Pada 1918 tepat berakhirnya Perang Dunia I provinsi Arab benar-benar lepas dari kekhalifahan Utsmani. Bangsa Arab dan suku-sukunya pimpinan Syarif Husein pun seolah menuntut haknya kepada Inggris atas pembelaannya untuk memerangi kekhalifahan Utsmani.
Keinginan Syarif Husein adalah memperoleh seluruh wilayah Arab yang membentang dari Sungai Nil di Mesir hingga sungai Efrat di Irak, serta seluruh jazirah dan seluruh Suriah Raya. Syarif Husein pun sudah mempersiapkan pangeran (putra-putranya) untuk menguasai beberapa wilayah tertentu di tanah Arab.
Alih-alih mendapatkan keinginannya syarif Husein harus menghadapi kenyataan pahit dari pilihannya untuk memberontak terhadap kekhalifahan Utsmani dan lebih memilih berperang bersama Inggris. Ternyata, Inggris tidak hanya menjalin kerja sama dengan Syarif Husein saja dalam memerangi kekhalifahan Utsmani, tapi dengan pihak lain yang juga berkepentingan untuk menguasai bekas provinsi Arab-Utsmani.
Empat Perjanjian Membingungkan
Selain terikat dengan korespodensi Husein-McMahon (perjanjian antara syarif Husein atau suku Arab dengan Inggris), kerajaan Inggris juga terikat dengan perjanjian Sykes-Picot (perjanjian antara Inggris-Perancis) untuk membagi-bagi wilayah Suriah Raya menjadi dua bagian.
Inggris juga terikat dengan perjanjian Balfour, yakni kesepakatan Inggris dengan aktivis Zionisme di Eropa untuk mendirikan Negara Israel Raya di tanah Suriah Raya, Mesir dan Irak.
Inggris juga terikat dengan perjanjian Anglo-Saud, yakni perjanjian antara pihak Inggris dengan klan Saud, Abdul Azis bin Saud untuk membagi-bagi seluruh Jazirah Arab dalam kekuasaan keluarga Saud.
Dengan empat perjanjian tersebut praktis Inggris kesulitan untuk memenuhinya, karena masing-masing kepentingan saling berbenturan satu dengan lainnya, terutama keinginan keluarga Syarif Husein untuk menguasai jazirah Arab.
Melihat kerancuan perjanjian yang dibuat oleh Inggris tersebut maka Syarif Husein langsung mendeklarasikan dirinya di Hijaz sebagai khalifah penerus kekhalifahan Utsmani di Turki.
Namun, sebelum deklarasi tersebut mendapatkan persetujuan dari umat Islam dan dari Inggris sendiri pasukan Abdul Azis bin Saud dengan didukung oleh gerakan ekstremisme wahabi langsung melakukan perlawanan. Terjadilah pertempuran antara pasukan syarif Husein dengan pasukan Saud-Wahabi.
Melihat pertempuran antara dua penguasa Arab yang dijanjikan oleh Inggris itu, pihak Inggris pun diam saja dan seolah melihat “pertaruangan dua kelompok” sambil bertepuk tangan.
Hasilnya, kemenangan pun diraih oleh pihak Wahabisme, karena kemungkinan besar pihak Inggris lebih memilih kelompok Wahabi-Saudi menjadi penguasa Jazirah Arab dari pada syarif Husein. Jadilah Abdul Azis mendapatkan jatah wilayah Hijaz dan Nejed yang membentang cukup luas di seluruh jazirah Arab.
Di Suriah, putra-putra Syarif Husein juga tidak mendapatkan apa-apa, karena Inggris telah membaginya dengan Perancis. Untuk wilayah Suriah Utara (atas) diserahkan kepada Perancis yang pada gilirannya menjadi Republik Demokratik Suriah.
Dan Suriah selatan (bawah) dikelolah oleh Inggris, yang akhirnya menjadi Lebanon, Jordania, dan Palestina. Namun Inggirs juga harus mengizinkan kelompok Zionisme untuk menduduki wilayah Palestina sebagai negara Israel Raya. Lebanon menjadi negara multi agama-etnis, dan hanya Jordania yang menjadi haknya keluarga Syarif Husein.
Selain itu, Mesir juga menjadi kekuasaan Inggris dengan mengangkat Raja Faisal sebagai khalifah pengganti Utsmani dengan mengundang seluruh delegasi umat Islam. Irak juga demikian, menjadi hak yang harus diperintah oleh Inggris, termasuk Libya dan Tunisia. Sedangkan Maroko dan Aljazair menjadi daerah yang akan dikelolah oleh Perancis.
Tanah Arab yang Terpecah Belah
Praktis, dengan perginya kekhalifahan Utsmani kondisi negara-negara Arab (negara yang berbahasa Arab) yang membentang dari wilayah Persia hingga Jazirah dan Afrika Utara mengalami banyak perpecahan dan mempunyai perbedaan yang cukup sulit untuk dipersatukan. Tidak heran pula jika dewasa ini negara-negara Arab telah terpecah belah menjadi beberapa bagian dan tidak mudah untuk mempersatukan mereka dalam satu ikatan yang kuat.
Keinginan Inggris, dengan perginya pemerintahan Utsmani dari provinsi Arab berharap sistem demokrasi bisa diterapkan secara sempurna dan negara-negara bisa dikelolah berdasarkan Nasionalisme Arab. Namun harapan itu gagal terwujud, semua kepentingan masing-masing klan tetap menginnginkan wilayah independent yang dikuasainya.
Gagasan Nasionalisme yang digelorakan oleh bangsa Arab, yakni Nasionalisme Arab gagal menyatukan bangsa Arab menampilkan identitasnya sebagai sebuah Negara-Bangsa sebagaimana bangsa Eropa.
Apa yang difatwakan oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah nampaknya relevan dengan kondisi yang dihadapi oleh bangsa Arab.
Nilai dasar demokrasi adalah memanusiakan manusia dan mengaturnya agar pola hubungan manusia itu dapat saling menghormati perbedaan dan bekerja sama sehingga menciptakan kesejahteraan bersama.
KH. Abdul Wahab Hasbullah
Melihat fakta yang terjadi dengan bangsa Arab pasca Utsmani dapat diketahui bahwa tidak adanya sifat memanusiakan manusia dalam diri bangsa Arab sehingga gagal merealisasikan ide-ide demokrasi dan nasionalisme. Justru yang dikedepankan adalah nafsu untuk menguasai wilayah, tanah, dan sumberdaya alam yang tersedia di dalamnya.
Seandainya bangsa Arab mau bersatu padu dan sadar akan kepentingan bersama, lalu bersepakat untuk membentuk negara atau komunitas muslim bersama-sama maka tidak akan ada perpecahan dalam diri bangsa Arab.
Beberapa langkah pun di sudah dilakukan oleh banyak pihak untuk menyatukan bangsa Arab dalam sebuah ikatan bernegara, termasuk menyatukan seluruh Suriah dengan Mesir, Liga Nasional Arab. Hasilnya, upaya tersebut gagal dan Mesir, Suriah, Jordania, dan Lebanon tetap menjadi negara sendiri-sendiri yang tidak memiliki ikatan dengan negara lainnya.
Dalam perjalanannya, masing-masing negara Arab justru menjalin kekuatan dengan pihak asing (Amerika Serikat dan atau Inggris) untuk saling menjatuhkan saudaranya sesama bangsa Arab. Kerajaan Arab Saudi misalnya, bersama kawan-kawannya sesama negara Arab di Jazirah Arab (Qatar, Bahrain dan lain-lain) tetap akan merasa berhadapan dengan negara-negara Arab di Persia (Iran dan Irak berseta sekutunya) atau di Afrika Utara.
Liga Arab, sebagai bentuk solidaritas sesama negara ber-bahasa Arab yang beranggotakan 27 negara Arab gagal menjadi sarana yang efektif dan efesien untuk mengakomodasi kepentingan masing-masing negara bangsa Arab. Alih-alih mensejahterakan rakyat di Arab, Liga Arab cenderung stagnan dan kekuatannya terbelah menjadi dua yang hanya membelah kepentingan para penguasa saja.
Di Liga Arab kekuatan terbelah antara negara yang berbentuk demokrasi presidensil atau parlementer, seperti Mesir, Lebanon, Yaman atau Irak, dengan negara yang berbentuk Kerajaan, seperti Arab Saudi, Maroko, Jordania, Qatar dan Uni Emirat Arab. 20 negara berbentu Republik di Arab tidak akan pernah bisa sepaham dengan 7 negara berbentuk Kerajaan di Arab pula.
Di Palestina, konflik juga tidak akan selesai dengan Israel, karena kekuatan negara-negara Arab yang kuat tidak ada yang berpihak pada rakyat Palestina. Justru, beberapa malah menjadi teman dekat Israel dan menikmati keuntungan dari keberadaan penjajahan Israel.
Bagaimanapun, ide Nasionalisme Arab dan sistem demokrasi merupakan sebuah sistem yang mustahil diterapkan di negeri Arab. Karena di negeri Arab tidak ada unsur memanusiakan manusia. Yang ada hanyalah menguasai dan dikuasai.
Bagi bangsa Arab, sistem Kerajaan adalah hal yang paling bisa diterima, dan itu merupakan sebuah sistem yang mengorbankan banyak nyawa serta penguasaan sumberdaya alam yang hanya dimiliki oleh penguasa kabilah. Sejak dulu, bangsa Arab paling tepat dengan sistem kerajaan. Mulai dari Dinasti Umayyah, Daulah Abbasiyah, Dinasti Mamluk, Dinasti Ayyubiyah, hingga dikuasai oleh Kesultanan Utsmani.
Dewasa ini negara yang paling “dianggap stabil” adalah negara Arab yang berbentuk kerajaan, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Qatar dan Bahrain. Mereka berhasil menjadi negara kaya dan makmur. Selebihnya, negara yang berbentuk Republik tetap akan menghasilkan sebuah revolusi, otoritarianisme berdasarkan (berkedok) demokrasi dan penggulingan kekuasaan (kudeta militer atau sipil).
Disinilah kegagalan Inggris sangat nampak, disengaja atau tidak. Demokrasi Parlementer atau Presidensil berdasarkan ide Nasionalisme yang diterapkan di Eropa (sebagai bapak pemikirannya) gagal diterapkan di Negeri Arab. (*)