Assalamualaikum Kiai.
Semoga kiai selalu penuh Rahmat dari Sang Kholiq.
Sebelumnya saya harus sampaikan maaf bila surat untuk kiai mengganggu ketenangan. Mungkin juga lancang, seorang santri seperti saya sudah berani berkirim surat pada kiai.
Saya menulis surat ini dengan bayangan panjenengan masih begitu sehat. Sama seperti saat membaca kitab klasik. Membaca dengan khusuk sesekali memberikan tanda di kitab yang tengah lusuh itu.
Malam terus larut, saat saya mulai menulis surat ini. Malam juga tanpa bintang karena tertutup mendung. Sekarang semua santri-santri sedang berbahagia. Semua sorak sorai. Merayakan dengan berbagai cara.
Hari ini organisasi yang kiai dirikan sedang berulang tahun. 91 tahun yang lalu organisasi ini telah didirikan. Mulai pengurus NU sampai orang-orang yang mengaku NU pun hari ini turut bergembira. Saling berdoa agar organisasi yang kiai dirikan terus berkhidmat pada umat dan bangsa.
Kami sadar, tidak mudah mendirikan NU saat itu. Perlu perjuangan dan jiwa menjadi taruhan. Kini, NU tengah menjelma menjadi organisasi besar kiai. Menjadi organisasi garis depan penjaga NKRI, katanya.
Kiai, kini pimpinan NU-nya adalah KH Said Aqil. Kiai kharismatik yang cukup luas pengetahuannya. Tapi, saat terpilih sebagai ketua umum ada sedikit tangisan dan jiwa yang goyang.
Di Jombang waktu itu saat proses pemilihan. Saya yakin kiai juga menyaksikannya. Seorang kiai sepuh sampai meneteskan air mata karena kondisi muktamar yang berpolemik. Muktamar semakin riuh bahkan ricuh. Saya tak akan bercerita soal buku putih yang terbit usai muktamar itu.
Sebab, saya berkeyakinan kiai lebih tahu apa yang terjadi di Jombang saat itu. Apakah memang itu untuk perjuangan umat atau hanya untuk kepentingan kekuasaan?
Semoga kiai ada waktu untuk hadir di mimpi para kiai NU saat ini yang gila kekuasaan.
Kiai, di umurnya yang ke 91 tahun. NU sudah semakin mentereng. Kalau dulu diawal-awal hanya memiliki madrasah. Kini sudah berupaya mendirikan kampus. Bahkan, nyaris di setiap daerah tengah berdiri kampus yang bernafaskan NU. Tapi, kondisinya megap-megap mirip ikan yang kehabisan nafas.
Namun, lambat laun mulai berbenah. Setelah mendapat dorongan dari berbagai pihak akhirnya kampus yang resmi berlebel NU terus bermunculan. Semoga itu benar-benar menjadi aset NU bukan aset pribadi. Jurusannya pun bukan lagi Teknik Tarbiyah. Eh ngapunten. Maksudnya Pendidikan Agama Islam dan Syariah. Tapi, jurusannya teknik dan prodi eksak lainnya.
Saya tidak tahu kiai. Apakah kampus itu benar-benar untuk mengembangkan kader-kader NU atau hanya untuk gaya-gayan saja. Apalagi, kini di para santri-santri NU ada di pusat kekusaan negara. Jadi, sepertinya lebih mudah.
Jujur kiai, saya khawatir bila kampus itu di dirikan hanya untuk megah-megahan saja. Apalagi kalau hanya untuk mencari dana hibah dari pemerintah lalu di kelola dengan tidak profesional.
Semoga kekhawatiran saya ini tidak benar. Sebab, sudah banyak pemuda-pemuda NU yang cerdas hebat dan ikhlas.
Kiai, bangsa ini sedang rindu atas nasehatmu. Seperti nasehat yang kiai sampaikan saat mengajar ngaji di surau usai magrib. Bangsa ini sedang goyah kiai. Semua saling hantam. Saling lapor dan saling mengumbar fitnah.
Ada yang seolah benar sendiri. Bahkan merasa paling alim diantara yang lain. Ada juga yang sok-sokan bijak tapi semua tipu muslihat. Bukan bangsa ini saja yang rindu nasehatmu. Kami santri-santri pinggiran pun rindu nasehat itu.
Sepertinya petuah kiai perlu disampaikan ulang agar umat manusia di Indonesia ini tetap bersatu. Seperti pesan kiai yang tertulis di kita Qanun Asasi, kiai menyampaikan
‘’Manusia harus bersatu… Agar tercipta kebaikan dan kesejahteraan dan agar terhindar kehanduran dan bahaya. Jadi, kesamaan dan keserasian pendapat mengenai penyelesaian beberapa masalah adalah syarat terciptanya kemakmuran,’’
Semoga orang-orang tak lupa dengan dawuh kiai saat itu.
Kiai pasti sudah tahu, goyahnya bangsa ini tak lain adalah karena suhu politik Jakarta yang memanas. Apalagi, kalau bukan soal pemilihan gubernur provinsi itu. Semua jadi ikut saling beradu. Waktu semua orang tersita. Saling perang urat saraf hingga nyaris adu fisik.
Pemantiknya pasti kiai juga lebih tahu. Agama. Padahal, bila orang-orang itu mengetahui, Kiai pernah berpesan pada lanjutan pidato itu. Kiai menyampaikan pada pidato pembukaan muktamar Nu ke-17
‘’Kita menemukan bahwa peran masyarakat muslim dalam arena (politik) ini sangat tidak penting. Pengaruh agama dalam arena politik di Indonesia sangat lemah, bahkan mati. Bahkan, ada bahaya yang lebih besar lagi yaitu Islam telah digunakan oleh sebagian orang sebagai kendaraan mencapai tujuan-tujuan dan harapan-harapan mereka baik dalam bidang politik maupun pribadi. Sangatlah berbahaya bila masyarakat memandang mereka tidak tindakannya tidak sesuai dengan ajaran islam, sebagai muslim,’’
Dua pesan kiai ini saya cuplik dari buku Fajar Bekangunan Ulama Biografi KH Hasyim Asyari. Buku itu dituliskan oleh Lathiful Khuluq.
Kiai, meksi di tengah hiruk pikuk NU yang ada di pusat tapi masih ada santri-santri di kampung yang terus ber-NU tanpa kepentingan. Seorang pria yang sudah berusia lanjut masih tetap ber-NU dan menjaga tradisi-tradisinya di musola kampungnya.
Perempuan-perempuan NU pun yang mengenakan baju hijau masih berduyun-duyun ke langgar terdekat untuk mengikuti diba’an. Kiai, melihat ini saya justru berpandangan mereka yang ada di kampung-kampunglah yang sesungguhnya sebagai penjaga terdepan tradisi NU.
Sebelum mengakhiri surat ini, saya sebetulnya ingin ngangsu kaweruh tentang pendapat kiai soal industri.
Apa memang diperbolehkan? Bagaimana NU menyikapi bila ada industri yang berdiri di suatu daerah lantas pabrik itu membuat pencemaran lingkungan? Jujur, tak ada kiai sekarismatik panjenangan untuk saya tanya soal industri ini. Sebab, bumi ini sudah semakin tua kiai.
Saya jadi ingat kisah kiai. Saat memutuskan untuk mendirikan pesantren di dekat sebuah industri milik belanda waktu itu. Namun, niat kiai benar-benar ikhlas dan berjuang hingga melakukan perlawan dengan jalan pendidikan. Pesantren pun kian besar.
Jadi, saya berfikir, kehadiran pesantren di dekat industri itu sebagai simbol pertentangan langsung dengan teknologi barat dan efek negatif pada pikiran dan masyarkat.
Kiai, matur nuwun atas waktunya. Doakan kami santri-santrimu dan bangsa ini. Sebelum mengakhiri surat ini, izinkan saya untuk mencium tangan kiai seperti lazimnya santri yang ngalap barokah.
Wasalamualaikum warohmatullahi wabaraokatuh.
Redaktur suluk.id