RIUH soal beda pilihan dan sikap politik pada pemilihan kepala daerah (pilkada) Tuban mulai tersa pasca pendaftaran pasangan calon (paslon) ke Komisi Pemilihan Umum Kabupaten (KPUK) Tuban. Beda pendapat pun mulai muncul dan menghiasi laman-laman media sosial hingga warung kopi. Saling intrik dan adu argumen soal visi-misi paslon hingga klaim pilihan yang terbaik mulai memberikan skat pertemanan—sementara physical distancing.
Dan, persoalan yang sama kembali terulang. Nahdlatul Ulama (NU) hendak kembali diseret ke dalam pusaran pilihan politik praktis. NU seperti gadis muda, cantik, nan sholehah yang menjadi perebutan banyak mertua. Masing-masing paslon mulai saling mengklaim mengantongi suara Nahdliyin. Bahkan sebaliknya, tidak hanya diklaim, tetapi malah mengklaimkan diri. Ini yang sangat disayangkan dan disesalkan.
Angel……. angel…. wes angel tenan tuturane…… Lagi-lagi orang NU minta diingatkan soal etika politik NU. Padahal, dalam alam bawah sadar mereka sudah tahu bagaimana pilihan politik NU—politik kebangsaan. Namun, ya itulah sifat manusia awam seperti kita. Bersikap idelais saat tidak ada kepentingkan, tapi tiba-tiba pragmatis saat ingin memenangkan paslon dalam pilkada. Tidak peduli meski harus mengklaim bendera NU.
Bukannya orang NU boleh berpolitik? Sejak dulu juga boleh. Bukan orangnya yang dilarang masuk dalam politik praktis, tetapi identitas NU, serta klaim terhadap organisasi dan kiai. Ini yang harus dihindari demi menjaga marwah NU. Sebagaimana dawuh Kiai Sahal Mahfudh (Rais ‘Aam PBNU 1999-2014): politik kekuasaan atau politik praktis ini lazim disebut politik tingkat rendah (siyasah safilah) yang menjadi porsi partai politik dan bagi warga negara, termasuk warga NU secara perseorangan.
Sedangkan NU sebagai lembaga atau organisasi, harus steril dari politik semacam itu. Ditegaskan Kiai Sahal Mahfudh, kepedulian NU terhadap politik diwujudkan dalam peran politik tingkat tinggi (siyasah ‘aliyah), yakni politik kebangsaan, politik kerakyatan, dan etika berpolitik. Bukan soal urusan perebutan kekuasaan.
Harusnya, wacana ini sudah tuntas di kalangan warga NU. Khususnya yang berkhidmat menjadi pengurus, mulai dari Pengurus Besar (PB) hingga ranting yang ada di desa-desa. Tidak lantas selalu minta diingatkan setiap momen pilkada.
Dan, seakan sudah memiliki firasat–angele tuturane pengurus NU untuk bersikap dewasa dalam menghadapi pilkada, Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jatim kembali mengingatkan melalui Surat Intruksi Nomor 752/PW/A-II/L/IX/2020. Intruksinya, meminta kepada seluruh pengurus NU disemua tingkatan untuk tidak menjadi juru kampanye dan menghadiri kampanye, serta dilarang menggunakan atribut dan fasilitas kantor NU untuk kepentingan politik praktis.
Semoga dengan adanya surat ini kita semua kembali sadar untuk bersama-sama menjaga marwah organisasi dan Khittah NU 1926 yang telah menjadi kesepakatan bersama dalam Munas NU 1983 di Situbondo, Jawa Timur—bahwa politik NU adalah politik tingkat tinggi, yakni politik yang dijalankan para ulama dan kiai—politik (memperkuat) kebangsaan dan kerakyatan. Politik yang penuh dengan kebaikan dan kemaslahatan bersama. Bukan hanya wrga NU, tetapi untuk semua. (*)
Pengurus Aswaja Center NU Tuban