Hari masih pagi. Tapi, panasnya Surabaya sudah bisa ditebak. Pagi itu 18 April 2015. Surabaya sudah cukup macet. Maklum, kota ini semakin padat kendaraan.
Malam harinya, Surabaya telah memiliki hajatan besar. Ada cara puncak perayaan Harlah Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).
Seperti biasa, pagi hari saya memiliki aktivitas rutin yakni datang ke Museum NU. Lalu menyalakan lampu-lampu penerangan dan lain sebagainya.
Belum genap satu jam Museum buka, ada seorang perempuan dengan satu anak kecil yang berjalan menghampiri saya di meja receptionis.
“Pak, saya mau masuk Museum, mau lihat-lihat.”
“Iya, silakan ibu mengisi buku tamu dulu.”
“Untuk biaya masuknya?”
“Gratis ibu.”
Setelah selesai menulis nama dan alamatnya di buku tamu, saya tahu perempuan itu bernama “Mirasari” dan alamatnya Bandung.
Kota yang sangat jauh. Kemudian saya mengantarnya keliling menelusuri bilik-bilik yang berisi koleksi di lantai satu sembari menjelaskan satu persatu koleksi yang ada. Sepanjang saya menjelaskan koleksi di lantai satu, semua berjalan aman-aman saja.
Artinya tidak ada pertanyaan-pertanyaan sulit, adapun itu, hanya pertanyaan-pertanyaan umum yang sudah sering ditanyakan para pengunjung kebanyakan. Dan saya sudah hafal itu.
Setelah itu, kami naik ke lantai dua. Di lantai dua Museum NU ini berisi pusaka-pusaka kiai NU yang dulu digunakan untuk perang, baik melawan PKI ataupun tawuran massal di Surabaya.
Juga ada baju para kiai, dokumen penting, foto bangunan bersejarah NU, baju Banser Riyanto yang terkena ledakan bom juga foto-foto tokoh NU.
Kami memulainya dari bilik paling kanan dan menjelaskan satu persatu koleksi yang ada yang masuk bilik paling kiri. Ibu Mirasari berhenti tepat di lukisan dan foto Mahbub Djunaidi. Dipandangi foto tersebut dalam-dalam.
Saya hanya menjelaskan apa yang ada di caption dan beberapa tambahan semampu saya, sebab selama ini saya jarang sekali membaca biografi tentang Mahbub yang lengkap. Yang tertera di caption.
“Mahbub Djunaidi, salah satu ketua PBNU dan pendiri PMII sekaligus ketua selama tiga periode.” Hanya itu.
“Mahbub ini sebenarnya siapa mas? Apakah hanya jadi ketua PBNU dan pendiri PMII sekaligus ketuanya saja? Apa ada sepakterjang yang lain dari beliau?”
Jleb, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan hanya membuat saya diam. Gedung dan seisinya seraya runtuh. Tubuhku kaku seperti terkena serangan es Eurora.
“Maaf ibu, hanya ini yang saya tahu tentang Mahbub Djunaidi.”
“Besok dilengkapi ya pak, Mahbub ini orang besar, selain beliau ketua PBNU dan pendiri PMII, masih banyak sepakterjang beliau yang harus diketahui banyak orang, termasuk pemikiran-pemikirannya.”
Ibu Mirasari mulai berjalan menelusuri satu bilik terakhir dari ruangan Museum NU lantai dua. Tapi aneh, kakiku rasanya tidak mau beranjak, seperti terbebani palu Thor yang amat sangat berat. Bagaimana tidak? Saya selaku Guide dan tidak bisa menjelaskan apa yang sudah seharusnya saya tahu.
Setelah selesai, kami turun kembali ke lobby gedung. Sambil menuruni tangga, yang ada di benak saya hanya rasa penasaran siapa sebenarnya perempuan ini, kelihatannya dia tahu betul siapa Mahbub Djunaidi. Sampai akhirnya sampai di depan receptionis beliau pamitan.
“Terimakasih pak sudah di temani keliling museum, saya Mirasari putrinya Mahbub Djunaidi.”
Kali ini lebih Makjleb lagi, bukan lagi gedung dan seisinya runtuh lalu menimpaku, bukan! rasanya sudah seperti tersambar petirnya Eudora.
Bayangkan, betapa malunya diri ini. Sudah berlagak seperti Guide professional yang menjelaskan sana-sini dan yang saya jelaskan adalah anaknya Tokoh yang saya kurang tahu.
Mulai saat itu, saya fokuskan untuk mencari tulisan-tulisan tentang Mahbub Djunaidi. Dan ketemulah beberapa arsip penting yang menjelaskan beberapa pemikiran dan sepakterjangnya.
Juga termasuk biografi yang sedikit lengkap daripada yang pernah diulas di buku-buku atau beberapa web yang pernah saya kunjungi yaitu, nama saudara kandung dari Mahbub Djunaidi, hobi, juga hubungan eratnya dengan tokoh-tokoh besar di negeri ini.
Hal ini jarang sekali diungkap. Dan sajak saat itu pula saya mulai sedikit mengenal Mahbub Djunaidi melalui Anaknya, Isfandiari Mahbub Djunaidi, yang sampai sekarang masih berhubungan baik, juga beberapa orang di MDC (Mahbub Djunaidi Center).
Perkenalan saya dengan Mahbub Djunaidi memang tidak secara langsung bertatap muka, berjabat tangan dan saling sapa “Hai Bung” dan lain sebagainya, melainkan sebuah perkenalan melalui tulisan dan putra-putrinya.
Mahbub Djunaidi, siapa yang tidak mengenalnya, tokoh besar yang menyandang gelar kehormatan sebagai “Pendekar Pena” tersebut. Dengan tulisan-tulisan sangarnya, siapa yang tidak nge-fans dengannya, apalagi saya yang waktu itu belum tahu apa-apa soal tulis-menulis.
Tulisan-tulisannya sangat segar, penuh humor menggelitik dan juga kritik yang membuat pembacanya akan merasa tersindir. Begitulah gaya khas Mahbub Djunaidi dalam menulis.
Cerita ini memang tidak membahas panjang masalah tulisannya. Sebab bagi para aktivis NU pastilah sudah khatam dengan tulisan-tulisan Mahbub dibandingkan saya yang sampai saat ini belum menyelesaikan bukunya berjudul “Kolom Demi Kolom”.
Saya ingin menyampaikan atau lebih tepatnya bercerita tentang perkenalan dengan Mahbub yang harus diawali dengan hal yang memalukan. Tapi, bagi saya ini adalah sebuah keberkahan. (*)
Ahli sejarah, Alumni UIN Sunan Ampel
Nuhun kang..Edi..kapan2 kontakan lagi ya..wa saya..thx
‘