Saya mengawali puasa dengan puasa bedug. Ini yang saya lakukan saat masih ginuk-ginuk. Sebagai pelajar SD yang nyambi Diniyah di sore hari maka malu jika kami tidak berpuasa. Sebab, beberapa kawan saya pun ada yang puasa. Namun, ada juga yang tidak puasa.
Tibanya Puasa Ramadan bagi kami anak-anak sangat menggembirakan. Senang karena sekolahnya tidak lama. Pulangnya jelas lebih awal, yang intinya waktu bermain kami lebih banyak.
Mengawali puasa bedug. Ritual saya nyaris mirip dengan orang dewasa. Saya tetap melakukan protokol puasa seperti umumnya. Bangun dini hari untuk makan sahur lantas akan makan lagi saat dhuhur.
Nah, di kalangan kami anak-anak saat itu muncul perdebatan. Seorang kawan bercerita jika saat puasa bedug, dia makan saat azan dhuhur tiba lalu boleh makan seterusnya. Intinya, batas waktunya hanya sampai dhuhur saat berpuasa. Setelah itu boleh makan lagi sampai magrib.
Pendapat kedua adalah saat dhuhur diberi kesempatan makan. Tapi nanti setelah selesak dilanjutkan sampai magrib.
Saya ikut mahzab yang kedua. Sebab, itu yang menjadi aturan puasa bedug di rumah saya. Sesungguhnya saat saya masih kecil juga tidak tahu mana mahzab yang benar. Tapi masih saja kami yang anak-anak ini akan selalu eyel-eyelan tentang puasa bedug. Huh dasar anak kecil.
Saat azan dhuhur tiba, rasa senang pun membuncah. Gembira sekali. Ingin sekali makan sepuasnya agar setelahnya bisa bertahan hingga magrib tiba.
Siang itu, saya masih saja duduk di depan piring. Sesekali mendorong nasi di dalam mulut dengan satu teguk es blewah. Rasanya sungguh nikmat. Sebagai anak yang masih usia SD, berbuka adalah kenikmatan. Pengennya apa saja yang ada di dapur dimakan semua. Tapi, faktanya tidak sanggup.
Nasi pun masih tersisa di piring membuat saya harus segera melahapnya. Jika tidak semburan dari ibu bakal lebih dahsyat dibandingkan menahan haus dan lapar.
Sampai detik ini saya pun tidak tahu di mana letak imsak saat saya berpuasa bedug kala itu. Seolah imasaknya sesuka emak saya mengabarkan. Jika dianggap makan lambat maka akan dikasih kabar “Ndang cepet mari ngene jame buko telas.”
Setelah ritual isi perut beres kemudian berlanjut menahan lapar dan haus lagi hingga kumandang adzan magrib. Jika adzan itu tiba sesegera mungkin es dawet ental dan ote-ote yang masih anget menjadi jujukan pertama. Saat buka itu tiba. Kami akan melupakan mahzab mana yang benar tentang puasa bedug.
Setelah berhasil berpuasa bedug selama satu bulan penuh. Tahapan selanjutnya adalah puasa ashar. Metodenya sama, puasa full sampai asar tiba. Setelah makan sebentar akan lanjut puasa lagi hingga magrib.
Puasa asar sungguh puasa yang nanggung. Hanya tinggi tiga jam saja sudah waktu magrib kok ya tidak sekalian saja. Tapi itulah emak saya. Memberikan pelajaran pelan-pelan. Semuanya bertahap.
Baiklah, yang jelas puasa bedug memang tidak ada dalilnya. Sebab, puasa menurut syariat itu menahan makan, minum dan bersetubuh yang dimulai terbit fajar sampai terbenanam matahari.
Puasa bedug memang untuk media belajar anak-anak. Jeda makan di saat bedug dianggap sebagai latihan agar saat besar nanti akan mudah untuk puasa mulai fajar hingga terbenamnya matahari.
Saya meyakini semua akan merasakan puasa bedug. Sebab, momentum itu sebagai petanda kita masih kecil dan berlatih menahan diri. Kini setelah dewasa puasa dhuhur telah sirna. Apa anda masih ingin puasa dhuhur?
Redaktur suluk.id