“Natasya, kenapa kamu masih di situ? Ayo keluar bantu panitia di dekat panggung,” teriakku pada gadis bercadar ini, Jumat (31/5), di lokasi buka bersama bu Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid di Universitas Maarif Hasyim Latief (UMAHA), Ngelom Sepanjang Sidoarjo.
Dia pun beranjak dengan malas dari gazebo tempat panitia berkumpul. Aku yang tak sabar terus memintanya agar mau membaur dengan peserta dan panitia yang mulai memadati arena. Aku memang diminta, dengan sangat, oleh Paspampres agar segera mengkondisikan arena karena Bu Sinta sebentar lagi tiba.
Terhadap Natasya, aku mendorongnya agar tak perlu canggung selama acara dengan cadar yang ia kenakan.
“Bantu seksi acara menyiapkan pengisi acara,” mintaku.
Dari ratusan kader penggerak GUSDURian di seluruh dunia, Natasya adalah satu-satunya yang nemakai cadar. Ya, cadaran seperti perempuan yang pernah mengebom salah satu gereja di Surabaya.
Namun jangan salah, mahasiswi ini pernah ikut kelas pemikiran Gus Dur (KPG) di GKJW Mlaten Sidoarjo di mana aku ikut sebagai pengajarnya. KPG adalah pengkaderan formal Jaringan GUSDURian. Selama KPG itu, dia tidur, makan dan berproses di gerejanya Pdt. Anggra, sama seperti peserta lainnya.
Imajinasiku tentang perempuan bercadar selama ini benar-benar ditantang oleh kehadiran Natasya. Dia, sebagaimana kader perempuan lainnya, tidak canggung berfoto, bersalaman, dan berinteraksi dengan lawan jenisnya. Nongkrong dengan bhiksu dan pendeta, masuk pura dan klenteng, adalah hal yang juga ia lakukan.
Natasya juga aktif di PMII, sama denganku dulu, bahkan kini menjabat sebagai ketua Korps PMII Putri komisariat UMAHA. Pada kepanitiaan acara buka bersama tersebut, ia menjabat posisi yang mentereng; sekretaris panitia.
Cadarnya sore itu tak pelak menyedot perhatian ratusan peserta yang hadir. Aku tahu yang mereka pikirkan dan itu nampak menjadi pertimbangan Natasya untuk mengurangi kemunculannya di hadapan publik. Aku bisa merasakannya.
Itu sebabnya, aku tetap minta Natasya tetap bersikap biasa saja seperti yang lain. Bahkan ketika Firmanda, penatua GKI Sepanjang Sidoarjo, hendak mendeklarasikan berdirinya Pelita –Pemuda Lintas Agama kecamatan Taman– di atas panggung, aku meminta agar ia didampingi banyak orang, termasuk Lily, milenial Tionghoa Klenteng Krian, dan tentu saja; Natasya.
Di tengah perang ideologi Islam saat ini, bercadar adalah pilihan yang tidak mudah karena akan cenderung langsung dihakimi sebagai yang-intoleran bin radikal, sebagaimana banyak orang yang menudingku homo karena kerap berkumpul dengan kelompok LGBT.
Cadar Natasya kerap membuat dirinya jadi korban; dari hanya sebatas mispersepsi hingga upaya diskriminasi atas kehadirannya. Aku mendapat banyak laporan tentang hal ini dari sumber-sumber internal GUSDURian Sidoarjo. Sungguh membuatku miris.
“Aku ini tengah mendidik diriku agar bersikap adil pada semua orang. Orang tidak boleh dididiskriminasi hanya karena kebetulan ada orang lain punya identitas sama telah melakukan kejahatan. Apakah memakai tank-top, u-can-see, celana gemes, cadar adalah kejahatan pada dasarnya?” aku mulai berefleksi di hadapan puluhan panitia dan senior GDian yang ngumpul di pastori GKI Sepanjang setelah acara buka.
Kami memang agak lama mendiskusikan Natasya malam itu, terutama menyangkut sikap ideal atasnya. Sungguh tidak mudah. Untung dia tidak ikut sehingga kami relatif merdeka mendiskusikannya.
Menurutku, jika Natasya telah terpapar virus intoleransi dan radikalisme, dia pasti telah tersingkir sejak awal dari lingkaran GUSDURian, sebab yang kami lakukan adalah antitesa virus tersebut.
Kecuali, dia adalah kader senior kelompok “sebelah” yang ditugaskan menjajaki dan mengintip kami. Namun, siapa lah kami ini hingga perlu seserius itu membuat semacam operasi mahacanggih? Aku kembali memuntahi forum dengan pertanyaan itu. Mereka tertawa.
“Kemarin pas ada rapat panitia di pastori, ia hadir. Tetangga sebelah ada yang bertanya dengan heran apa yang dilakukan perempuan bercadar di rumah calon pendeta,” ungkap Nanda sembari tertawa.
Aku sendiri belum sempat ngobrol panjang dengan Natasya, termasuk menanyakan alasan di balik pilihan fashionnya itu. Namun aku tak mau sedemikian keponya soal itu.
“Siapa sebenarnya dia ini? Apakah mungkin ia adalah utusan Gusti yang dikirim untuk menguji sejauhmana kita bisa berpikir dan bersikap adil?” lagi-lagi aku bertanya.
Forum diskusi terus menghangat. Bergelas-gelas kopi disediakan Ayu hingga akhirnya bubar menjelang dini hari. (*)