Bulan Ramadlan tahun 2006 saya di Pesantren Lirboyo Kediri. Ketika pengajian sudah banyak yang khatam, saya mengikuti kursus menyetir mobil selama dua minggu. Tiap hari kecuali hari Ahad. Saya minta jadwal pukul 14.00 hingga pukul 15.00. Saya bisa minta jadwal karena sistemnya privat, satu siswa satu pelatih. Siswa bisa memilih waktu yang dikehendaki. Jika waktu yang diminta, ada pelatih yang longgar ya jalan. Tapi jika semua pelatih sedang jalan pada waktu yang dikehendaki oleh siswa, maka siswa diminta memilih waktu lain yang ada pelatihnya. Tempat kursus ini sangat banyak peminat, bahkan di kota Kediri ia punya dua cabang. Padahal ketika itu tempat kursus nyetir belum menjamur seperti sekarang.
Saya ketepatan mendapat pelatih yang “tidak enak”. Orangnya agak keras dan ia non muslim. Bahkan saya sempat curhat ke siswa lain, kalau pelatih saya cara melatihnya begini-begitu. Siswa lain itu menjawab kalau pelatihnya sangat enjoy. Saya ingin minta ganti pelatih, tapi semua sedang jalan. Tidak ada yang kosong. Lagipula sulit minta ganti kalau pelatihan sudah berjalan 2 atau 3 kali. Terkadang juga ingin pindah ke cabang lain, tapi gak enak sama pegawai bagian admin, lagipula waktunya cuma dua minggu. Akhirnya saya jalani dengan sedikit menggerutu.
Di antara yang tidak menyenangkan dari pelatih saya; ia keras, tidak ramah, dan kurang bersahabat. Padahal dalam lembaga seperti itu seharusnya ia bersikap ramah dan menyenangkan kepada konsumen. Kursus nyetir mobil jangan disamakan dengan kursus bahasa Inggris atau Mandarin. Jadi, pelatih saya itu hampir tidak pernah guyon santai. Kalau saya salah, ia sering memarahi. Pernah suatu kali saya akan nabrak toko, ia langsung marah-marah. Padahal, memang baru pegang setir mobil satu-dua kali. Kan masih sering terjadi orang nyetir nabrak rumah, pagar jembatan, atau tiang listrik. Namanya kecelakaan. Hehe. Wah, kok tulisan ini jadi kayak curhat saja. Hehe.
Sebenarnya, soal pelatih muslim atau non muslim tak masalah. Yang jadi masalah, ia kadang mengarahkan jalur latihan ke sekolahan anaknya dan ternyata ia menjemput anaknya yang pulang dari sekolah. Dan yang paling menggelikan, ia tahu kalau orang yang sedang puasa tidak diperbolehkan merokok. Ia izin mau merokok, dan saya dengan terpaksa memperbolehkan. Ia pun dengan nikmatnya merokok di sebelah saya. Otomatis asapnya sering melambai-lambai di hidung saya.
Baru Ramadlan kali itu saya berpuasa bersama orang non muslim. Entah apa pelajaran yang bisa diambil dari kisah ini. Akan tetapi terbukti saya lebih toleran daripada dia. Padahal mestinya ia yang harus menghormati saya yang sedang puasa. Kedua, saya lebih sabar menahan diri untuk tidak melaporkan kepada atasannya. Karena saya agak kasihan melihatnya, sepertinya ia orang non muslim yang kurang beruntung secara ekonomi. Pelajaran ketiga, saya yakin banyak orang berpuasa lainnya yang ujiannya lebih berat dari saya. Saya cuma diuji panasnya udara siang ketika itu, dan seorang non muslim yang tidak punya sikap toleransi beragama.
Penulis: Terompah Kiai, Pendidik dan Anggota LTN PC. NU Kab. Tuban