Ikhlas itu sesuatu yang sungguh sangat berat untuk dijalankan. Bagaimana tidak, setiap hal yang kita lakukan masih saja ‘pamrih’ berharap ada sesuatu yang sifatnya resiprokal (timbal balik). Misalnya kita bersedekah, selalu saja mengharapkan pahala agar kelak selamat dunia akhirat.
Lalu, dalam membantu orang lain, di lubuk hati terdalam kita pasti mengharapkan ada balasan di suatu saat kelak. Belajar dari definisi ikhlas sepengetahuan al-fakir ini yakni tanpa ‘pamrih’ berharap balasan, menjalankan segala syariah dan amalan serta amaliyah hanya untuk ridhonya tanpa balasan lainnya.
Pernah satu ketika membaca ulasan mengenai ikhlas oleh Prof. Quraish Shihab yang menganalogikan ikhlas ibarat air putih di dalam gelas. Di dalam gelas tersebut tak ada materi lain selain air tadi, tak berwarna dan tak berasa. Itulah ikhlas, yakni segala sesuatu usaha atau upaya manusia dalam mengerjakan amalan dan amaliyah tanpa ada motif apapun. Semuanya dikerjakan hanya untuk meraih ridhonya, sebagai hamba-Nya yang beriman.
Ikhlas sendiri secara hakikat merupakan ibadah yang berat. Karena merupakan satu ujian di mana keimanan kita diukur, seberapa kuat seorang manusia menjalankan syariah dan segala sesuatu yang baik, tanpa ada keinginan yang sifatnya individualistik. Mengharapkan segala sesuatu atas dasar keuntungannya sendiri. Maka dari itu ilmu yang paling tinggi tingkatannya adalah ikhlas, karena akan menunjukan kualitas seseorang dalam menjalankan segala perintah-Nya. Pernah suatu ketika, al fakir ini mendegarkan ulasan dari Gus Baha dalam kajiannya mengenai Nashoihul Ibad karya
Syeikh Nawawi Al-Bantani. Kajian yang disampaikan beliau menyasar pada maqolah (pelajaran) 16 dan 17 tentang Jalan untuk Menuju Hakekat Takwa dan Pelindung dalam Lima Perkara. Dalam maqolah ke 17 beliau menyebut tentang empat tingkatan ikhlas menurut kitab Nashoihul Ibad, yaitu:
Membersihkan amal dari perhatian orang, tidak bertujuan lain dalam ibadahnya, kecuali dengan niat melaksanakan perintah Allah. Beribadah yang sebenarnya bukan bertujuan agar manusia bertekuk lutut di hadapannya, mencintainya, memujinya, agar memperoleh harta, dan sebagainya.
Beramal karena Allah, agar Allah memberi bagian-bagian yang ada di akhirat, seperti jauh dari siksa neraka dan masuk surga, serta bersenang-senang dengan bermacam-macam kenikmatannya. Beramal karena Allah, agar Allah memberi bagian duniawi, seperti agar banyak rezeki, terhindar dari hal-hal yang menyakitkan adapun selain itu riya’.
Dari uraian di atas kita mendapatkan pelajaran berharga mengenai ikhlas. Yang mana kita sering ucapkan sehari-hari, secara lisan maupun tulisan dengan penuh penegasan, seakan-akan telah melakukan sebenar-benarnya apa itu ikhlas.
Misalnya, “aku ikhlas dengan ujian ini,” atau “aku ikhlas membantu kalian yang kesusahan.” Namun di satu kala, kita berharap ada timbal balik. Ujian yang diterima seringkali di dalam waktu lain, tak jarang kita mengumpat dan menyalahkan Allah. Di lain sisi kala kita membantu, tak jaran juga kita mengharapkan imbalan, contoh kasus kala pemilu akan hadir. Membantu, mengucapkan kata ikhlas tapi berharap mendapatkan suara pemilih.
Itu semua hanya prasangka al fakir, tidak sepenuhnya semua manusia begitu. Karena ikhlas itu tak semudah ketika diucapkan atau dituliskan. Namun kembali ke hati kita, ke pemaknaan mengapa kita beribadah kepada-Nya, meredefinisi ulang konsep ketakwaan dan keimanan kita. Secara hakikat ikhlas itu sumbernya di hati, dalam lubuk terdalam sebagai mahkluk yang menjalankan perintah sang khalik Allah Subhanallahu Ta’ala.
Berkaca dari itu semuanya, lisan dan tulisan boleh mengungkapkan ikhlas. Tapi hati dan pikiran tak pernah bisa berbohong, mengenai apakah apa yang kita lakukan benar-benar karena iman dan takwa kita kepada-Nya. Ikhlas secara hakikat merupakan tingkatan sejatinya manusia yang benar-benar telah selesai dengan keduniawian yang fana.
Maka ikhlas bukan sebatas simbol, tapi merupakan hakikat manusia dalam beriman dan bertakwa kepada-Nya. Ikhlas itu tak tampak, ia ada dalam laku lelaku kita sehari-hari, sebagai suatu proses dalam hablum minallah. Segala sesuatu yang didasarkan hubungan antara manusia dengan penciptanya.
Wallahualam Bishowab, semoga kita menjadi manusia yang senantiasa ingat kepada-Nya dan dapat menjalankan apa itu ikhlas yang sesungguhnya. (*)
Warga Nahdlatul Ulama, pekerja sosial