Sejak membaca buku Tuhan Tidak Perlu Dibela, saya sering merenung: jika Tuhan saja tak perlu dibela, kenapa kita mati-matian membela Ormas? Parpol? Golongan? Atribut?
Gus Dur pribadi yang amat istimewa. Dan keistimewaan itu, kau tahu, amat begitu kental terasa karena Gus Dur lahir di Indonesia. Setidaknya, bukan di Malaysia atau Brunei Darussalam ataupun Swiss.
Indonesia, seperti yang kita semua ketahui, berdiri di atas beragam perbedaan keyakinan, suku, dan adat istiadat yang jelas bakal sulit jika dihitung hanya menggunakan jari tangan.
Kehadiran Gus Dur di Indonesia serupa air mineral dingin di tengah rasa haus habis lari pagi, atau seperti pohon ketapang di tanah gersang bekas Galian C — berdampak dan benar-benar terasa.
Bagaimana dampak itu bisa terasa? Tentu karena sikap dan perspektif Gus Dur pada kemajemukan dan beragamnya perbedaan yang ada. Dan itu semua, kita tahu, ia manifestasikan pada sikap secara tampak.
Kita semua tentu masih ingat kisah legendaris tentang sebuah masjid di Papua yang nyaris dibakar massa, lalu, saat di dalamnya terdapat foto Gus Dur, massa membatalkan niat tersebut.
Fenomena itu, tentu bisa saya baca menggunakan dua alat pembacaan sekaligus. Pertama: dibaca secara Bi Barokah wal Karomah, dan yang kedua: dibaca dengan Perspektif Sosiologi.
Dalam pembacaan pertama, sebuah keniscayaan jika keberadaan Gus Dur bisa mendamaikan perselisihan. Bahkan, ketika beliau hadir bilghaib (atau tidak secara fisik) sekalipun. Karena pengaruh Gus Dur melampaui ruang dan waktu.
Kedua, dalam Perspektif Sosiologi, apa yang membuat Gus Dur mampu membatalkan niat massa membakar masjid, adalah respon atas sikap keberpihakan dan welas asih Gus Dur pada bermacam golongan, termasuk masyarakat Papua. Sehingga, sikap itu mampu meninggalkan kolektivitas rasa takzim yang begitu membahana.
Kekuatan Mengalah ala Gus Dur
Saya kembali membuka buku berjudul Tuhan Tidak Perlu Dibela — sebuah judul buku yang sering dijadikan kutipan tapi belum tentu benar-benar dibaca itu — demi kembali menemui pesan tersurat perihal tenggang rasa di dalamnya.
Dalam buku kumpulan esai tersebut, ada sejumlah nomor favorit seperti; Moralitas: Keutuhan dan Keterlibatan, Yang Membuat dan Yang Dicatat, Tiga Pendekar dari Chicago, dan Melawan dengan Lelucon. Tapi, kali ini saya sengaja tak membacanya. Saya sengaja tak membaca judul-judul itu.
Saya langsung membuka bagian lain (halaman 43), sebuah nomor favorit lain berjudul Islam Kaset dengan Kebisingannya. Bukan tanpa alasan saya mencari dan membacanya. Saya sedang ingin mencari pesan soal Tenggang Rasa.
Islam Kaset dengan Kebisingannya adalah satu judul esai dalam buku tersebut yang selalu membuat hati saya bergetar entah karena apa. Bagi saya, ini tulisan Gus Dur yang amat mistis.
Bisa jadi saya hanya mengglorifikasi perasaan saja. Tapi, tak ada salahnya jika kita semua, sekali lagi, membacanya. Demi agar mampu meletakkan sikap Tenggang Rasa dan mengalah pada ego diri sendiri.
Dalam esai berjudul Islam Kaset dengan Kebisingannya, begitu tampak betapa Gus Dur adalah sosok yang pandai “mengalah” dan amat lihai mencari alasan untuk “mengalah”. Ini yang membuat saya terharu: keberanian untuk mengalah dan bijaksana.
Di saat “membangunkan tidur orang untuk beribadah” adalah langkah heroik nan berpahala, dengan sikap rendah hati, Gus Dur mampu mencari alasan bahwa “tidak membangunkan tidur orang untuk beribadah” pun, menjadi sesuatu yang amat heroik.
Lihatlah, dalam esai itu, betapa Gus Dur mampu mendekonstruksi kebenaran dengan cara yang amat memukau. Tak hanya mendekonstruksi makna kebenaran, tapi beliau juga mampu merekonstruksi arti “mengalah” secara lebih elegan.
Manifesto Tenggang Rasa
Mengagumi Gus Dur tentu mengagumi sikap dan lelaku Gus Dur dalam hidup bermasyarakat. Dan salah satu sikap yang paling mudah dirasakan adalah kemampuan Gus Dur dalam hal menebar sikap tenggang rasa.
Sikap tenggang rasa kita pada perbedaan besar memang cukup membaik. Tapi, sialnya, sikap tenggang rasa kita pada perbedaan kecil justru mengalami penurunan. Semoga itu hanya perasaan saya saja
Tapi, belajar dari buku Tuhan Tak Perlu Dibela, tenggang rasa tak hanya diberlakukan pada perbedaan besar belaka. Tapi bahkan pada perbedaan-perbedaan kecil. Semisal: beda pilihan lurah atau beda tempat ngopi.
Sejak membaca buku Tuhan Tak Perlu Dibela, saya sering merenung: jika Tuhan saja tak perlu dibela, kenapa kita mati-matian membela Ormas? Parpol? Golongan? Atribut?
Pertanyaan itu, mungkin bisa kita jawab dengan jawaban cerdas seperti ini: Tuhan kan maha segalanya, sehingga tidak perlu dibela. Tapi ormas, parpol, golongan, atribut itu maha meminta, jadi harus dibela ~
Tapi, saya yakin, tak banyak yang berani menjawab pertanyaan itu dengan jawaban secerdas tadi. Wqwqwq ~
Konsep Pembelaan, seperti yang saya baca dari buku Tuhan Tak Perlu Dibela, memang tak bisa dihilangkan. Bahkan justru harus dilakukan. Tapi harus jelas bagaimana proses “membela” itu dilakukan. Sebab disadari atau tidak, kita kerap kali terjebak pada jebakan klise fanatisme atribut.
Jebakan Klise Fanatisme Atribut
Kekaguman pada tokoh atau keyakinan tertentu, selalu mengantar pelakunya pada jebakan klise berupa fanatisme buta. Meski sesungguhnya, kekaguman itu berawal dari konsep anti fanatik.
Sialnya, fanatisme selalu dekat dengan sikap fasis. Hitler bisa menjadi sosok fasis hanya karena ia fanatik terhadap Ras Arya. Fir’aun bisa menjadi sosok fasis hanya karena ia terlalu fanatik pada kebesaran dirinya sendiri.
Dan kau tahu, kita semua berpotensi menjadi amat fasis hanya karena terlalu fanatik terhadap atribut yang kita kenakan. Atribut yang kita banggakan. Atribut yang kita yakini kebaikannya.
Tapi percayalah, jika kita mengagumi dan (setidaknya) pernah membaca buku-buku Gus Dur, saya yakin kita tak akan terjebak pada jebakan klise fanatisme atribut. Sebab, Gus Dur tak pernah mengajarkannya.
Pembelaan Gus Dur Berorientasi Sikap Tenggang Rasa
Untuk mengetahui bagaimana cara Gus Dur melakukan pembelaan secara elegan, tanpa menaruh unsur fanatisme, kita bisa membaca sejumlah sampel judul berikut:
Dalam Sekali Lagi Ahmad Wahib (hal: 31), misalnya, kita bisa melihat betapa Gus Dur mampu membela Ahmad Wahib di tengah banyak orang yang mengecam pemikiran-pemikiran Ahmad Wahib, dengan cara yang ultra elegan.
Atau dalam Islam Kaset dengan Kebisingannya (hal:43), kita bisa melihat bagaimana Gus Dur, dengan sangat elegan dan rendah hati, mampu membela orang-orang yang tak perlu diganggu tidurnya, hanya untuk melakukan proses peribadatan.
Sedangkan dalam Qashidah (hal: 35), kita bisa melihat betapa Gus Dur mampu membela mereka yang mempertanyakan perbandingan substansi antara musik islami dan musik universal dalam perihal proses mengingat Tuhan.
Selanjutnya, dalam Sebuah Perspektif Nasi Tumpeng (hal:169), Gus Dur mampu membela mereka yang masih membutuhkan kehadiran nasi tumpeng sebagai simbol kebudayaan, dari wajah bengis islamisasi total yang mengancam eksistensi mereka.
Dari beberapa macam sampel judul esai tersebut, Gus Dur tetap berpihak. Gus Dur tetap membela. Kalaupun tak membela, tak membelanya Gus Dur adalah proses pembelaan itu sendiri.
Hanya, untuk diketahui, pembelaan yang dilakukan Gus Dur selalu berorientasi pada sikap Tenggang Rasa dan tak sedikitpun menaruh unsur fanatisme buta. (*)