Sebagai orang yang tinggal di kampung, saya sering menghadiri acara tahlilan, manakiban, shalawatan, mantenan, sunatan dan an an lainnya. Barangkali Anda yang di kota juga sama. Sama-sama ikut merayakan acara “bid’ah” (hasanah) tersebut. Hehe.
Di forum tersebut tak jarang saya mendengar ceramahnya seseorang atau bacaan-bacaan dalam bahasa Arab yang terdengar kurang tepat secara kaidah. Terkadang saya kawatir kalau saya yang salah dengar. Tapi setelah saya dengar dengan seksama (inshat), kedengarannya memang kurang tepat.
Maka sebagai “The Santri” yang pernah sedikit mengaji tata bahasa Arab, saya merasa ganjel di hati dengan banyaknya ke-kurangtepat-an yang terjadi. Karena itu, saya akan tulis beberapa contoh kalimat atau kalam kurang tepat yang sering saya dengar (barangkali Anda juga pernah mendengar):
1. Mauidlatul Hasanah (dengan tarkib idlafi). Biasanya ungkapan yang kurang tepat itu sering terdengar dari MC / pembawa acara. Kalimat tersebut saya kira yang lebih tepat adalah Mauidlah Hasanah (موعظة حسنة) atau al-Mauidlah al-Hasanah ( الموعظة الحسنة) dengan tarkib na’at man’ut. Sesuai dengan artinya yaitu pitutur yang baik.
2. Akhinal Kiram. Kata “akhi” itu mufrad, sedangkan “kiram” itu jamak. Maka yang lebih tepat adalah “Akhinal Karim” (أخينا الكريم), sama-sama mufradnya.
3. Para Asatidz dan Asatidzah. Ungkapan itu sekilas kelihatan benar, tapi ternyata kurang tepat. Karena bentuk jamaknya “ustadzah” adalah “ustadzaah” dengan “dzaah” panjang. Jamak Muannats Salim. Jadi kalau kita berpidato, yang tepat adalah dengan mengucapkan “para asatidz dan ustadzaah” (اساتيذ استاذات).
4. Akhirul Kata. Lha ini namanya bahasa gado-gado. Arab dimudlafkan kepada Indonesia. Mungkin si pembicara ingin mengucapkan “Akhirul Kalam” atau “Akhir Kata” tapi keliru “Akhirul Kata”. Ruwet jadinya.
5. Wa Anta Hasbuna Allah. Ini juga tarkib yang membingungkan dalam bahasa Arab. Biasanya saya dengar itu dari pemimpin tahlil. Mestinya kalimat tersebut tidak bisa dibarengkan kesemuanya. Harus dijadikan dua jumlah/kalimat, yaitu “Wa Anta Hasbuna (وانت حسبنا)” saja (artinya: dan Engkau adalah dzat yang mencukupi kami) atau “Hasbuna Allah (حسبنا الله)” saja (artinya: Dzat yang mencukupi kami adalah Allah).
6. Lahumul Al-Fatihah. Yang ini Anda sudah faham kan kesalahannya? Walaupun kelihatannya remeh, tetap saja masih ada yang mengucapkan kalimat salah tersebut. Hemm.
7. Salamatan fiddinina wa afiyatan fil jasadina wa ziyadatan fil ilmina dst. Ibarat tali, ikatannya dobel, tali pati. Kalimat fiddini ( في الدين), fil jasadi (في الجسد) dan fil ilmi (في العلم) itu sudah makrifat kok masih ditambahi dlamir “na نا”. Maka tidak perlu ada tambahan “na”.
8. Ya wasi’ al karamin. Lho, sejak kapan al dan tanwin itu bergandengan tangan. Mereka itu ibarat Tom dan Jerry, musuh bebuyutan yang gak pernah akur. Jadi buanglah tanwin pada kata “al karamin”.
9. Was shalatu wassalamu ala alihi wa ashabihi ajmain. Sudah lebih dari sekali saya mendengar orang pidato seperti itu, ucapan salawat berbahasa Arab tanpa tujuan kepada Nabi. Barangkali ketika menghafalkan, teksnya ada yang hilang. Jadi gitu dech.. hehe..
Akhirul kata, eh, Akhirul kalam..
Saya jadi teringat ketika dulu ujian tesis di kampus. Ketika itu saya sempat bantah-bantahan dengan salah satu dosen penguji, karena beliau menyalahkan tarkib suatu jumlah (kalimat) yang saya tulis. Jumlah tersebut adalah “Hadza al-bahtsu muqaddamun linaili darajat al-majistir (هذا البحث مقدم لنيل درجة الماجستير)”.
Menurut salah satu penguji, untuk kata “darajat” yang benar diberi “al” menjadi “linaili al-Darajat al-Majistir”. Saya pun membantah, bahwa pemberian “al” itu kurang tepat. Karena kalau “darajat” diberi “al” maka tarkib kata “al-majistir” akan menjadi na’at/sifat. Dan itu kurang sesuai dengan kaidah naat-man’ut yang mana antara keduanya (naat man’ut) harus sesuai mudzakar atau muannatsnya. Maka kedua kata tersebut lebih tepat dijadikan mudlaf dan mudlaf-ilaih.
Tapi, dosen penguji tersebut tetap bersikukuh pada pendapatnya. Ya sudah, saya akhirnya mengalah. Lagi pula ngalah bukan berarti salah kan. (Biar nilainya tidak jelek. Hehe.) Setelah ujian, saya datang ke pembimbing dan menceritakan permasalahan tersebut. Dan dosen pembimbing membenarkan saya. Horeee.
Penulis: Terompah Kiai, Pendidik dan Anggota LTN PC. NU Kab. Tuban