Saya harus meminta maaf pada semuanya. Saat lebaran tiba saya tak bisa menerapkan apa yang dihimbaukan. Seperti jangan berjabat tangan, jaga jarak dan dirumah aja. Itu tak bisa saya lakukan hari ini. Dihari yang fitri.
Maklum saya orang desa. Sangat kental dengan silaturahmi saling kunjung dan berjabat tangan.
Seperti hari ini, saya harus keluar rumah. Meski awalnya tak banyak anak muda di desa yang keluar rumah. Eh, malah orang yang sepuh, berusia lebih tua. Berkeliling bersilaturahmi ditetangga. Termasuk rumahku.
Etika di desa orang yang lebih mudalah seharusnya mengunjungi yang tua. Jadi melihat orang tua berkeliling. Saya sebagai orang lebih muda. Otomatis harus keluar rumah. Bersilaturahmi.
Tak semua saya kunjungi hari ini. Hanya tetangga kanan kiri rumah dan keluarga dekat.
Bukan hanya saya, yang lain juga begitu. Maka tak heran di desa hari raya ini lebih sepi. Bukan di desaku saja. desa lain pun begitu.
Meski seolah tak menghiraukan himbauan itu. Bukan berarti kami melanggar. Atau tak takut pandemi ini. Ini adalah naluri yang tak bisa kami buang.
Terpenting kami tetap menjaga. Kesehatan kami dan komunikasi baik dengan keluarga dan tetangga kanan kiri. Sampai rumah juga kami langsung cuci tangan pakai sabun. Biar bersih.
Kalau toh ada tetangga atau keluarga tak membuka pintu rumah pun kami tak apa. Sudah saling faham. Dan maklum. Kami sudah saling memaafkan.
Untuk teman yang jauh. Ini memang sudah tak mungkin bersua untuk saat ini. Kami memutuskan maafan secara virtual.
Aneh memang jika dirasa moment hari raya tahun ini. Hanya itu tak masalah. Kami sudah mafhum.
Selamat lebaran semua. Mohon maaf lahir batin.
Alumni Pesantren Sunan Drajat Lamongan. Kini menekuni dunia menulis dan peliputan berita.