Sejarah pendidikan Islam berkembang seiring perkembangan peradaban Islam itu sendiri. Lembaga-lembaga pendidikan Islam merupakan hasil pemikiran setempat yang dicetuskan oleh kebutuhan-kebutuhan suatu masyarakat Islam.
Pendidikan Islam terus-menerus berkembang pada masa-masa selanjutnya dan mencapai kejayaan di era Dinasti Abbasiyah. Lembaga pendidikan yang berkembang sangat bervariasi, mulai dari pendidikan tingkat dasar, menengah sampai pendidikan tinggi.
Pada pendidikan Islam Nusantara, lembaga yang digunakan memiliki ciri khas tersendiri. Meskipun masih memiliki beberapa persamaan dengan lainnya. Lembaga pendidikan Islam Nusantara adalah wadah berlangsungnya proses pendidikan Islam yang bersamaan dengan itu adalah adanya proses pembudayaan nilai-nilai luhur yang diajarkan dalam ajaran Islam sebagai sebuah transfer of values. Proses tersebut dilakukan secara kontinyu dengan tetap mengakomodasi tradisi yang sudah ada di masyarakat Nusantara.
Akar Filosofis
Lembaga pesantren diklaim sebagai institusi pendidikan yang pertama dan tertua di Indonesia. Pesantren merupakan basis historis serta akar filosofis pendidikan di Indonesia itu sendiri. Meminjam analisis Manfred Ziemek dalam opus–nya Pesantren dalam Perubahan Sosial (1986), menegaskan bahwa pesantren adalah embrio utama serta tonggak berdirinya sejarah pendidikan di Indonesia sampai dewasa ini.
Dalam Bilik-bilik Pesantren (2010), Prof. Nurcholish Majid menyebut bahwa jika Indonesia tidak dijajah oleh kolonial Belanda, maka yang populer di Indonesia pada masa sekarang bukan Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Universitas Airlangga dan seterusnya. Namun justru perguruan tinggi yang berbasis pondok pesantren, seperti Universitas Gontor, Universitas Lirboyo, Universitas Tebuireng, Universitas Tambakberas dan sebagainya.
Pesantren di Nusantara biasanya dibedakan berdasarkan kurikulum yang dianut menjadi dua golongan. Pertama adalah tipe pesantren tradisional (salaf). Ini adaah tipe pesantren yang mengajarkan sistem madrasah diterapkan untuk mempermudah teknik pengajaran sebagai pengganti metode sorogan. Pada pesantren ini tidak diajarkan pengetahuan umum. Kedua adalah tipe pesantren modern (khalaf). Selain memberikan pengajaran kitab Islam klasik, juga membuka sistem sekolah umum di lingkungan dan di bawah tanggung jawab pesantren.
Keberadaan pesantren kadang juga dilihat dan dibedakan berdasarkan dari fokus kajian yang menjadi ciri khas pesantren tersebut. Pada konteks ini, muncul istilah pesantren al-Qur’an, pesantren ushul fiqih, pesantren hadits, pesantren fikih, pesantren shorof, pesantren nahwu dan lain sebagainya.
Faktor ketahanan (resilience) dari lembaga-lembaga pendidikan Islam Nusantara juga menarik untuk dicermati. Di Indonesia, menurut Ulil Abshar Abdalla (2021), terdapat dua jenis atau rezim pendidikan, yaitu modern dan tradisional. Pendidikan modern secara formal dibiayai 20% dari APBN, biasanya berada di daerah perkotaan, berbentuk seperti sekolah dan kampus.
Sistem kedua adalah sistem kerakyatan yang berada di daerah pedesaan, seperti pesantren, madrasah, meunasah, dayah, rangkang dan langgar. Namun tidak ada pesantren yang lahir dari patronase negara. Semua berdiri secara independen dari rakyat, dengan bantuan pemerintah yang sangat minim. Kehebatan sistem kedua ini mampu bertahan hingga sekarang dengan kurikulum yang relatif stabil dan mandiri.
Gus Dur sendiri, dalam buku Menggerakkan Tradisi (2001), menyebutkan bahwa gelombang Islamisasi Nusantara terjadi sebanyak dua kali. Pertama adalah Islamisasi saat zaman pertama Walisongo, yaitu usaha untuk mengenalkan agama Islam. Upaya-upaya yang dilakukan adalah pembudayaan hal yang baru itu bernama agama Islam di seluruh wilayah Nusantara.
Gelombang kedua adalah segala hal sebagai mengenalkan Islam kepada penduduk hingga level masyarakat bawah melalui pengetahuan. Pada posisi inilah fungsi pendidikan bagi Islam Nusantara semakin signifikan, yaitu pengilmuan masyarakat terhadap ajaran-ajaran agama Islam.
Generasi Milenial
Santri adalah unsur terpenting dalam sebuah pesantren. Menurut Zamakhsyari Dhofier dalam The Pesantren Tradition (1999), pesantren memiliki lima unsur, yaitu kiai, santri, pondok, masjid dan pembelajaran membaca kitab kuning. Kelima elemen tersebut merupakan ciri khas khusus yang dimiliki sebuah pesantren dan membedakan pesantren dengan lembaga pendidikan Islam lainnya. Kelima elemen ini saling menunjang eksistensi sebuah pesantren.
Posisi santri dalam konteks pesantren merupakan refleksi dari pancaran dan kedalaman ilmu kiai. Ini dikarenakan santri selama menimba ilmu di pesantren harus mampu meniru keteladanan kiai dalam hidup keseharian. Tidak sekedar memberikan nasihat. Tapi kiai lebih banyak memberikan teladan dengan berbagai perbuatan nyata dalam kehidupan yang dilakukan secara kontinyu. Itulah yang oleh Prof Achmad Muchibbin Zuhri (2010) disebut sebagai luru ilmu kanti lelaku. Dan, sosok yang tuntas mewujudkan, salah satunya, adalah KH M Hasyim Asy’ari Tebuireng.
Posisi pesantren juga sebagai kawah candradimuka bagi para generasi muda Nusantara sebelum melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi ke luar negeri. Saat Nusantara masih dijajah kolonial, bahkan hingga sekarang, menurut Zuhairi Misrawi (2010), masih menjadi asumsi bahwa belum dikategorikan alim jika belum menimba ilmu di Universitas Al-Azhar Kairo Mesir atau Mekkah-Madinah. Menimba ilmu di pesantren menjadi tahap penting bagi para calon ulama Nusantara sebelum mereka menimba ilmu ke luar negeri.
Konsistensi dunia pesantren untuk tetap mengimplementasikan tiga metode pembelajaran di dunia modern mewariskan karakter positif bagi generasi milenial. Metode sorogan akan membangun karakter mandiri bagi generasi milenial dalam menghadapi kehidupan. Pada konsep ini, tercetuslah istilah student center pada masa sekarang.
Konsistensi metode bandongan sudah terbukti membentuk karakter santri milenial untuk tetap mengikuti alur peraturan yang sudah digariskan. Sedangkan metode wetonan mendorong generasi milenial untuk terus menjaga relasi positif dengan lingkungan sosialnya. Ini karena kepekaan sosial menjadi kritik keras bagi generasi milenial, di samping attitude yang masih jauh dari ekspektasi.
Santri pada era digital sekarang ini adalah generasi calon penerus bangsa yang harus terus dibekali dengan kemajuan sains-teknologi. Di samping tetap harus secara kontinyu untuk menjaga ketahanan moral yang sudah diajarkan di pesantren. Pada posisi ini, pesantren adalah institusi pendidikan yang akan terus menunjukkan urgensi dan signifikansinya bagi peningkatan mutu generasi milenial.*
Dosen STAI Darussalam Krempyang Nganjuk