Sekali lagi pengandaian ini adalah bentuk antisipasi saja. Jika kelak anda-anda yang telah mengkomodifikasi NU dengan membawa bendara NU untuk nyusu ke negara, maka anda harus bisa berbesar hati.
—-
Pilkada tinggal sebulan lagi. Semua tim pemenangan sedang mati-matian untuk mengambil hati publik. Harapannya, kelak di hari pencoblosan publik bisa memilih cabup idaman para tim pemenangan.
Di Tuban ada dua kader NU yang bertarung. Satu sebagai cabup yang diusung PKB yakni Ana Khozanah. Selain itu ada Armaya yang menjadi cawabup diusung oleh PDI Perjungan dan partai koalisinya. Sedangkan Lindra-Riyadi dikabarkan tidak terafiliasi dengan NU tapi memiliki kedekatan dengan para kiai di Sarang. Suport ini turut membawa pengaruh beberapa orang NU ada di tubuh pasangan Dadi.
Atau di daerah lain yang kader NU sedang bertarung. Seperti di Blora ada Arief Rahman yang diusung oleh PKB dan PDI Perjuangan. Begitu juga di Lamongan ada Kartika dari PKB dan PDI Perjuangan. Pun demikian dengan Abdul Rouf yang diusung Partai Demkorat dan koalisinya sebagai wakilnya Yuhronur.
Baiklah, sejatinya saya tidak ingin mendahului takdir untuk mengatakan andai kader NU tak lagi menjadi bupati atau wakil bupati. Sebab, ketiganya memiliki peluang yang sama untuk menjadi pemenang. Saya juga yakin, ketiganya mengklaim telah memiliki banyak dukungan. Prinsipnya, hari-hari menjelang pemilu semua sah sah saja saling klaim.
Pengandaian jika kader NU tidak menang pilkada itu keluar setelah melihat beberapa pertarungan para kader NU di periode kedua atau ketiga. Seperti Gresik, setelah lengsernya KH Robach sepertinya sulit sekali kader NU merebut kursi bupati. Juga terjadi di Bojonegoro, yakni mantan Bupati Santoso yang diusung oleh PKB. Bupati ini keok saat harus bertarung dengam Suyoto.
Tidak terpilihnya kader NU dalam kontestasi politik saya kira biasa saja dan itu lumrah terjadi. Baik yang sebelumnya daerah itu dikuasai NU ataupun tidak. Namun, yang perlu diantisipasi adalah peristiwa setelahnya. Apa yang terjadi, memang tidak banyak yang bisa menebak.
Jika belajar dari Bojonegoro saat sepuluh tahun bupati dipegang oleh kader Muhammadiyah, maka NU tetap saja NU. Artinya, NU tetap dengan aktivitasnya. Saya yakin yang mereka yang merasa sedih dan nangis meronta-ronta adalah oknum NU yamg mengais pundi pundi rupiah saat kader NU menjadi bupati. Seolah NU menjadi tameng untuk menumpuk harta bendanya.
NU sejatinya adalah organisasi besar yang bukan hanya sebagai kendaraan politik. NU juga bukan senjata untuk meraup suara kontestasi Pilkada. Hanya, di momentum Pilkada warga NU selalu menjafi sasaran empuk untuk dirayu suaranya.
NU yang dibawa terlalu politis dalam proses pilkada dan hasilnya justru kalah akan berimbas pada kader NU itu sendiri. Jika kader kader tersebut bisa menerima dan melampiaskan kekalahan ke hal hal positif akan membuat marwah NU terjaga. Tapi, jika saluran kekalahan justru dengan cara yang tidak elegan maka akan merusah citra NU iti sendiri.
Pilkada memang akan mengajarkan tentang kelegowoan. Para punggawa NU bukan pengemis proyek pemerintah ataupun negara. Sebab, NU adalah bagian sejarah yang melahirkan negara itu sendiri. Artinya, hina sekali jika para kader NU hanya bermentalkan nyusu pada negara.
Sekali lagi pengandaian ini adalah bentuk antisipasi saja. Jika kelak anda-anda yang telah mengkomodifikasi NU dengan membawa bendara NU untuk nyusu ke negara, maka anda harus bisa berbesar hati.
NU akan tetap NU seperti khitahnya, meskipun memiliki atau tidak kadern bupati. Sebab, NU lahir untuk merawat umat bukan hanya untuk pertarungan memuasakan hasrat. Meskipun politik adalah keniscayaan. (*)
Redaktur suluk.id