Momen idul fitri selalu ditunggu-tunggu oleh banyak khalayak, baik mereka yang berpuasa maupun tidak. Ibarat sebuah hal yang sudah mendarah daging, idul fitri telah menjadi bagian dari budaya yang tak bisa dilepaskan begitu saja. Karena di momen inilah setiap orang akan berkumpul dengan sanak keluarga, membagi kisah selama diperantauan atau paling tidak bagian dari memperat tali silaturahim.
Namun, disisi lain idul fitri merupakan situasi yang erat kaitannya dengan konsumsi. Betapa tidak, budaya yang lekat denganmomensakral idul fitri ialah segala sesuatu yang baru. Seperti baju baru, mobil baru, status baru dan apapun yang baru. Selain itu, ketika hari raya idul fitri juga kita akan dimanjakan dengan makanan ringan beraneka ragam, makanan berat dengan segala jenis lauk-paukyang mewahdan jugauang angpao untuk sanak saudara.
Jika kita memikirkan tentang yang baru-baru tersebut, semua itu didapatkan dengan aktivitas jual beli. Artinya kita membeli segala sesuatu yang baru untuk memeriahkan idul fitri, sebagaimana budaya yang lazim dijumpai. Budaya tersebut entah dimulai sejak kapan, dan diamini oleh siapa, pastinya sudah menjadi bagian dari keumuman yang tak boleh dilewatkan. Sekali tidak mengikuti budaya tersebut, maka ‘gunjingan’ tetangga akan memerahkan telinga kita.
Konsumsi dan Idul Fitri
Mengacu pada sebuah prediksi yang meliputi sektor bahan bakar minyak, gas rumah tangga dan ritel,pada masing-masing sektor telah memprediksi peningkatan konsumsi di hari idul fitritahun 2019 ini. Seperti di sektor bahan bakar minyak, pertamina memprediksi akan ada peningkatan sekitar 15, 78 persen, dibandingkan harian normal.
Di sektor gas rumah tanggajuga diprediksi jumlah konsumsi akan meningkat tajam. Pada tahun 2019 ini misalnya,PGN menyampaikankonsumsi gas berada dikisaran angka 22.000 meter kubikper bulan,dan akan meningkat selama idul fitri dikisaran angka 28.000 meter kubik. Sementara itu di sektor ritel, Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) memprediksi akan ada kenaikan konsumsi masyarakat selama idul fitri di rentangangka 30-40 persen.
Memang ramadandan idul fitri tidak bisa dilepaskan dari peningkatan daya konsumsi,dengan perubahanpola beli dari hari normal. Jika di hari normal konsumsi cenderung stabil dengan mengutamakan kebutuhan sehari-hari, maka selama bulan ramadan dan menjelang idul fitriterjadi lonjakan kebutuhan dari hari normal.
Hal tersebut ditengarai akibat dari budaya yang sudah terkonstruksi sejak lama, yakni idul fitri sebagai sesuatu yang baru. Sebagai wujud dari perubahan nilai, dari awalnya nilai gunamenjadinilai simbolik yang nantinya untuk dikonversi menjadi nilai tukar.
Menurut Baudrillard dalam consumer society (1970), konsumsi telah menjadi hal yang mendasar, tercipta oleh suatu kondisi sosial. Berkaitan denganpandangan Baudrillard,konsumsi sesungguhnya berawal dari konstruksi suatu nilai. Perubahan bentuk nilai dari sebuah kegunaan, menjadi sebuah simbol kelas yang fungsinya menjadi nilai tukar. Sebuah tujuan untuk mencapai sebuahpeningkatan kelas sosial, yang nantinya memperteguh prestis agar diidentifikasikan sebagai kelas sosial tertentu.
Selain karena konstruksi budaya yang melazimkan peningkatan konsumsi, peningkatan tersebut juga didasari oleh persoalan prestis yang berkaitan dengan hasrat manusia, atau dalam hal lain ada keterkaitan dengan perkara eksistensi.
Refleksi atas Perilaku Konsumtif
Sebenarnya jikakita benar-benar mampu memaknai ibadah puasa ramadan, maka perilaku konsumsi berlebih-lebihan tersebut tidak akan terjadi. Karena sejatinya puasa itu mengajarkan untuk menahan diri, memperbaiki diri dan mengimplementasikannya dalam praktik kehidupan sehari-hari. Jikalau masih dalam pola lama, seperti konsumtif dan mengutamakan yang bukan kebutuhan. Maka bisa dikatakan proses dalam menahan diri masih sebatas normatif,seperti makan dan minum, belum sampai pada tahap menahan hawa nafsu.
Kembali lagi,pada persoalan menahan hawa nafsu, apakah puasa mengajarkan kita untuk berboros-borosan?Tentu sama sekali tidak.Mengenaifenomena berlebih-lebihan ataudalam istilah lain dikatakan sebagai perilakughuluw(melampaui batas)seperti boros,membeli sesuatu yang tidak ada kaitannya dengan kebutuhan,niatannya hanya untuk eksis atau menaikan status sosial, memang menjadi salah satu sifat buruk yang harus diperbaiki.
Boros atau dalam konteks ini berlebihan dalam konsumsi, sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Sebagaimana dalam surat Al-Furqon ayat 67, bahwasanya Allah menganjurkan manusia agar hidup dengan sederhana tidak melampaui batas. Dalam konteks surat tersebut dapat ditafsirkan, jika manusiaitu harus bijak dalam segala hal termasukberkaitan dengan hal konsumsi.
Tidak hanya itu saja, dalam surat Al-a’raf ayat 31, Allah juga melarang untuk berlebihan dalam segala hal, seperti dalam makan, berpakaian atau hal apapun. Hal ini menunjukan jika Islam sesungguhnya mengajarkan manusia agar senantiasa berlaku adil, tidak melakukan hal yang merugikan diri sendiri ataupun orang lain. Senantiasa berlaku sesuai dengan kebutuhan, dalam hal ini erat kaitannya dengan konteks nilai guna.
Jadi, jika melihat perilaku konsumtif selama idul fitri, sesungguhnya sangat jauh dari esensi puasa dan ajaran islam itu sendiri. Karena idul fitri sejatinya tidak ada kaitannya dengan baju baru, makanan mewah atau hal-hal yang berkaitan dengan eksistensi diri. Tetapi lebih kepada perubahan perilaku kita dariyang buruk menjadi lebih baik, sebagaimana esensi ibadah puasa itu sendiri.
Warga Nahdlatul Ulama, pekerja sosial