Suluk.id, Jombang – Puluhan pengurus NU memadati kantor Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWCNU) Kecamatan Diwek. Mereka hendak mengikuti pengajian rutin kitab Al- _Muqtathofat_ karya KH Marzuqi Mustamar, Rabu (2/7) malam.
Acara ini gelar oleh Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWCNU) Kecamatan Diwek. Peserta yang hadir berasal dari pengurus MWCNU Diwek, lembaga, banom dan perwakilan ranting NU.
Acara ini juga dihadiri oleh Ketua Tanfidziyah MWCNU Diwek KH Hamdi Sholeh. Hadir sebagai pembaca kitab Ustadz Muhyiddin dari Lembaga Bahtsul Masail (LBM) NU Diwek.
Rangkaian kegiatan dimulai setelah shalat Isya dengan pembacaan istighotsah. Sesi ini dipimpin langsung oleh Ketua LDNU MWCNU Diwek Kiai Muhammad Rofiq.
Pada kesempatan kali ini, pengajian membahas bab mengenai puasa sunnah dan amalan-amalan Nahdliyin. KH. Hamdi Sholeh mengaku memilih materi yang berbobot ini dan narasumber yang jelas kompeten. “Hal-hal inilah yang menjadi amaliyah sehari-hari kita dan tuduhan-tuduhan anti NU itulah yang akan dihadapi oleh para ketua ranting NU,” jelasnya.
Ustadz Muhyiddin menjelaskan bahwa puasa sunnah tidak mewajibkan niat di malam hari seperti puasa Ramadhan. “Berbeda dengan puasa Ramadhan, harus ada niat terlebih dahulu pada malam hari,” tuturnya.
Dia menjelaskan para ulama berbeda pendapat mengenai batas maksimal waktu niat puasa sunnah. Namun, mayoritas memperbolehkan niat dilakukan di pagi hari, dengan syarat belum melewati waktu Dhuhur dan belum melakukan hal-hal yang membatalkan puasa.
Terkait peringatan maulid Nabi Muhamad Saw, lanjutnya, dia menegaskan bahwa tidak perlu mempertanyakan dalil kesunnahan memperingati kelahiran Nabi. “Ketika Nabi ditanya dalil puasa hari Senin saja, Nabi menjawab karena pada hari itulah beliau dilahirkan,” jelasnya.
Dirinya menyayangkan sikap sebagian orang yang mempertanyakan peringatan Maulid. Sementara mereka sendiri biasa merayakan ulang tahun keluarga.
Dia merasakan keanehan saat Nabi ‘merayakan’ kelahirannya dengan puasa sunnah, bahkan manusia sekarang biasa merayakan ulang tahun anak-anaknya. “Tetapi kita malah mempertanyakan dalil ketika merayakan hari lahir (maulud) Nabi Muhammad Saw,” ujarnya penuh heran.
“Nahdliyin jangan sampai ikut-ikutan orang-orang yang membid’ahkan maulid Nabi,” tegasnya.
Dalam suasana yang santai namun penuh makna, Ustadz Muhyiddin juga menyampaikan pentingnya menjauhi maksiat dalam keseharian. “Sampeyan mau ngopa-ngopi, tura-turu ya ora opo-opo, asal tidak maksiat,” candanya, disambut tawa hadirin.
Mengenai hukum ziarah kubur, dia menegaskan bahwa larangan Nabi pada masa awal lebih karena konteks waktu itu yang rawan penyimpangan. Saat ini, menurutnya, ziarah kubur justru dianjurkan sebagai bentuk pengingat kematian dan penghormatan kepada orang saleh.
Terkait ziarah kubur, Nabi juga pernah melarangnya, tetapi itu karena dahulu ada indikasi adanya maksiat oleh para peziarah. “Tetapi sekarang sudah tidak, bahkan Nabi pun pernah mencontohkan ziarah kubur,” pungkasnya. (har)
Pengurus LTN MWCNU Diwek Jombang