Seorang anak dusun dari Tuban, memberanikan diri keluar dari kampungnya menuju Kota Surabaya, sebut saja namanya Bejo. Ia berangkat ke Surabaya selepas lulus Madrasah Aliyah untuk kuliah di salah satu perguruan tinggi di sana.
Awalnya ia belum ingin kuliah, karena ingin ngaji yang serius di pesantren, rencananya sekitar dua atau tiga tahun, baru kemudian melanjutkan kuliah. Tetapi, apa boleh dikata, bapaknya tidak mengizinkan.
Menurut Bapaknya, lulusan pondok banyak yang tidak bisa bekerja, jadi tidak perlu mondok, langsung kuliah saja”. Hati bagai tersayat pisau yang penuh karat, semangat ngaji yang sudah tidak terbendung harus bertabrakan dengan kehendak orang tua yang mau tidak mau harus dituruti.
Dengan berat hati, Bejo mengikuti saran Bapaknya, cuman dia mengajukan sebuah syarat. Dia ingin kuliah sambil tinggal di asrama pesantren, di sana ia dapat sambil belajar mendalami ilmu agama. Setelah melalui perdebatan, akhirnya Bapaknya mengizinkan, walau sebetulnya Bejo disarankan untuk ngekos saja, agar bisa fokus kuliah.
Pesantren Al-Jihad
Langkah Kaki Bejo terhenti pada sebuah pesantren di tengah padatnya rumah penduduk Kelurahan Jemursari Wonocolo Surabaya. Bersama seorang temannya, ia menuju kantor pondok untuk bertanya seluk beluk kehidupan di pesantren ini, bagaimana pendaftarannya, apa saja kegiatannya dan sebagainya.
Pesantren Al-Jihad namanya, akhirnya Kang Bejo mantap mendaftar di pesantren ini setelah ia diterima kuliah di salah satu kampus di Surabaya yang letaknya juga di Wonocolo.
Bejo ngaji di bawah asuhan Drs. KH. M. Imam Chambali, seorang kyai yang terkenal kocak dengan bahasa khas Soroboyoan setiap kali berceramah. Di sana ia berkenalan dengan banyak teman baru dari pelosok Jawa Timur dan banyak juga dari luar Jawa.
Kang Bejo menjadi santri baru tahun 2007, ia mendapat kamar asrama lantai tiga yang cukup panas karena sengatan matahari tiap siang dan sore, tepatnya di kamar Sunan Ampel, sebelum pindah ke kamar Utsman di lantai dua yang lebih adem.
Ia menjadi mahasiwa sekaligus santri, yang artinya harus membagi waktunya dengan ketat agar dapat mengikuti semua kegiatan dengan tuntas, belum lagi jika ada kegiatan organisasi yang harus dia ikuti. Ia pun harus menghemat uangnya, agar cukup untuk biaya hidupnya tiap bulan. Praktis tubuhnya pun kurus kering ketika itu, karena harus ngempet jajan dan makan enak, apalagi jika harus membeli buku-buku kuliah.
Pondok Al-Jihad sangat mementingkan rutinitas ubudiyah secara berjamaah. Seperti shalat maktubah, amalan tahajud-hajat-taubat pada dini hari, yasinan jam 22.00 malam, shalawat burdah, muhadharah bada maghrib, pelajaran intensif al-Quran, bahasa Arab dan Inggris bada isya serta pengajian kitab kuning bada shubuh.
Beberapa kitab yang dikaji kala itu adalah kitab Minhajul Abidin diampu oleh KH. Syaiful Djazil, M.Ag., kitab Nasoikhul Ibad yang diajar oleh KH. Syukron Djazilan Badri, M.Ag., sebuah kitab tentang pernikahan dan rumah tangga yang diampu KH. Ilhamullah Sumarkhan, M.HI.
Saat ini, ketiga asatid tersebut telah berhasil meraih gelar doktor, Alhamdulillah wa Syukru Lillah. Pengajian ketiga adalah kitab Tafsir Al-Ibriz yang secara langsung diampu oleh Abah Imam Chambali pada hari sabtu pagi. Pada hari ini masjid Al-Jihad penuh sesak, karena banyak masyarakat umum yang ikut mengaji.
Setelah pengajian tafsir tersebut, dilanjutkan dengan pengabsenan semua santri putra dan putri. Jadi, pada hari sabtu itu santri yang biasa tidur selepas shubuh terpaksa bangun dan berkumpul di masjid, karena tidak ingin kena alpha dan mendapat sanksi.
Rutinitas yang padat semacam ini harus dilakukan, meski dengan berat hati, apalagi jika tugas kuliah sudah mulai menumpuk. Tapi di sisi lain, dengan tinggal di pesantren, tugas-tugas kuliah Bejo juga menjadi ringan, karena banyak teman yang bisa diajak sharing dan membantu tugas perkuliahan.
Kiai Imam Chambali
Abah Imam adalah sapaan akrab pengasuh Pesantren Al-Jihad, tempat Bejo menimba ilmu. Beliau adalah laki-laki asal Desa Sumbermulyo, Kec. Belitang, Kab. Oku Timur Sumatera Selatan, sosok yang sederhana dalam berpikir, namun sangat komitmen dalam bertindak.
Semasa remaja beliau pernah menimba ilmu di Pesantren Darul Ulum Rejoso Peterongan Jombang, dan beberapa pondok lainnya di Jawa. Kemudian merantau ke Surabaya sembari berkuliah di IAIN Sunan Ampel Surabaya di Fakultas Syariah.
Berawal dari sebuah TPQ (Taman Pendidikan Al-Quran) Al Jihad, kemudian berkembang sedemikian rupa menjadi Yayasan Al-Jihad yang di dalamnya memiliki banyak unit kegiatan. Antara lain; pesantren mahasiswa putra-putri, panti asuhan yatim piatu, majlis talim Rahmatan Lil Alamin, dan kelompok bimbingan ibadah haji Bryan Makkah.
Menurut informasi terbaru, pondok AL-Jihad memiliki beberapa pondok cabang di Pacet Mojokerto, Ngawi dan satu lagi tempat kelahiran Abah Imam di Kab. Oku Timur Sumatera Selatan. Saat ini di Pondok Al-Jihad Surabaya sendiri juga telah dilakukan perluasan asrama santri, asrama yatim dan adanya asrama khusus untuk santri mahasiswa program Tahfidz al-Quran, sungguh sebuah perkembangan yang luar biasa cepatnya semenjak Bejo mondok dulu.
Pesan Kiai Imam
Masih terngiang di telinga Bejo dan pasti juga para alumni Al-Jihad akan pesan Abah Imam yang selalu disampaikan, Sabar itu Indah, Ikhlas itu Ibadah dan Istiqamah itu Karomah. Dalam mencapai cita-cita, setiap manusia pasti pernah dan akan mengalami cobaan dan kesulitan.
Bisa jadi rencana yang telah dibuat sedemikian rupa, dilaksanakan dengan sebaik mungkin, hasilnya belum bisa sesuai dengan yang diharapkan. Sebagai manusia, kita hanya bisa mengembalikannya kepada Allah Swt. dengan hati yang sabar, karena sabar itu indah. Buah dari kesabaran adalah kebaikan dan kemanfaatan.
Abah Imam juga menekankan pada santrinya untuk ikhlas. Dalam segala perbuatan yang kita lakukan, baik perkataan maupun tingkah laku, harus kita niatkan lillahi taala, semua tiada lain hanyalah untuk mencari keridhaan Allah Swt. Jangan sampai kita hanya meniatkan pada tujuan yang sesaat saja, seperti pangkat, harta, sanjungan manusia dan sebagainya.
Karena jika demikian, kita tidak akan dapat meraih fadhilah dari amal-amal tersebut dsampai di akhirat, hanya cukup di dunia saja. Karena ikhlas itu ibadah.
Saat-saat melakukan rutinitas ubudiyah harian di masjid Al-Jihad, berulang kali Abah Imam menekankan para santri untuk selalu istiqmah. Walau dalam melakukan ibadah sekecil apapun, harus dilakukan dengan istiqamah, karena istiqamah itu lebih utama dari pada seribu karamah. Pesantren Al-Jihad terkenal dengan rutinitas ubudiyah yang lebih padat dari pada pesantren yang lain di sekitaran kampus IAIN.
Berada di Pondok Pesantren Al-Jihad sembari kuliah di kampus seakan menjadi obat bagi Kang Bejo yang gagal mondok di tempat yang ia dambakan. Aktifitas di pesantren Al Jihad bersama Abah Imam dan teman-teman santri yang lain selalu menjadi kenangan yang amat dirindukan. Semoga Pesantren Al-Jihad semakin besar dan jaya. Amin..
Wallahu Alam..

Dosen, Peneliti, ISNU