Di antara ritual haji terpenting adalah wukuf di Arafât. Wukuf tidak lain dari pengerahan semangat dalam sebuah ketundukan hati yang penuh dengan rasa takut berbaur takzim; tangan-tangan yang menengadah penuh harap, lidah-lidah yang tiada henti memanjatkan doa, dan permintaan-permintaan tulus akan kasih sayang Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Perjalanan meninggalkan Ka’bah menuju ‘Arafat melambangkan awal kejadian manusia. Manusia dan ma’rifah (pengetahuan; seakar dengan kata arafat) tercipta dalam waktu bersamaan. Di sanalah mereka seharusnya menemukan ma’rifah sejati tentang dirinya dan akhir perjalanan hidupnya.
Di sana pula mereka hendaknya menyadari jejak langkahnya selama ini serta menyadari betapa agung Tuhan yang kepada-Nya seluruh makhluk bersembah. Kesadaran-kesadaran ini mengantarkan seseorang menjadi ‘ârif; orang yang sadar dan mengetahui. Begitu Quraish Shihab dalam Membumikan al-Qur`an.
Di antara tempat-tempat yang harus dikunjungi selama melakukan ibadah haji, Arafat merupakan tempat yang paling jauh dari Mekah. ‘Arafat adalah padang gersang. Ditengah-tengah padang ini terdapat bukit batu kecil bernama Jabal Rahmah.
Pada Haji Wada’, di atas Jabal Rahmah, Nabi Saw. menyampaikan khutbah yang isinya antara lain wasiat kepada setiap suami untuk berlaku baik terhadap istrinya. Wasiat itu berbunyi sebagai berikut:
“Ingatlah, aku wasiatkan kalian untuk memperlakukan para isteri dengan baik. Sebab sesungguhnya mereka adalah para penolong kalian. Kalian tidak memiliki sesuatu dari mereka selain itu, kecuali mereka melakukan kekejian yang nyata.
Jika mereka melakukannya maka pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka dengan pukulan yang tidak melukai. Jika mereka menaati kalian maka janganlah kalian mencari-cari jalan (untuk menyakiti) mereka.
Ingatlah bahwa sesungguhnya kalian memiliki hak atas isteri-isteri kalian dan isteri-isteri kalian memiliki hak atas kalian. Hak kalian atas isteri-isteri kalian adalah mereka tidak memberikan tempat tidur kalian kepada orang yang kalian tidak sukai dan tidak mengizinkan orang yang tidak kalian sukai masuk ke rumah kalian.
Sedangkan hak mereka atas kalian adalah kalian berbuat baik kepada mereka dalam hal sandang dan pangan mereka.”
Wukuf di ‘Arafat dimulai di siang hari ketika matahari sedang terik-teriknya. Hal ini mengandung titah bahwa mereka yang sedang wukuf di ‘Arafat harus memperoleh kesadaran, wawasan, kemerdekaan, dan pengetahuan.
Selanjutnya kita biarkan Ali Shariati mengakhiri pembicaraan tentang wukuf di ‘Arafat ini. Shariati menulis:
“Jangan hindari terik matahari, cahaya, kemerdekaan, dan orang banyak. Hendaklah engkau senantiasa berada di tengah-tengah orang banyak.
Di waktu-waktu sebelumnya hidupmu tertindas dan engkau berada di dalam kebodohan seperti lumut di dalam air yang tergenang. Wahai manusia! Sekarang keluarlah engkau dari kemahmu, menceburlah ke dalam lautan manusia ini, biarkan egomu hangus terbakar oleh matahari ‘Arafat yang terik.
Wahai manusia! Pada hari ini hendaklah engkau menjadi sebuah pelita yang terbakar sendiri karena menerangi hati umat manusia! Janganlah engkau menjadi lunak dan lumer di tangan para penindas! Jangalah engkau mau menjadi boneka!”

Terlahir sebagai orang “Perancis (Peranakan Ciamis),” Menamatkan SD, MTs dan MAN di Ciamis. Pernah mengajar di Pesantren Darussalam, Ciamis (1997-1998), menjadi penerjemah lepas naskah-naskah berbahasa Arab