Pernah dengar istilah gitu aja kok repot?, pasti pernah atau bisa jadi sering. Slogan ini terasa akrab di telinga kita tentunya. Terlebih slogan ini dicetuskan oleh tokoh Bangsa yang sangat kita cintai yakni Gus Dur. Dengan slogan ini, kesannya Gus Dur itu orangnya santuy, dan sellaw (penulisan aslinya slow, dari serapan bahasa inggris) tidak mau repot. Apapun masalahnya, beliau terkesan enteng mensikapi itu semua.
Maka tak heran slogan ini kadang jadi celetukan familiar bagi kaum santuy saat ini. Saking familiarnya simpatisan Gus Dur dengan apapun itu wadahnya sering melontarkan celetukkan ini untuk mencairkan ketegangan suasana.
Haul Gus Dur baru saja kita rayakan, semua elemen anak bangsa tanpa sekat agama dan kepercayaan ikut berkumpul mendoakan beliau di hari wafatnya. Mengenang jejak hidupnya dengan harapan bisa menauladani arah gerak perjuangannya bagi bangsa ini.
Haul kesepuluhnya kali ini terasa spesial, baru saja simpatisannya dibuat bangga sekligus geram atas noda hitam sejarah soal pelengseran dirinya ketika menjadi orang nomor satu di Indonesia.
Pelajaran dari peristiwa itu semua adalah kerukunan anak bangsa untuk selalu mewujudkan utuhnya NKRI jauh lebih penting bagi Gus Dur ketimbang mempertahankan tahta dan kuasa.
Kembali menyoal ujaran Gus Dur tadi, di beberapa artikel saya sering menemukan Gus Dur kerap sekali mengedepankan unsur eklektik dalam bersikap. Penilaian itu di predikatkan oleh para pemerhati tindak-tanduknya selama menjadi tokoh bangsa.
Hemat saya sikap inilah yang kemudian melahirkan definisi-definisi bijak lainnya bagi seorang Gus Dur. Semisal beliau dijuluki Bapak Pluralisme, Guru Bangsa, seniman, kyai, humoris, egaliter, moderat dan apapun itu alamat yang dituju kepadanya, sudah barang tentu sikap sikap tadi berpangkal pada cara berpikir yang mapan.
Tanpa kecerdasan, dan wawasan yang luas seorang Gus Dur tentunya tidak akan memilih sikap eklektik dalam bersikap. Itulah mengapa, Gus Dur selalu berlaku subversif dari kebanyakan orang lain. Beliau tidak pernah mau seirama dengan kebijakan pemerintah saat itu.
Ketika saya menilik ke kamus besar bahasa Indonesia, makna eklektik adalah pendekatan yang mencoba menyajikan hasil riset, teori, dan dari hasil pemikiran yang ada. Ini artinya seorang Gus Dur dalam memikirkan sesuatu selalu amat radikal dan mendalam. Walau nanti prakteknya terkadang ceplas-ceplos, toh itu hanya bagian dari gaya politik berbicaranya.
Kembali lagi menyoal slogan gitu aja kok repot, hemat saya slogan ini sengaja dicetuskan agar ketegangan dan kebingungan tidak menghantui publik. Bagi beliau rakyat tidak boleh di bodoh-bodohi dengan hantu propaganda yang menyesatkan.
Kita pastinya sadar, pemerintah saat zaman itu atau mungkin sekarang juga terjadi. praktek-praktek propaganda picisan yang sengaja diframing agar rakyat kembali bingung. Dan kini rasanya slogan tadi seolah senjata bagi rakyat kecil dan pecinta Gus Dur untuk menertawai lucunya anak bangsa ini.
Nah berarti gaes, mbah Gus Dur ini, enggak sesantuy yang kita kira lho ya. Sikap eklektik itu enggak mungkin digunakan oleh orang yang gegabah atau terlalu sellaw menjalani hidup. Hanya orang-orang yang cerdas dan serius yang pastinya akan memilih eklektik dalam bersikap.
Jadi gaes, terutama buat kaum millenial, hidup itu jangan terlalu santuy ya, apalagi pake jargon sellaw kayak di pulau, ntar kamu-kamu nggak tahu kalau orang orang yang serius sedang mencoba mbohongi kamu.
Santuynya cukup di bibir aja, hatinya jangan. Karena skripsi itu nggak bisa diselesaikan dengan mantra “santuy dan sellaw”. Sebab, pesan dosen saya skripsi yang selesai itu adalah skripsi yang sudah diprint bukan di ketik doang. Tanya aja tukang foto kopi kalo g percaya. (*)
Dosen IAIN Tulungagung.