Suluk.id, Jombang — Kajian kitab Al-Muqtathofat karya KH Marzuqi Mustamar digelar Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU). Acara berlangsung di kantor Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWCNU) Kecamatan Diwek, Rabu (12/11) malam. Acara diisi Ustadz Lutfi Salim Al-Asrori dari Lembaga Bahtsul Masail (LBM) MWCNU Diwek selaku pembaca dan penjelas kitab.
Ratusan peserta mengukuti kegiatan ini. Baik berasal dari pengurus, lembaga dan badan otonom. Termasuk Ketua MWC NU Diwek KH Hamdi Sholeh.
Dalam kajiannya, Ustadz Lutfi menekankan bahwa tujuan pendirian negara pada dasarnya memiliki kesamaan dengan tujuan syariat Islam. “Yaitu menjaga lima hal pokok atau al-maqashid al-khamsah,” ujarnya. Kelima prinsip tersebut, jelasnya, mencakup perlindungan terhadap agama (hifdzuddin), akal (hifdzul aqli), jiwa (hifdzun nafs), kehormatan (hifdzul irdh) dan harta (hifdzul mal).
Menurutnya, negara berperan penting dalam mengatur kehidupan dan menjamin kebebasan beragama, pemikiran, keberlangsungan manusia serta menjaga martabat dan harta benda rakyat. “Semua itu merupakan kewajiban yang menjadi inti dari keberadaan suatu pemerintahan,” jelasnya.
Ustadz Lutfi menambahkan bahwa bentuk pemerintahan tidak harus tunggal, tetapi menyesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat setempat. “Bisa berbentuk kerajaan, bisa juga republik seperti Indonesia,” terangnya. Ia menegaskan bahwa dasar negara memang tidak harus identik dengan dasar agama, seperti Al-Qur’an dan hadits. “Tetapi harus mampu menjadi penjaga keberlangsungan agama,” ujarnya.
“Di Indonesia ini sudah pas,” tegasnya. Dia menandaskan bahwa Pancasila merupakan sistem yang mampu mengawal kehidupan beragama dengan baik.
Ia juga menjelaskan bahwa keberlangsungan agama hanya dapat terjaga bila didukung oleh para pemegang kebijakan yang adil dan amanah, atau yang disebut iqomatul haq. Karena itu, menurutnya, mencintai tanah air adalah bagian dari kesempurnaan iman.
“Iman kita belum sempurna jika tidak disertai cinta tanah air, hubbul wathon minal iman,” ujarnya.
Ketua MWCNU Diwek KH Hamdi Sholeh berdoa agar seluruh jamaah mendapat limpahan rezeki dari Allah Swt. “Semoga semua yang hadir digaji langsung oleh Allah—yang pasti dan lebih besar,” ungkapnya yang diamini hadirin.
KH Hamdi kemudian berpesan tentang keikhlasan para pendidik dalam mengajar. Ia mengutip sabda Nabi bahwa guru memang tidak dijanjikan kaya, berbeda dengan kiai.
“Kalau ada guru yang kaya, itu agak aneh,” candanya dalam bahasa Jawa, “Enek guru kok sugeh, biasane mlincuran,” candanya.
Meski demikian, dirinya menjelaskan bahwa kiai dan guru sama-sama memiliki peran mulia, walaupun berbeda. “Kiai boleh menjadi guru, tapi guru belum tentu bisa menjadi kiai,” ujarnya.
KH Hamdi menambahkan, seorang kiai walaupun hidup sederhana tetap mampu menghidupi santrinya. “Ulama itu pewaris para nabi. Nabi sendiri disebut miskin karena tidak punya stok makanan di rumah, tapi beliau bisa menanggung hidup dua ratus santri yang disebut ashabus suffah,” pungkasnya. (har)
Oleh: Hari Prasetia, Pengurus LTN MWC NU Diwek
Pengurus LTN MWCNU Diwek Jombang








