Ada orang menyebut Ulil Abshar Abdalla (Ulil) telah berubah. Dulu, tokoh Jaringan Islam Liberal (JIL) sekarang lebih sufi. Ciri kesufiannya, sering mengampu pengajian kitab Ihya’ Ulumiddin karya Imam Ghazali.
Bagi saya, Ulil tetap Ulil. Kesufiannya, jika memang istilah itu relevan dengannya, tidak dengan sendirinya menafikan keliberalannya. Orang bisa tetap liberal di saat sama menjadi sufi. Masing-masing “beroperasi” di wilayah yang berbeda.
Paling-paling, dulu banyak konsen di wilayah yang satu, kini lebih sering hadir di wilayah satunya. Dulu intens berebut wacana di ranah yang satu, kini lebih tertarik mengajak orang memperdalam wilayah satunya lagi.
Liberalisme ada di tataran nalar, sufisme ada di relung jiwa. Nalar mengawal pemahaman, jiwa mengendalikan perilaku. Liberalisme Ulil mengajak kita memahami agama secara substansial. Tidak berhenti di kulit luar.
Ulil menyerukan adanya “penyegaran” dalam pemahaman keagamaan. Orang sering bertikai ketika mereka berhenti di bagian permukaan dari agama, tapi sering bersatu ketika mereka masuk lebih ke dalam sampai ke inti; intinya inti. Bahkan di jantung inti, agama-agama pun bisa terhimpun di satu flatform tanpa harus menanggalkan “baju” tiap-tiap agama.
Liberalisme Ulil mengajak kita bernalar “bebas” dalam memahami teks agama, sejauh yang disasar adalah maslahat. Dalam tarikan nafas ini, kesadaran akan adanya konteks yang mengelilingi setiap teks merupakan sebuah keniscayaan.
Teks-teks yang terkait masalah sosial, ekonomi, politik, dan kebudayaan misalnya, pemaknaan dan pengejewantahannya bisa menjadi cukup “lentur”. Dalam tarikan ini pula, yang jadi orientasi dalam “mengunyah” teks adalah pesan-moral, bukan melulu legal-formal.
Sementara itu, sufisme Ulil, sebagaimana telah disitir, adanya di areal jiwa. Dalam bidang ini, salah satu karya otoritatif di kalangan Sunni ya kitab Ihya’ buah pena Imam Ghazali. Terlepas dari apa motif penggerak Ulil rutin mengadakan acara “Ngaji Ihya'” yang jelas darinya saya mencatat dua poin.
Pertama, arus dan gaya kehidupan yang tengah kita hadapi saat ini memang menyeret banyak manusia pada budaya hedonisme, individualisme, materialisme, dan tren kebendaan-duniawi lainnya. Ihya’ menerangi dan menuntun kita lepas dari perangkap budaya dan tren tersebut.
Hingga di sini penting dicatat bahwa keliberalan seseorang, tak kecuali Ulil, tidak sebaris dengan budaya dan tren tersebut. Orang bisa sangat liberal tapi ia begitu sederhana, spiritualis dan altruis.
Kedua, acara rutin “Ngaji Ihya'” berhasil membuktikan kesantrian Ulil dalam hal penguasaan atas literatur klasik Islam (kitab kuning). Dalam hal ini Ulil bukan santri “kaleng-kaleng”. Keilmuannya mapan, penguasaan atas term-term tasawuf yang tersaji dalam Ihya’ mumpuni, dan kemampuan mensyarah term-term tersebut dengan contoh-contoh praktis keseharian juga memadai.
tulisan ini saya tulis tanpa bertanya terlebih dulu pada yang bersangkutan. Melulu keyakinan pribadi saya. Kalau ditanyakan langsung pada Mas Ulil tentang status ini, kemungkinannya; ya atau tidak!
Saya sendiri yakin, ia akan menjawab ya. Sayangnya, waktu Mas Ulil datang ke IAIN Tulungagung untuk Ngaji Ihya’ dalam rangkaian Milad ke-51 Kampus Dakwah dan Peradaban, alih-alih bertanya soal kebenaran status ini saya malah sibuk poto-poto dengannya. Seperti biasa!
Terlahir sebagai orang “Perancis (Peranakan Ciamis),” Menamatkan SD, MTs dan MAN di Ciamis. Pernah mengajar di Pesantren Darussalam, Ciamis (1997-1998), menjadi penerjemah lepas naskah-naskah berbahasa Arab