Mak, di depan hape tadi aku tak bisa berkata banyak. Aku hanya sesenggukan melihat Emak dan adik-adik di rumah. Eluhku netes ndak karuan Mak. Aku memang bukan anak yang baik. Belum banyak aku lakukan pada Emak. Tapi, doa-doa Emak selalu saja mengalir hingga aku sebejo ini.
Mak, riyaya tahun ini memang tak seperti tahun-tahun sebelumnya. Aku tak bisa sungkem langsung. Juga tak bisa nyucup tangan dan ndlosor di hadapan Emak. Hanya di hadapan Hape tadi pagi Aku berhadapan dengan Emak. Itupun Aku tak kuat lama. Sebab, kangenku pada keluarga membuat dada ini mbesesek.
Mak, pasti sudah mendengar Corona. Adik-adik di rumah pasti telah banyak cerita. Mak pasti tenang. Sebab, Mak jarang sekali nonton tivi. Corona telah merubah budaya lebaran kita Mak. Mudik dicegah. Salat Ied disarankan di rumah. Salaman pun dianggap salah.
Mak, jika ini terjadi lima tahun saja. Satu generasi bisa menganggap lebaran tanpa silaturahim adalah kewajaran. Tidak bersalaman menjadi kebiasaan. Seolah kita sedang dijauhkan dari rasa kemanusiaan.
Corona telah merubah banyak hal Mak. Bukan hanya lebaran saja. Tapi kebiasaan kita lainnya. Ndekem di rumah yang dulu sering dianggap menyusahkan orang rumah. Sekarang justru jadi solusi untuk menyelamatkan orang lain dari Corona.
Pendapatan teman-temannku nyungsep. Tapi, mereka yang menjual barang-barang untuk kebutuhan peningkatan imun dan alat pelindung diri sugih ndadak. Memang rejeki pun wonten sing ngatur nggeh Mak.
Mak, banyak orang menafikkan Corona. Ada yang bilang ini semacam konspirasi (istilah ini nanti minta penjelasan adik saja). Selain itu ada yang ketakutannya berlebihan. Dua pendapat ini terus saja menggelinding Mak. Aku tak memperdulikan itu semua Mak. Yang jelas aku berharap Corona segera pergi.
Oiya Mak. Jangan terlalu banyak lihat pejabat sambutan kalau pas menonton tivi. Apalagi yang sering mengumunkan corana. Lebih baik lihat iklan saja. Ketimbang melihat orang yang berbicara isuk tempe sore dele. Nanti Mak malah serba repot.
Kata Pakde, saat aku telepon kemarin ada kemungkinan kondisi seperti ini bisa sampai dua tahun. Katanya, belum ada vaksin. Selain itu, tidak ada strategi penyelesaian yang jitu. Semua seolah dibiarkan. Lagi-lagi, masyarakat yang dituding bersalah karena tidak paham dan tidak mengindahkan himbaunnya.
Ya sudahlah Mak. Malah sumpek hati ini. Semoga tulung tinulung masih terus saja ada di desa kita. Seperti biasa. Ater-ater sayur ke tetangga sudah menjadi kebiasaan. Ini sekarang menular di perkotaan. Mereka seperti heboh sendiri saat berhasil menolong. Lha bagi masyarakat desa menolong kan sudah jadi laku hidup.
Pun nggeh Mak.
O enggeh Mak. Masak nopo pagi ini. Pasti ulas-ulas Iwak Pe telah cemepak di meja. Aku kangen dengan sayur andalan keluarga kita itu. Tapi, tidak apa. Aku yakin kelak ulas-ulas iwak pe akan datang di waktu yang tepat. (*)
Redaktur suluk.id