Sebelum menjadi kawasan pesantren, Tebuireng pada masa-masa awal justru dikenal sebagai daerah hitam. Sebab, daerah itu masih bergelimang dengan dosa dan maksiat. Lokasinya yang berada di antara ladang tebu dan hutan yang jauh dari rumah penduduk semakin mendukung keberadaan warung remang-remang. Para pelacur, pemabuk, penjudi, para begal dan rampok yang datang dari berbagai penjuru makin mempertegas Tebuireng sebagai sarang kemaksiatan.
Ketika beranjak senja, gelak tawa dan riuh rendah para pemabuk dan penjudi mulai bersaing dengan suara binatang malam. Kanan kiri jalanan penuh sesak oleh perempuan-perempuan nakal yang genit menggoda, tidak hanya pada lelaki hidung belang, tetapi juga lelaki yang berhidung mancung maupun pesek. He he
Melihat kemaksiatan yang terus merajalela, Kiai Hasyim Asy’ari muda merasa gelisah. Dalam setiap doanya, ingin sekali beliau mendirikan pesantren. Bagi Kiai Hasyim, pesantren bukan hanya sebagai tempat menimba ilmu agama, tetapi juga membumikan pesan-pesan langit bagi semua lapisan masyarakat tanpa kecuali. Justru di kawasan masyarakat yang akhlaknya buruk itulah, keberadaan pesantren sangat dibutuhkan.
Akan tetapi, bukanlah perjuangan jika tanpa menemui rintangan. Niat mulia Kiai Hasim justru ditentang dan ditertawakan oleh banyak kalangan pesantren, termasuk oleh mertuanya sendiri. Mereka tidak setuju jika tempat yang kotor malah didirikan pesantren. Apa jadinya jika pesantren yang suci justru bercampur dengan pusat kemaksiatan?
Melalui diskusi dan perdebatan yang cukup alot, Kiai Hasyim berhasil meyakinkan mereka semua. Kakek dan ayahnya tidak hanya memberikan restu, tetapi juga mengirimkan beberapa santri untuk menemani perjuangan Kiai Hasyim. Maka berangkatlah Kiai Hasyim menuju Tebuireng, membangun pesantren dengan cara membeli sebuah rumah bekas tempat pelacuran.
Keberadaan pesantren tersebut tentu saja segera mengusik para pemilik dan penghuni warung remang-remang. Merasa ladang ekonominya terancam, maka disusunlah rencana jahat. Sejak itu, muncullah gangguan yang bersifat psikis maupun fisik. Mulai dari intimidasi, perusakan pesantren, hingga ancaman pembunuhan. Menjadi sasaran lemparan batu dan kotoran merupakan makanan sehari-hari para santri.
Jangankan membalas, Kiai Hasyim justru mendekati mereka dengan santun dan sabar. Menyapa dan menanyakan kabar, menjenguk mereka yang sakit, mengundang selamatan, hingga menawarkan bantuan keuangan dan pekerjaan. Pada awalnya, pendekatan yang dilakukan Kiai Hasyim hanya bertepuk sebelah tangan. Lambat laun, ikhtiar tersebut mulai menunjukkan hasilnya.
Di satu sisi, usaha pertanian dan perikanan yang dirintis pesantren juga cukup berkembang. Para penghuni pelacuran tersebut tidak perlu lagi membeli beras, sayuran dan ikan di pasar yang lumayan jauh, tapi cukup di pesantren. Interaksi tersebut dimanfaatkan Kiai Hasyim untuk memberikan pencerahan dan nasehat, tanpa sekalipun menganggap mereka sebagai pendosa dan ahli neraka.
Kiai Hasyim tetap memandang mereka sebagai manusia, yang pada suatu saat akan kembali ke fitrahnya.
Benar kata pepatah Arab bahwa “al insan abdul ihsan”, manusia itu hambanya kebaikan. Kebaikan yang dilakukan secara terus menerus, pada akhirnya akan mampu meluluhkan hati seseorang, sekeras apapun, sehitam lumpur sekalipun. Perlahan-lahan, gangguan yang dialami pesantren menurun dan pada akhirnya hilang sama sekali. Para ahli maksiat yang awalnya alergi dan rikuh dengan pesantren mulai mendekat, mereka yang merasa sungkan dengan profesinya mulai menyingkir, bahkan tidak sedikit yang ikut mengaji bersama para santri lainnya.
Dakwah bil hikmah yang dilakukan Kyai Hasyim memang berat, butuh kesabaran ekstra, keteguhan hati, dan keimanan sekuat baja. Amar ma’ruf bil ma’ruf, dan nahi munkar bil ma’ruf. Mengajak kebaikan dengan cara yang baik, dan mencegah keburukan dengan cara yang baik pula. Mengajak memerangi kemaksiatan dengan kekerasan memang seolah cepat selesai, akan tetapi pasti akan berbuntut panjang serta menyisakan dendam yang turun-temurun.
Sejarah telah membuktikan, bagaimana da’wah Kanjeng Nabi yang penuh keteladanan akhlak telah meraih hasil yang gemilang, demikian juga keberhasilan da’wah Wali Songo di nusantara yang bisa kita rasakan sampai sekarang.
Meminjam kalimat Gus Baha’ bahwa untuk memperbaiki manusia itu butuh proses panjang, tidak bisa langsung dihabisi. Jika tugas kenabian hanya untuk memerangi keburukan, maka bermitra dengan Izrail akan jauh lebih efektif ketimbang bermitra dengan Jibril. Inilah esensi dari konsep Islam rahmatan lil ‘alamin.
Wallahu a’lam bis shawab. (*)

Anggota Lajnah Ta’lif Wan Nasyr PCNU Kabupeten Tuban