Hubungan antara guru dan orang tua selama ini menjadi pilar penting dalam pendidikan. Namun dalam beberapa tahun terakhir, pilar tesebut tampak bergeser.
Diberbagai ruang digital, mulai dari grup WhatsApp hingga media sosial lainnya, orang tua semakin sering tampil sebagai komentator yang aktif mengkritik kebijakan sekolah, metode pembelajaran, bahkan keputusan disiplin guru.
Fenomena tersebut, mengindikasikan adanya “krisis kepercayaan” terhadap guru. Jika tidak segera diatasi, hal ini berpotensi melemahkan kualitas pendidikan secara menyeluruh.
Orang Tua Sebagai Komentator Digital
Transformasi teknologi membawa banyak manfaat bagi dunia pendidikan, tetapi juga melahirkan pola interaksi baru. Percakapan mengenai sekolah tidak lagi terbatas pada ruang rapat komite. Kini, komentar dapat disampaikan setiap saat, tanpa filter, dan tanpa menunggu penjeasan dari pihak sekolah. Kecepatan informasi sering mengalahkan kedalaman pemahaman. Akibatnya, kesalahpahaman kecil dapat berkembang menjadi isu besar dalam hitungan menit.
Dalam beberapa kasus, potongan video tanpa konteks dapat memicu amarah publik. Keluhan satu orang tua dapat memengaruhi persepsi kolektif sebelu guru diberi kesempatan memberi klarifikasi. Lingkungan Pendidikan berubah menjadi ruang yang mudah diguncang opini spontan. Ditengah dinamika ini, guru menghadapi tekanan baru, bukan hanya melaksanakan tugas belajar-mengajar, tetapi juga menghadapi penilaian publik yang berlangsung secara terus menerus.
Akar Krisis Kepercayaan
Krisis kepercayaan ini bukan muncul secara tiba-tiba. Terdapat beberapa faktor yang turut berkontribusi.
Pertama, perubahan pola keluarga modern. Banyak orang tua yang memiliki waktu yang terbatas bersama anak, sehingga sebagian merasa perlu memberikan perlindungan berlebih sebagai kompensasi. Dalam situasi tertentu, membela anak dianggap sebagai bentuk kehadiran emosional, meskipun pembelaan itu mengabaikan objektivitas.
Kedua, pengaruh narasi digital. Beberapa kasus pelanggaran oleh oknum pendidik yang viral di media sosial menimbulkan generalisasi bahwa sekolah tidak lagi aman. Dampaknya, Sebagian orang tua memasuki hubungan dengan guru dalam tingkat kewaspadaan yang tinggi. Padahal, kasus-kasus tersebut tidak mewakili mayoritas guru yang bekerja dengan integritas.
Ketiga, minimnya ruang dialog bermakna. Komunikasi, sekolah dengan orang tua masih sering bersifat satu arah dan formal. Jarang ada forum yang memberikan kesempatan bagi keduanya untuk saling memahami perspektif masing-masing secara setara. Akibatnya, mispersepsi yang tidak dibahas berubah menjadi ketidakpercayaan.
Guru dan Otoritas yang Semakin Tergerus
Guru, ditengah tekanan tersebut berada dalam posisi yang seba dilematis. Mereka dituntut untuk menambah nilai, disiplin, dan karakter. Namun, ketika otoritas dipertanyakan, proses terbeut menjadi tidak mudah. Banyak guru akhirnya menahan diri dalam memberikan teguran atau menetapkan standar perilaku karena takut salah langkah dan memperoleh reaksi negatif dari orang tua.
Padahal, pendidikan karakter tidak dapat berjalan lancar tanpa otoritas moral. Ketika guru kehilangan kewenangan memperbaiki perilaku siswa, sekolah kehilangan fungsi sebagai institusi pembentuk karakter, anak dalam posisi membingungkan. Di satu sisi, sekolah menanamkan tanggung jawab, tetapi di sisi lain, pembelaan orang tua dapat melemahkan pesan yang sama.
Lebih jauh, tekanan yang berlebihan terhadap guru dapat menurunkan kesejahteraan psikologis mereka. Beban administrasi yang berat, dikombinasikan dengan kewaspadaan menghadapi kritik orang tua, menjadikan lingkungan seklah semakin menekan.
Dampak dari hal ini, dapat berpotensi menurunkan kualitas pembelajaran, karena guru tidak dapat bekerja dalam kondisi aman secara emosional.
Dampak bagi Iklim Sekolah
Sebagai penyelenggara pendidikan, krisis kepercayaan memberikan dampak langsung maupun tidak langsung bagi sekolah.
Pertama, iklim sekolah menjadi kurang kondusif. Ketika guru merasa diawasi secara berlebihan, kreativitas dan keberanian mengambil insiatif berkurang. Proses belajar menjadi mekanis dan defensif, bukan lagi dalam situasi yang mendukung pembelajaran kritis.
Kedua, anak berada dalam konflik otoritas. Ketidaksinkronan antara nilai yang diajarkan guru dan respons orang tua menimbulkan ketidakjelasan batas perilaku. Dalam jangka panjang, hal ini akan menghambat perkembangan kedisiplinan dan daya tan mental siswa.
Ketiga, keputusan sekolah menjadi gamang. Pihak sekolah sering kali harus menimbang banyak faktor diluar pertimbangan pedagogis, sehingga proses pengambilan kebijakan tidak lagi fokus pada kepentingan terbaik siswa, melainkan pada potensi reaksi orang tua.
Membangun Kembali Kepercayaan
Meskipun situasi begitu kompleks, jalan keluar tetap tebuka. Kolaborasi antara orang tua dan guru perlu dipulihkan melalui beberapa alternatif.
Salah satunya, membangun komunikasi dua arah secara transparan. Sekolah perlu menyediakan ruang dialog yang lebih reguler, terbuka dan non formal untuk menjelaskan kebijakan serta mendengar perspektif orang tua tanpa prasangka.
Kemudian, menegaskan kembali bahwa pendidikan adalah kemitraan. Guru bukan _customer service_ melainkan mitra orang tua dalam membentuk karakter. Kritik tetap diperlukan, tetapi harus disampaikan dengan asas menghargai profesionalisme guru.
Selain itu, perlunya penguatan literasi publik tentang pendidikan. Masyarakat perlu memahami bahwa disiplin, baasan dan teguran merupakan bagian integral dari fungsi pendidikan. Tidak semua tindakan korektif identik dengan kekerasan, banyak diantaranya menjadi dasar pembentukan karakter anak.
Krisis kepercayaan terhadap guru merupakan salah satu tantangan besar pendidikan Indonesia saat ini. Namun, dengan komunikasi yang sehat, pemahaman yang lebih dalam, serta kesadaran bahwa suksesnya pendidikan adalah hasil dari kolaborasi, krisis ini dapat diatasi.
Mengembalikan kepercayaan kepada guru berarti mengembalikan stabilitas sekolah, menjaga kewibawaan pendidikan, dan memastikan masa depan anak-anak berada pada jalur yang benar.
Oleh: Risalatul Mu’awanah
(Tenaga Kependidikan SMA Darul Ulum 2 Peterongan Jombang)
Suluk.id merawat Islam Ramah serta mengajak beragama yang menggembirakan








