Nama K.H Maimoen Zubair terkenal di seantaro nusantara sebagai seorang bijak bestari. Beliau akrab disapa Mbah Mun, begitu santri dan masyarakat umum memanggilnya. Setiap tutur kata dan tindakannya senantiasa menjadi panutan bagi santri dan pecintanya.
Mbah Mun selalu menyempatkan mengaji untuk santri-santrinya. Terkadang kondisi yang rapuh di usia senjanya tak bisa menyurutkan istiqomahnya dalam mengajar dan mendidik umat.
Di sela-sela rutinitas mengaji, beliau tak jarang bahkan seringkali menyempatkan diri menerima tamu-tamu dari berbagai kalangan. Semua diperlakukan sama, dengan penuh penghormatan dan kearifan. Bisa dipastikan, usai mendengarkan wejangan atau nasihat dari Mbah Mun, banyak tamu yang merasa mendapatkan pencerahan atau oase di tengah kebimbangan menjalani kehidupan.
Tamu beliau setiap hari berdatangan silih berganti. Jarang sekali menjalani hari-hari tanpa kedatangan tamu. Meski sekadar perkara remeh yang ingin disampaikan oleh tamu, Mbah Mun tak pernah memandang sebelah mata. Semua yang datang sowan didoakan dengan tulus, semoga mendapatkan keberkahan.
Mbah Maimun sejatinya bukan hanya membekas di hati para santri dan kalangan pesantren belaka. Para penganut lintas agama tak sedikit yang menyanjungnya dan merasa akrab dengan beliau. Terkadang ada tamu nonmuslim yang datang, sekadar meminta petuah, beliau tetap berkenan menerima dan memberikan wejangan yang dibutuhkan.
Saya pernah suatu ketika melihat ada seorang keturunan tionghoa bertamu kepada Mbah Mun. Sepertinya kalau tidak salah tamu tersebut nonmuslim. Tamu tersebut adalah seorang perempuan dengan pakaian yang mungkin bisa dianggap tidak syar’i. Tapi setelah selesai bertamu, tampak raut wajahnya berbinar seakan mendapatkan sesuatu yang mencerahkan.
Tidak ada yang meragukan kealiman Mbah Mun. Sanad keilmuan beliau bersambung pada guru-guru mulia yang bertalian langsung sampai kepada Kanjeng Nabi. Banyak bukti yang telah tercatat atau terekam dalam berbagai media.
Mbah Mun banyak menulis buku-buku keislaman yang sangat mengagumkan. Di dalamnya bisa ditemui keterangan guru-gurunya. Selain itu pituturnya dalam berbagai momen terekam dalam dunia digital dan tersebar dibanyak media.
Dalam banyak keterangan yang disampaikan Mbah Mun, kekayaan khazanah Islam begitu luas dan menjangkau banyak hal. Tentang sosial, ekonomi, budaya sampai tentang nosianalisme. Maka, tak jarang seringkali di sela-sela pengajiannya beliau mengaitkan keterangan-keterangan yang disampaikan tentang Islam yang selalu selaras dengan mencintai tanah air. Jiwa nasionalisme tampak begitu nyata dalam kata-kata dan tindak tanduknya.
Mungkin Mbah Mun tak pernah mengenyam pendidikan formal sedikitpun, tapi tak ada yang meragukan keluasan pandangannya tentang nasionalisme. Dalam banyak kesempatan, beliau menyinggung hari lahirnya yang bertepatan dengan deklarasi sumpah pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928.
Beliau menegaskan kecintaannya pada tanah air. Baginya Indonesia adalah anugerah yang patut disyukuri dan dijaga bersama. Tak jarang beliau melantangkan sumpah pemuda. Satu tanah air, satu bangsa dan satu bahasa yang terbingkai dalam Indonesia. Beliau tak segan menyanyikan lagu nasional; satu nusa, satu bangsa, satu bahasa kita, Indonesia pasti jaya untuk selama-lamanya.
Bahkan demi menyanyikan Indonesia Raya dalam suatu acara penting, beliau tegar berdiri meski seharusnya tetap duduk di kursi roda. Tak terasa saya merasa haru dan terpompa untuk terus mencintai Indonesia.
Banyak kenangan tentang Mbah Mun yang sudah ditulis oleh para santri dan orang-orang yang mencintainya. Tersebar di berbagai media. Sejak kabar wafatnya Mbah Mun tersebar, banyak tulisan yang menceritakan hal-hal berkesan dan membekas. Baik pengalaman pribadi maupun catatan-catatan nasihat yang sempat disampaikan Mbah Mun.
Salah satu yang sangat mengesankan adalah tentang anjuran agar tidak mudah menuduh orang lain kafir dan anjuran agar dalam mengajar tak perlu memaksakan diri membuat santri pintar, tapi diniatkan dengan tulus menyampaikan ilmu, sedangkan selebihnya diserahkan kepada Tuhan bagaimana nantinya santri yang diajar. Banyak pesan-pesan yang lebih mengesankan lainnya yang dengan mudah bisa dicari dalam banyak media sosial.
Saya ingin mencoba berbagi kesan dalam mengiringi berpulangnya Mbah Mun. Dalam kitab Ta’lim Muta’allim dijelaskan bahwa guru ideal itu mencakup tiga kriteria; alim, wira’i dan sepuh. Tanpa penjelasan lebih lanjut tiga kriteria tersebut bisa kita pahami sebagaimana dulu mengaji di Pesantren. Mbah Mun mencakup ketiga kriteria tersebut tanpa sedikitpun keraguan. Saya yakin semua orang akan bersepakat, baik orang yang mengenal beliau secara langsung maupun tidak.
Sempat mencecap ilmu beliau dua tahun lalu (2017), saat ngaji posoan adalah momen yang sangat mengesankan. Saat itu kitab yang dikaji Mbah Mun adalah Ithafu Ahlil Islam bi Khususiyatis Siyam libni Hajar Al-Haitamy. Kitab ini dikaji ba’da Subuh dan ba’da Isya’.
Ba’da Subuh kira-kira dimulai jam setengah tujuh sampai menjelang dzuhur jam sebelas atau sekitar jam setengah duabelas siang. Sedangkan ba’da Isya’ dimulai usai merampungkan shalat terawih kira-kira jam delapan sampai menjelang larut malam sekitar jam setengah duabelas malam.
Mungkin waktu yang begitu lama, duduk 4-5 jam tanpa istirahat, bagi beliau adalah hal biasa, tapi bagi santri amatir seperti saya duduk sambil konsentrasi menyimak dan mencatat hal-hal penting dalam kitab yang dibaca adalah hal yang sangat melelahkan dan terkadang tak sadarkan diri tertidur pulas alias ndlosor, sampai tiba-tiba pengajian usai.
Penjelasan-penjelasan yang disampaikan begitu gamblang dan sangat mencerahkan. Usia yang sudah cukup uzur itu tak berpengaruh pada suaranya yang masih sangat jelas. Saya tak bisa membayangkan bagaimana proses belajar beliau semasa muda, sementara di masa senjanya saja masih begitu kuat berjam-jam menelaah kitab dengan sangat teliti dan cermat. Ingatan dan pandangan beliau yang begitu kuat dan berkarakter khas nasionalis seringkali memukau.
Bak lautan tak bertepi, ilmu beliau sangatlah luas. Selalu ada hal yang mengagumkan dalam penyampaiannya. Kealiman beliau benar-benar tak bisa diragukan sama sekali.
Setiap kali mengaji, -meski seringkali terkapar-, selalu ada inspirasi dalam keterangan yang disampaikan. Saya meyakini masa muda beliau tak pernah disia-siakan. Sanad ilmu yang didapat dari berbagai guru adalah bukti kesungguhannya dalam menimba ilmu sejak dulu. Karena itu, tak heran jika keilmuannya menyegara atau begitu luas, seluas samudera tak bertepi. Tapi hal itu tidak bisa didapat secara instan. Mbah Mun bertahun-tahun menimba ilmu di berbagai pesantren dengan pelbagai guru yang mumpuni.
Keluasan ilmu yang sangat masyhur itu tak lantas membuat Mbah Maimoen cenderung eksklusif dalam menyikapi berbagai persoalan. Dari persoalan masyarakat secara umum sampai soal negara dan bangsa, Mbah Mun selalu menjadi rujukan.
Dalam masalah Pilpres misalnya, Mbah Mun selalu mengedepankan persatuan dan kesatuan bangsa. Siapapun yang terpilih harus bisa menjadi pengayom masyarakat. Kepedulian Mbah Mun terhadap nasib negara dan bangsa sangat besar, hingga meski di usia senjanya itu masih bersedia untuk meluangkan waktu memberikan solusi mengenai persoalan-persoalan politik yang dihadapi negara.
Beliau senantiasa mengedepankan perdamaian dan persatuan bangsa. Politik yang diajarkan bukanlah politik praktis, melainkan politik kebangsaan tingkat tinggi.
Mbah Maimoen adalah sosok ulama’ kharismatik nasionalis yang memandang siapa dan apapun dengan pandangan kasih sayang. Yandhurul ummah bi’ainir rahmah. Sehingga siapapun dan apapun yang dihadapi akan selalu merasakan kedamaian dan mendapatkan pencerahan yang sangat mengesankan. Tak ada kebencian sedikitpun yang terpancar. Hanya kasih sayang dan cinta yang tulus bagi bangsa dan negara yang selalu tampak dari sosok K.H Maimoen Zubair.
Memandang wajahnya yang teduh itu seakan persoalan-persoalan kehidupan yang membuat penat dan menggelisahkan, sirna terkena pancarannya. Cinta dan ilmunya ibarat lautan tak bertepi. Tapi kini Tuhan telah mengambilnya. Kembali ke haribaan-Nya.
Saya yakin beliau telah berpulang ke rahmatuLlah dengan penuh senyuman. Sebagaimana senyuman yang senantiasa terpancar saat memberikan wejangan.
Selamat jalan Kiai…
Semoga kelak panjenengan perkenankan kami sowan bersama, menghadap kanjeng Nabi. Aamiin.
Editor Al-Fikrah, Alumni Ponpes Mambaus Sholihin