Kita memahami bahwasanya keberadaan penciptaan manusia diprogram oleh Allah SWT dengan menu program yang sempurna, baik pada dimensi lahiriyah-jasmani dan batiniah-ruhani. Oleh karena itu, manusia dengan kesempurnaan ciptaan seyogianya mampu memanfaatkan dan memberdayakan seluruh aspek komponen tersebut dengan sebaik-baiknya.
Perjalanan menuju yang Tunggal memiliki jalannya sendiri-sendiri. Sebagaimana pengalaman spiritual yang dialami oleh seorang hamba dalam mendekatkan diri dengan Tuhannya. Fenomena kegersangan spiritual dewasa ini, dihadapkan lagi dengan arus globalisasi. Menjadikan manusia lebih jauh bahkan menjauh dari Tuhannya. Inilah yang menyebabkan terjadinya kemerosotan pada hakekat penciptaan manusia sebagai khalifah di bumi.
Sebagai khalifah di bumi, keberadaan manusia harus mampu memberikan contoh yang terbaik bagi seluruh ciptaan. Penciptaan manusia membutuhkan proses yang panjang, dibandingkan dengan penciptaan Tuhan yang lainnya. Ada nilai kecerdasan mewujud dalam diri manusia, ada juga nilai kesombongan hadir dan mempengaruhi pola pikir perjalanan kehidupannya.
Begitu juga adanya arus globalisasi dan kemajuan zaman, manusia dituntut untuk lebih memahami peta pergerakan perkembangannya, agar keberadaan manusia sebagai khalifah di atas bumi dapat menjalankan amanah yang diberikan Allah dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu, penguatan diri dalam diri manusia dengan pembekalan intelektual sebagai alat guna menelusuri lorong kehidupan menjadi sebuah keniscayaan. Penguasaan pengetahuan tersebut merupakan keharusan bagi umat manusia, dengan pengetahuan ia dapat memetakan perjalanan kehidupannya. Oleh karena itu, realitas kehidupan yang dijalani inilah membutuhkan pembacaan diri bagi setiap individu dalam menapaki jejak perjalanan kehidupan. Dengan muhassbah ia dapat memahami hakekat kehidupan.
Namun Alexis Carel dalam buku Islam Madzhab Cinta Cara Sufi Memandang Dunia, karya Mukti Ali seorang kader Muda NU menjelaskan, bahwasanya Carel melakukan kritik terhadap manusia modern yang di satu sisi, manusia sangat cepat mencapai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menakjubkan, tetapi di sisi lain sangat lamban dalam hal pengetahuan tentang dirinya sendiri. Memahami dan mengenal hakekat manusia adalah sebuah tantangan. Karena mengenal manusia berarti mengenal diri kita sendiri, kehidupan, lingkungan, alam, dan Tuhan. Menurut para sufi, bila manusia tidak mengenal dirinya sendiri, maka sudah dipastikan ia tidak akan mengenal Tuhannya. Disinilah peranan kekuatan spiritual menjadi sesuatu yang sangat penting dalam menjalani kehidupan ini.
Intelektualitas sebagai alat dalam menapaki jejak langkah perjalanan kehidupan di dunia, sedangkan spiritualitas berfungsi menjadi pembimbing bahkan penasehat, agar perjalanan kehidupan ini tidak tersesat dalam jurang yang mematikan. Seseorang yang mampu menggabungkan dua unsur ini yaitu antara intelektualitas dan spiritualitas, maka akan terlahir unsur baru yaitu Mahabbah. Dengan kehadiran cinta yang mewujud dalam diri seseorang, ia selalu mengedepankan nilai-nilai ketawadu’an, kearifan, membangun keharmonisan, dan tidak mengedepankan egoisme kediriannya yang akan berdampak pada sifat kesombongan dan keangkuhan.
Berkenaan dengan Mahabbah Suhrawardi pernah mengatakan “Sesungguhnya, Mahabbah (cinta) adalah suatu mata rantai keselarasan yang mengikat Sang Pencipta kepada kekasihnya; suatu ketertarikan kepada kekasih, yang menarik Sang Pecinta kepadanya, dan melenyapkan sesuatu dari wujudnya, sehingga pertama-tama ia menguasai seluruh sifat dalam dirinya, kemudian menangkap zatnya dalam genggaman Qudrah”.
Kalau kita mau merenungi dan memahami firman Allah dalam Qs. Al-Ankabut ayat 45 “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar”. Dapat kita temukan sebuah pertanyaan ,Kenapa ibadah sholat dapat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar? Maka jawabanya adalah ketika seorang hamba mencintai Tuhannya, dengan kebenaran cinta dan ketulusan hati. Maka tidak akan pernah terbesit dalam benak dan pikiran manusia untuk melakukan perbuatan yang mencederai bahkan menyakiti saudaranya. Karena mahabbah senantiasa menghadirkan ketulusan jiwa dan kebesaran hati dalam menata keharmonisan kehidupan.
Oleh karena itu, relasi antara intelektualitas, spiritualitas dan mahabbahakan membentuk generasi yang memiliki sudut pandang keilmuan yang luas. Yang dibingkai dengan gerak kehidupan pada nilai-nilai ketawadu’an, andap asor, etika dan estetika yang dapat mewarnai keindahan perjalanan kehidupan ini. Semoga kita mampu mengimplementasikan nilai-nilai tersebut dalam mengukir sejarah perjalanan kehidupan kita. Amin…
Dosen Fakultas Dakwah IAINU Tuban