Suluk.id – Abad modern saat ini banyak yang membenci islam secara terang-terangan, dengan banyak cara mereka lakukan supaya generasi muda semakin jauh dengan agama islam. Salah satu cara yang mereka lakukan adalah dengan membuat statemen bahwa tidak adanya hubungan antara ilmu sains dengan ilmu agama. Padahal semua keilmuan di dunia tidak pernah lepas hubungan dengan al-Qur’an dan Hadis, salah satu ilmu geografi dengan hadis Nabi Muhammad SAW.
Benar nyatanya jika geografi dan hadis merupakan kajian ilmu yang nampak sangat berbeda. Termasuk dalam ushul keilmuannya, yang satu mengkaji secara saintifik sedangkan satunya merupakan kajian keagamaan. Akan tetapi kita juga tidak boleh mengesampingkan hubungan geografi dengan hadis, karena keterkaitannya dapat dilihat untuk memahami sebuah hadis yang hanya dapat dipahami secara tekstual.
Secara etimologi geografi diambil dari bahasa Yunani yaitu geo= bumi, graphien = gambar/ lukisan. Geografi pada tingkatkan terminologi adalah ilmu yang mempelajari atau mengkaji segala fenomena yang ada di permukaan bumi, seperti penduduk, flora, fauna, batuan, iklim, tanah, air, dan interaksi yang terjadi antara fenomena-fenomena tersebut (Nugroho 2023). Sedangkan Hadis berasal dari bahasa Arab yang berarti baru, kabar atau berita. Dilihat dari kamus istilah yakni segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, atau sifat (Neir 2021)
Dalam memaknai hadits ada dua cara yang dapat dilakukan dengan secara tekstual dan kontekstual. Tekstual bersifat teks, jadi memahami isi hadis berdasarkan pada arti secara bahasa. Sedangkan memaknai secara kontekstual, kita dapat melakukan nya dengan cara mengetahui terlebih dahulu lokasi pertama disampaikan nya hadits oleh Nabi Muhammad SAW (Usman 2017).
Berikut contoh hadis yang harus dipahami juga dari segi geografisnya. Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim
غنْ أَبِي أَيُّوبَ الأَنْصَارِيِّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا أَتَيْتُمُ الغَائِطَ فَلاَ تَسْتَقْبِلُوا القِبْلَةَ، وَلاَ تَسْتَدْبِرُوهَا وَلَكِنْ شَرِّقُوا أَوْ غَرِّبُوا. [رواه البخاري ومسلم]
Diriwayatkan dari Abu Ayyub al-Ansari bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Apabila kalian buang hajat, janganlah menghadap atau membelakangi kiblat. Namun menghadaplah ke timur atau ke barat.” [HR. al-Bukhari dan Muslim].
Hadis diatas dapat dipahami secara tekstual, namun perlu juga memahami nya dengan konteks lokasinya. Pada kalimat “Apabila kalian buang hajat, janganlah menghadap atau membelakangi kiblat”. Tentu sudah jelas dan dapat mudah diterima Tetapi pada kalimat “Namun menghadaplah ke timur atau ke barat.” menjadikan hadis ini tidak bisa hanya diartikan secara tekstual. Jika kalimat kedua diterima begitu saja, maka penduduk Indonesia atau negara di sebelah timur atau barat Ka’bah akan tetap menghadap atau menghalangi Ka’bah.
Setelah ditelusuri asbabul wurud (peristiwa yang melatarbelakangi munculnya hadis), pada saat itu Nabi berada di Madinah yang terletak di sebelah utara ka’bah. Maka dari itu nabi memerintahkan untuk menghadap timur atau ke barat. Karena posisi tersebut tidak akan pernah menghadap atau membelakangi ka’bah. Itulah kenapa asbabul wurud yang mengkaji lebih dalam mengenai konteks penting dilihat, salah satunya yakni letak geografis.
Dengan demikian, dalam memahami hadis tidak bisa dipahami secara tekstual saja, karena dan akan berpotensi menimbulkan kesalahpahaman. Maka diharuskan untuk memahaminya pula secara kontekstual, dan salah satu metodenya dengan melihat hadis tersebut dari segi geografisnya terlebih dahulu. Wallahu A’lam.
Penulis : Wafa Satria Kamil
Editor : Muchamad Rudi C
Suluk.id merawat Islam Ramah serta mengajak beragama yang menggembirakan