, dan sebagainya.
Semua saya tuntut untuk memenuhi standar yang saya tetapkan. Pokoknya semua harus pandai, harus bisa. Saya alpa memasuki dunia siswa dan mengambil posisi jika berada seperti mereka. Padahal tugas guru hanya menyampaikan ilmu, mendidik dan mengajar dengan sebaik-baiknya. Masalah berhasil atau tidak, itu urusan yang Maha Kuasa.
Ini adalah prinsip praktek pendidikan di pesantren. Mengapa justru saya lupa? Sebodoh dan seburuk apapun seorang santri, tak pernah sekalipun para kiai mengeluh apalagi memarahi. Para kiai tetap mendidik santri dengan sepenuh hati, mendoakan mereka di tengah malam buta, agar dibukakan pintu hidayah dari Yang Maha Kuasa.
Sebaliknya, saya jarang sekali mengirim fatihah untuk para siswa. Bahkan sering ngomel jika mendapati siswa malas belajar, enggan membaca, tak pernah bertanya, atau menjawab seenaknya jika ditanya. Belum lagi jika sering mengerjakan tugas ala kadarnya. Bagi saya, semua siswa harus pandai, apapun kondisinya.
Saya membandingkan dengan saya sendiri. Meski orang tua hidup pas-pasan, Abah saya seorang guru, sehingga sejak kecil mulai dikenalkan dengan buku. Ini jelas berbeda dengan latar belakang para siswa yang saya hadapi.
Rupanya, saya hanya peduli dengan isi otak mereka, tetapi sering abai menyentuh hati mereka. Saya seringkali ingin melihat hasil akhir tetapi kurang sabar dengan prosesnya. Sering menyalahkan siswa, tetapi enggan meningkatkan kualitas dan kompetensi diri sebagai guru. Mengajar dengan persiapan seadanya, metode pembelajaran ala kadarnya, membimbing dengan tidak semestinya, dan kurang peduli terhadap kebutuhan siswa.
Sejak saat itu saya sangat menyesal, bahkan penyesalan itu masih saya rasakan sampai sekarang. Saya mulai kembali belajar bagaimana menyelami kehidupan para siswa. Memang, saya belum sepenuhnya berhasil, bahkan berulang kali masih melakukan kesalahan, tetapi nasehat Mbah Moen selalu menyadarkan saya kembali.
Benar kata para bijak bestari bahwa sejatinya tidak ada anak yang nakal, yang ada adalah anak yang belum mengerti. Tidak ada pula anak yang gagal, yang ada adalah para orang tua dan guru yang kurang sabar dalam mendidik dan mengajar. Terima kasih Mbah Moen atas nasehat panjenengan yang begitu membekas di hati.
Kini, Mbah Moen telah pergi dengan damai, meninggalkan teladan yang seharusnya berusaha kita ikuti, meninggalkan warisan ilmu yang semestinya terus kita pelajari.
Mbah Moen telah pergi menghadap Sang Rabbul Izzati, meninggalkan kita semua yang belum selesai dengan urusan diri sendiri. Lahul Faatihah…
Anggota Lajnah Ta’lif Wan Nasyr PCNU Kabupeten Tuban