Pondok Pesantren Matholi’ul Anwar (PPMA) merupakan salah satu pondok pesantren tua di Lamongan, karena didirikan sebelum kemerdekaan Indonesia oleh KH. Abdul Wahab pada tanggal 18 Januari 1914 Masehi.
Sebagai alumni, tentu kangen dengan tradisi-tradisi pesantren yang masih berlaku sampai saat ini. Terutama praktik ngalap barokah Kiai adalah menjadi tradisi di kalangan para santri.
Bagi santri, jalan yang ditempuh untuk mendapatkan keberkahan ilmu adalah khidmah kepada Kiai. Sebagaimana ada slogan al ‘ilmu bi ta’allum wal barakah bil khidmah, yang artinya ilmu diperoleh dengan belajar dan keberkahan ilmu diperoleh dengan khidmah.
Slogan ini sangat pas diwujudkan dalam proses pendidikan di pondok pesantren. Agar saat nyantri bisa kecipratan barokah walaupun sedikit, syukur-syukur malah mendapat ilmu laduni.
Konsep barokah ini semestinya tidak hanya berlaku untuk santri, namun juga berlaku bagi semua penuntut ilmu. Sebab secara bahasa berkah (al-barakah) diartikan sebagai ziyadah al- khair (lebihnya kebaikan atau bertambahnya manfaat yang datang dari Allah SWT).
Biasanya berkah ini menjadi sifat atau predikat dari suatu kenikmatan. Apakah kenikmatan itu membawa berkah atau tidak. Karena itu kita sebagai umat Islam ketika menyaksikan tetangga, Saudara atau teman yang mendapat kenikmatan, kita disunnatkan untuk mendoakan berkah kepada mereka.
Pesantren sudah terlabeli sebagai lading mencari keberkahan (tabarukan). Ketika menjadi santri di PPMA, saya pernah berharap bisa dekat dengan pengasuh, dalam hal ini KH. Mahsuli Effendi. Namun saking banyaknya santri, tidak mungkin semua santri dikenal Kiai.
Meski saya yakin semua masih kecipratan doa di setiap sujud dan shalat malam Kiai. Santri yang dikenal biasanya ada tiga kategori. Kalau tidak paling pinter, paling nakal atau mbethik, ya santri abdi ndalem.
Celakanya, saya tidak termasuk ketiga-tiganya.
Saya hanya santri biasa yang ngaji cuma bondo sami’na wa atho’na bismillah nderek Kiai dan berharap barokah. Melalui keberkahan itulah, walau tidak banyak ilmu yang didapat di pesantren tetap menjadi lantaran hidup sukses dan mujur.
Ini yang saya pegang sampai sekarang.
Rupanya penerapan ngalap barokah ini dapat ditemukan dari praktik santri-santri berikut ini. Tentu saya juga tidak mau ketinggalan ikut tabarukan.
Misalnya rebutan minum air bekas ngaos kitab, antri nyucup tangan Kiai saat selepas jamaah shalat maktubah, dan malek sandal Romo Yai meski beberapa kali gelo karena pernah kedahuluan. Di kalangan ilmu modern mungkin fenomena semacam ini bertentangan.
Bahkan ada yang menyangsikan dan dinilai musyrik akibat terlalu mengagungkan manusia.
Tapi yang namanya santri, keyakinan melebihi segalanya. Tidak ada menyekutukan Tuhan sekalipun. Hanya saja menghormati kealiman pengasuh yang mana berharap perantara beliau keberkahan bisa luber kepada kami.
Tidak hanya itu, makna keberkahan lain yang santri cari bisa melalui barang yang diberi oleh Romo Yai. Beberapa ustadz, senior, maupun santri seliting saya pernah mendapat hadiah baik itu surban, tasbih, minyak wangi, dan lain-lain.
Apalah saya, pernah mendapat berkat dari beliau saat pulang tindakan saja sudah senengnya minta ampun. Untung pada waktu itu saya ikut takrar (belajar) di musholah sampai larut malam.
Meskipun Romo Yai tidak mengenal saya, saya selalu senang setiap sowan masih ditanya nama dan asalnya. Ketika saya jawab “Nur Hasan Yai, saking Rengin Laren.”
Romo Yai pasti menjawab dengan jawaban yang selalu sama “Oh teko Rengin lak kenal Pak Tasrif”. Bagi yang belum tahu, Pak Tasrif adalah salah satu tokoh agama di kampung saya. Orang pendatang tapi sangat berkontribusi besar terhadap kemajuan agama Islam di kampung. Pak Tasrif juga guru ngaji kedua orang tua saya bahkan pak modin di kampung juga salah satu muridnya.
Bicara soal kedekatan dengan sosok ulama tentu sebuah kesempatan mahal yang patut disyukuri. Sampai pada akhirnya saya mendapat kesempatan yang tidak akan saya lupakan sepanjang hidup saya.
Ketika kelas tiga Aliyah, saya diberi peluang lebih sering sobo ndalem karena beberapa kali diminta bantu Ustadz Khotib (menantu pertama Romo Yai) ngurus berkas-berkas penerimaan beasiswa santri berprestasi (PBSB). Sekali waktu saya tidak menyangka ditimbali Bu Nyai, diminta tolong ngantar Romo Yai berangkat khutbah jumat di masjid Ihya’ul Ulum Dusun Simo.
Saya sebenernya segan bercampur takut, tapi ini kesempatan sebelum lulus bisa ngabdi. Saya tuntun tangan halus beliau lalu jalan pelan-pelan dengan mengendarai sepeda motor Vega-R milik Gus Faishol (menantu ketiga beliau).
Menuliskan bagian cerita ini saya sembari berusaha mengingat percakapan kami di atas motor. Tapi entah kenapa otak saya tidak bisa menyimpannya dengan baik.
Apa karena saya yang banyak maksiat sehingga tertutup atau faktor ndredeg kala itu menjadikan saya benar-benar lupa.
Meski demikian, saya tetap dapat mengambil pelajaran dari kisah tersebut.
Sebenarnya saya ingin memberikan gambaran bahwa dalam belajar, hal pertama yang harus ditanamkan dalam diri seorang santri adalah keikhlasan dan rasa patuh serta hormat dengan Kiai dan gurunya.
Dengan begitu, maka ilmu yang didapat akan menjadi berkah, dengan catatan harus dilandasi dengan adab, keikhlasan dan rasa hormat.
Belakangan setelah saya juga membaca beberapa literatur tentang pesantren, saya menyadari bahwa pesantren lahir dari nilai-nilai bukan wujud material bangunan.
Nilai keikhlasan dan ketulusan antara guru dan murid inilah yang terus menguatkan. Bahkan interaksi emosional demikian akan selalu terkoneksi antar santri dan lembaga meskipun sudah menjadi alumni.
Oleh sebab itu, jika saya boleh berpendapat. Pesantren hingga kini masih menjadi pusat pendidikan yang mengajarkan pendidikan karakter terbaik di negeri ini. Jasa dan pengabdian Kiai akan tetap terpatri di dada kami.
Akhir kata, mari kita kirim doa dan fatihah kepada Romo Yai, beserta para pengasuh, dan guru-guru (masayikh) PP. Matholi’ul Anwar yang telah mendahului kita. Semoga oleh Allah SWT diganjar kenikmatan taman syurga di rofiqil a’la. Lahum alfaatihah!

alumni Pondok Pesantren Matholi’ul Anwar Lamongan yang sekarang tinggal di Bangkok Thailand