Sesuatu yang fana pasti akan rusak, harta, tahta dan aneka sifatnya dunia. Sama halnya perilaku eksploitatif lebih dekat dengan kerusakan atau mementingkan yang sirna.
suluk.id – Marhaban ya Ramadhan, kita tengah berada dalam gerbang bulan yang dirahmati oleh Allah, bulan yang penuh barokah dan maghfiroh. Perintah puasa diturunkan oleh Allah melalui firmannya dalam surat Al-Baqarah ayat 183:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
Agar kita bertakwa dan memahami, bahwa Allah mengajarkan kita untuk senantiasa bersimpati dan berempati pada penderitaan sesama kaum muslimin dan menahan diri agar tidak berbuat kerusakan. Dan, kita diharapnkan menjadi umat yang menjunjung tinggi prinsip tawazun, mampu menjaga hablum minannas, hablum minal-‘alam sebagai manifestasi hablum minallah. Karena kerusakan hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam adalah pertanda mungkin keimanan dan ketaqwaan kita sedang mengalami penurunan. Lalu mengapa menjaga tiga elemen itu penting, sebagaimana yang difirmankan Allah dalam surat Al-A’raf ayat 56:
وَلَا تُفْسِدُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَٰحِهَا وَٱدْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا ۚ إِنَّ رَحْمَتَ ٱللَّهِ قَرِيبٌ مِّنَ ٱلْمُحْسِنِينَ
Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.
Puasa tidak sekedar menahan rasa haus dan lapar, tetapi oleh Nabi Muhammad SAW kita diajarkan untuk “menahan” hawa nafsu. Apa yang membuat kita berperilaku yang “kufur nikmat” karena jahil dan boros dengan melahap semua yang diciptakan-Nyq untuk kepentingan sendiri, sehingga merugikan orang lain. Seperti merusak bumi dengan aneka eksploitasinya, demi memperkaya diri sendiri dan menimbunnya.
Mengutip Al-Hikam karya Ibnu Athoillah poin/pasal 43-44, bahwa pokok atau dasar dari semua maksiat adalah kelalaian dan syahwat, itu semua karena kita ingin memuaskan diri dengan hawa nafsu. Sedangkan pokok atau dasar segala ketaatan, kesadaran dan moral yakni adanya pengendalian terhadap hawa nafsu.
Perangai-perangai dekat dengan kaum mufsidin yang suka berbuat kerusakan, meretakkan hubungan manusia dengan alam, meretakkan hubungan manusia dengan manusia dan sebagai manifestasi dari menurunnya iman dan taqwa kita. Maka puasa adalah obat, sebagai terapi agar kita jauh serta dijauhkan dari perangai tersebut. Sebab puasa adalah wujud dari manusia membersihkan diri untuk kembali fitri, seperti yang diharapkan sang khalik untuk kembali pada apa yang diperintahkan-Nya
Kita sudah diperingatkan untuk menjadi hamba yang peka terhadap aneka perubahan dan bagaimana fakta-fakta perusakan bumi menjadi nyata. Kedzaliman meraja lela, kita disuguhkan perangai yang menjurus ke akhlakul mazmumah yang lekat dengan sifat takabur, sikap israf atah perilaku berlebih-lebihan dan ghuluw sifat atau tindakan yang berlebih-lebihan, seperti boros, melakukan sesuatu melebihi porsinya. Hal ini lekat dengan “eksploitasi.” Tahun kemarin dan tahun ini kita telah diperingatkan dengan adanya pandemi Covid-19. Yang efeknya benar-benar dahsyat. Di mana kita tidak bisa sholat berjamaah di masjid, silaturahmi dan tentu mengalami aneka gejolak sosial.
Puasa kali ini kita dituntut berefleksi dan kembali pada apa yang sudah Nabi Muhammad ajarkan. Untuk kembali memaknai iman dan takwa kita. Kembali ke perangai akhlakuk mahmudah sebuhan sikap, perilaku dan sifat yang baik. Memperbaiki hubungan kita dengan Allah, manusia dan alam. Menyembuhkan diri kita agar kembali ke ajaran yang rahmatan lil alamin, yang lekat dengan bagaimana kita tidak lagi berpretensi alim, tapi lebih kepada mereposisi sikap dan sifat kita untuk menjadi insan kamil yang mendorong maslahah ammah, atau kebaikan bersama secara luas kesejahteraan rakyat.
Sesuatu yang fana pasti akan rusak, harta, tahta dan aneka sifatnya dunia. Sama halnya perilaku eksploitatif lebih dekat dengan kerusakan atau mementingkan yang sirna. Sementara kita diajak berpikir bahwa hakikat iman adalah merawat yang tidak sirna, cahaya yang terus menerangi, sehingga manusia dekat dengan-Nya dan tentu dijauhkan dari yang mudah rusak. Mengutip Gus Dur dalam artikelnya berjudul Islam dan Kesejahteraan Rakyat yang ditulis pada 1 Juni 2002 (arsip santrigusdur.com):
“Jelaslah bagi kita bahwa, pencapaian kesejahteraan yang merata bagi seluruh bangsa kita, merupakan amanat agama juga? Bukankah kita menjadi berdosa jika hal ini dilupakan dan kita tetap tidak melakukan perbaikan? Bukankah penjualan tanah dan aset-aset lain di pedesaan kita oleh rakyat kecil, sekedar untuk memperoleh makanan saja, pada saat tulisan ini dibuat, merupakan kejahatan agama yang tidak dapat dimaafkan?”
Kita akan kembali pada upaya untuk hidup menjadi insan yang rahmatan lil alamin, yang benar-benar memanusiakan manusia dan menjaga serta melindungi alam ini. Penulis yang fakir ini hanya berbagi apa yang menjadi keresahan dan semoga menjadi pemantik bersama untuk lebih baik lagi. Semoga ramadhan kali ini kita mampu menjadi hamba-Nya yang baik.
Wallahualam bishowab, semoga kita dilancarkan ibadah dan mampu menjadi pribadi yang baik ke depannya.
Warga Nahdlatul Ulama, pekerja sosial