Tiga tahun sebelum tulisan ini ditulis, Amrullah Ali Moebin alias Aam dan saya terkejut sekaligus bersedih. Di sebuah sudut ruang kantor pemerintahan yang temboknya berwarna krem itu, kami berdua memeram rasa takut dan gemetar.
Di depan kami, seorang anak kecil berusia SD tampak begitu menikmati sajian YouTube yang menayangkan seseorang memanggul AK-47. Sementara di sebelahnya, Field Gun Tipe 59-1 berdiri kokoh menantang awang-awang.
Aam dan saya tak bisa menyembunyikan rasa takut. Kami takut entah kepada apa. Kami, tentu tidak pernah takut pada anak kecil. Tapi, barangkali, kami hanya takut pada apa yang dipikirkan anak kecil itu tentang sebuah istilah bernama jihad.
Aam dan saya masih tak mampu menyembunyikan rasa takut. Di sudut ruangan milik kantor pemerintah itu, kami rasan-rasan tentang betapa berbedanya makna jihad dalam agama Islam di mata anak kecil di depan kami. Dan entah kenapa, kami merasa khawatir.
Di tempat yang sama, Aam dan saya langsung menggelar diskusi sederhana, sementara anak kecil di depan kami masih asyik menonton tayangan YouTube, dan tidak pernah menyadari kami sedang membicarakannya.
Kami menyepakati jika ada kesalahpahaman makna. Bahkan ada semacam pergeseran makna jihad. Makna jihad yang kami pahami di masa kecil, berpotensi beda dengan makna jihad yang dipahami anak kecil di depan kami.
Di mana letak kesalahpahaman itu? Jika komunikan hanya objek penerima pesan, siapa subjek komunikator pengirim pesan? Atau siapa yang mewasilahi komunikasi antara komunikator dan komunikan?
Sampai di titik itu, Aam dan saya menemukan bahwa internet menjadi wasilah yang menghimpun banyak informasi tentang pergeseran makna jihad. Bahkan, melalui internet, seorang komunikator mampu menyulap makna jihad menjadi sekadar laku mengangkat senjata.
Kami mengakhiri diskusi sederhana itu dengan sebuah kesimpulan bahwa makna jihad harus kembali diramahkan melalui internet. Bahwa jihad tidak melulu memegang AK-47. Bahwa internet harus disuplai dengan informasi tentang Islam ramah.
Jika tidak mampu mensuplai konten Islam ramah, setidaknya mampu mengangkat dan membombardir internet dengan konten tokoh-tokoh Islam ramah — sebuah komitmen psikologis yang harus ditunaikan dengan berbagai macam cara, tentu saja.
Setahun sebelum tulisan ini ditulis, saya bertemu redaktur Islami.co, Dedik Priyanto, di sebuah forum yang diadakan Jaringan Gusdurian. Dalam pertemuan itu, saya menerima informasi bahwa sebagian besar referensi Islam di internet didominasi konten berbasis Islam-kanan-njedug yang teramat ekstrim. Meski, tentu saja, rupa, wajah dan namanya beragam.
Itu bisa dibuktikan dengan mudah. Dedik sempat memberikan contoh, ketika mencari keyword “jihad” dan meng-klik gambarnya, yang muncul adalah propaganda perang berlatar Timur Tengah. Padahal, istilah jihad sangat dekat dengan orang Islam dan itu tidak melulu masalah perang.
Dedik mengakui jika stamina orang-orang islam ekstrim-kanan-njedug dalam merilis referensi terkait agama Islam di internet jauh lebih masif dibanding masyarakat Islam alusan (NU-Muhammadiyah). Sebab, mereka telah memulai jalur propaganda media daring cukup lama.
Dampaknya, meski NU dan Muhammadiyah menjadi golongan mayoritas di ranah offline, mereka terkapar dari golongan Islam ekstrim-kanan-njedug di ranah online. Dan sialnya, ekstrim-kanan-njedug didominasi kelas menengah dan mereka yang tidak belajar agama sedari kecil.
Saya, lalu bertanya pada Dedik, apa yang harus dilakukan jika kondisinya sudah demikian? Kata Dedik: teman-teman yang memahami ajaran Islam ramah, atau setidaknya pernah mengenyam pelajaran di pondok pesantren, harus mulai mensuplai informasi di internet.
Banyak kitab-kitab yang bisa dinukil untuk ditulis-adaptasikan sebagai konten di internet. Sejumlah kitab seperti Ta’limul Muta’alim, Aqidatul Awam, At-Taqrib, hingga Al- Jurumiyah, kini harus mulai ditulis –dengan gaya narasi internet– agar banyak masyarakat tahu bahwa jihad tidak melulu berperang.
Banyak pula tokoh-tokoh Islam ramah — dari tokoh yang sudah dikenal banyak orang hingga kiai kampung kharismatik yang jauh dari sorotan publik — harus mulai dikenalkan pada khalayak luas, agar pemahaman tentang agama Islam dan jihad bisa kembali dipersantun.
Satu jam sebelum tulisan ini selesai ditulis, saya berpikir jika ada sedikit persamaan antara Amrullah Ali dan Dedik Priyanto. Selain keduanya memiliki tubuh besar beserta brewok yang subur, mereka berdua punya peran besar dan ide yang subur untuk kembali meramahkan pemahaman Islam. (*)