Pesan singkat aplikasi whatsapp masuk ke dalam smartphone pemberian dari kantor tempat saya kerja. Setelah saya buka ternyata dari seorang kawan kader Muhammadiyah.
Pesan itu berisi pamflet digital pengumuman bahwa Gus Baha akan mengisi pengajian Pitulasan yang digelar Yayasan Masjid Menara Kudus.
Memang, kekaguman kawan saya ini pada Gus Baha sungguh paripurna. Bagaimana tidak, hampir setiap hari dia setia mendengar dan menyimak Gus Baha dari youtube. Tak jarang intonasi serta gaya bicaranya dengan fasih ditirukannya: “Faham nggih? Dong to?”
Sebelum Ramadan, beberapa kali saya mengikuti ngaji kitab Qowaid al-Asasiyah fi Ulum al-Quran yang diampu Gus Baha di Pesantren Mazroatul Ulum atau yang akrab disebut Pondok Damaran.
Sebuah pesantren yang tidak begitu besar yang letaknya di belakang kompleks Masjid Menara Kudus. Hari terakhir sebelum Ramadan, katanya digelar penutupan, karena ketiduran kesempatan ngaji itu terlewatkan.
Tentu saya merasa rugi, bagaimanapun dalam setiap ngaji selain maknani kitab karya Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki al-Hasani, hujaman-hujaman dari apa yang dikatakan Gus Baha, bagi saya, adalah ilmu.
Pesan yang dikirim oleh kawan saya itu tidak lain adalah ajakan untuk datang ke majelis Pitulasan pada malam 25 Ramadan. Tanpa pikir panjang langsung saja saya menyanggupinya. Ini merupakan kesempatan bagi saya yang telah bolong satu pertemuan dengan Gus Baha.
Kami sepakat berangkat bersama. Sampai di lokasi, jemaah sudah berjubal di gedung parkir Yayasan Masjid Menara Kudus. Saat itu jarum jam yang saya pakai di tangan kiri menunjuk pukul 21.00 WIB.
Empat orang duduk bersila di atas panggung yang tidak begitu tinggi. Semua mata tertuju ke panggung itu. Mereka secara bergantian membaca Alquran. Saat itu sampai pada Surat al-Insan juz 29.
Sekadar diketahui, majelis Pitulasan ini dipelopori oleh KHR Asnawi. Sedianya hanya digelar setiap tanggal 17 bulan Hijriah. Namun, perkembangannya majelis ini dibarengkan dengan tadarus Alquran saat Ramadan.
Setiap malam, setelah tadarus Alquran selalu diisi pengajian oleh kiai baik dari Kudus atau dari luar Kudus. Pada kesempatan malam 25 Ramadan ini, kiai muda santri dari Kiai Maemoen Zubairlah yang mengisi pengajian.
Sembari menunggu pembaca Alquran selesai. Kami mlipir sampai akhirnya mendapat posisi paling depan. Jemaah kian berjubal. Desakan jemaah dari belakang akhirnya tempat kosong di depan kami jadi penuh.
Ketika Alquran selesai dibaca. Di antara kerumunan jemaah berjalan seorang lelaki dengan cukup tergesa. Dia mengenakan baju dan sarung putih lengkap dengan kopiah hitam.
Lelaki itu tidak lain adalah Gus Baha, pemilik nama lengkap Bahaudin Nusalim. Dia berjalan menuju panggung yang tadi digunakan membaca Alquran. Di atas meja terdapat sebuah kitab. Kalau tidak keliru Sahih Bukhari.
Enggan disebut pidato, Gus Baha memulai pengajian malam itu dengan membaca Surat Fatihah bukan dengan salam. Perlahan lelaki yang selalu mengenakan kopiah hitam dengan sedikit tampak rambut bagian depan itu masuk ke dalam pokok pembahasan: Mukjizat Alquran.
Beragam analogi segar dilontarkan. Sampai pada suatu titik Gus Baha melempar ucapan bahwa agama (Islam) itu mudah. Ia datang bukan dengan kekerasan, tapi dengan argumentasi ilmiah.
“Sekarang orang tidak bisa argumentasi. Sukanya neror, berarti ora pati ngaji,” ucap Gus Baha di sela pengajian. Ucapan ini sekaligus mengoyak para pegiat agama yang selalu menakut-nakuti dalam berdakwah.
Bagi Gus Baha, justru bukan dengan cara intimidasi dalam mengenalkan Allah dan menebalkan iman. Dia memilih seekor nyamuk. Bagaimana tidak mengakui kekuasaan Allah ketika manusia tidak mampu hanya sekadar membuat patung yang sama persis dengan nyamuk?
“Tidak usah kalian bikin nyamuk yang ada nyawanya. Terlalu sulit. Sampean semua tak suruh bikin patungnya nyamuk. Cari tatah-nya (alat pemahat-red) saja belum bisa. Belum nanti uratnya alat kelamin dari nyamuk. Jantungnya nyamuk ada bakterinya. Bakteri ada organnya,” seloroh Gus Baha disambut tawa.
Soal nyamuk ini tertuang dalam surat Albaqarah ayat 26. Sangat jarang, ulama atau kiai mengenalkan Allah dengan analogi yang seringan dan semudah ini dalam memamahi “qodrat” Allah yang tertuang dalam Alquran. Hal inilah yang kemudian berujung pada kesimpulan bahwa Alquran merupakan mukjizat paling hebat.
Jika dibandingkan dengan mukjizat nabi terdahulu, kata Gus Baha, Alquran tidak ada tandingannya. Nabi Musa as. dikenal dengan tongkat sakti yang mampu membelah lautan. Nabi Soleh as. dikenal dengan mukjizat unta keluar dari dalam batu.
Dengan mukjizat yang bisa dilihat mata kepala, maka akan mudah dipatahkan atau bahkan sampai pada level tidak percaya oleh generasi berikutnya yang tidak menyaksikan secara langsung. Berbeda dengan Alquran, yang hanya dengan seekor nyamuk mampu diambil pelajaran, bahwa Allah-lah pencipta nyamuk yang layak untuk disembah dengan penuh khusyuk.
Sampai akhirnya Gus Baha menuturkan: Alquran itu bisa menertibkan logika untuk mengimani Allah. Tentu untuk sampai tahu dan menyelami makna substantif yang terkandung di dalamnya membutuhkan berbagai disiplin ilmu. Dalam hal ini Gus Baha telah menguasainya.
Semoga kita semua tergolong orang yang bakal mendapat syafaat Alquran kelak di akhirat. Wallahu a’lam bi al-sawwab.
aamiin