Jika kita hitung secara kasar, jarak waktu berdirinya Jam’iyah Nahdlatul Ulama –sejak awal mula perintisannya– hingga sekarang sudah hampir satu abad. Demikian pula jarak kehidupan para ulama dan kyai sepuh yang mendirikannya pada tempo dulu dengan kehidupan kita pada jaman sekarang. Ibarat air sungai, maka kehidupan kita pada masa kini sudah cukup jauh dari sumber mata airnya, dan hampir mendekati muara. Terlebih dengan lompatan kemajuan teknologi informasi yang spektakuler, jangankan satu abad, sebulan kemarin saja sudah dirasa sangat jadul dan ketinggalan jaman.
Pada masa sekarang, ajaran dan keteladanan yang diberikan para ulama pendahulu kita semakin kabur dari kehidupan manusia. Kita hanya terkagum-kagum mendengar kisah perjuangannya, tetapi sering lupa untuk meneladaninya. Pencemaran ideologi dan budaya membuat kita lebih sibuk mengejar kehidupan dunia, menumpuk harta, memburu kursi, memupuk gengsi, serta mencari kejayaan pribadi.
Sama seperti air sungai yang baru saja meninggalkan sumber mata airnya, tentunya air tersebut masih sangat jernih, sangat menyegarkan ketika diminum, dan menyejukkan saat dipakai mandi atau sekedar membasuh muka. Para ulama dan kyai sepuh jaman dulu pun demikian adanya, mereka semua masih ikhlas hatinya, suci pikirannya, lembut tutur katanya, anggun perilakunya, serta luas dan dalam khazanah keilmuannya.
Marilah sejenak kita mengenang Mbah KH. Kholil Bangkalan, beliau adalah seorang ulama kharismatik yang sangat besar pengaruhnya, sosok sufi yang dikenal sebagai waliyullah, ahli dalam bidang Ulumul Qur’an sekaligus hafidz, serta ahli ilmu alat. Subhanallah, berkat kelebihan tersebut, beliau menjelma menjadi Sang Maha Guru seluruh nusantara, yang melahirkan ribuan murid dan santri yang luar biasa hebatnya. Hampir semua tokoh dan ulama besar yang ada di nusantara pernah menimba ilmu dan merasakan bimbingannya.
Coba kita tengok sebentar sosok Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, salah seorang santri Mbah KH. Kholil Bangkalan ini bukan hanya dikenal sebagai seorang yang ‘alim, tetapi juga seorang faqih. Pengembaraan dan ketekunannya dalam mencari ilmu serta laku spiritual mengantarkannya menjadi seorang sufi dan pemikir brilian. Pemikiran beliau tidak hanya terbatas pada bidang keagamaan (tauhid, tasawuf, fiqih dan hadits), tetapi juga pada ranah pendidikan, politik, dan demokrasi.
KH. Wahab Chasbullah pun demikian adanya, beliau merupakan macan Nahdlatul Ulama. Sang pendobrak, sosok cerdik cendekia dan pemberani yang selalu membela umat di setiap tempat, kapan saja dan di manapun berada, jiwa raganya senantiasa disedekahkan untuk kepentingan umat dan agamanya.
Belum lagi sosok KH. Bisyri Syansuri, seorang ulama besar dan pejuang yang gigih membela kebenaran. Ahli hukum dan kenegaraan yang menjadi rujukan umat Islam. Ia merupakan sosok yang bersih, teguh pendirian, tetapi sangat ramah dan toleran.
Demikianlah, semua sosok di atas merupakan teladan mulia, pewaris para nabi, kepanjangan tangan Rasulullah SAW yang senantiasa menebarkan rahmat dan kasih sayang kepada semua umat, sebagaimana sifat Islam itu sendiri yang rahmatan lil ‘alamin. Beruntunglah orang-orang yang pernah mendapat cipratan keilmuan dari salah satunya, atau paling tidak bisa menangi kehidupannya saja merupakan sebuah anugerah yang tak ternilai harganya.
Saat ini jaman sudah berubah, sosok teladan seperti di atas sangatlah sulit ditemukan pada masa sekarang. Jika kehidupan kita ibaratkan sungai, maka sungai kita telah semakin jauh dari mata air, semakin banyak pula sampah kehidupan yang mencemari hati dan pikiran manusia. Bahkan berupaya meneladani kehidupan seperti beliau pun banyak godaan dan rintangan. Teladan kehidupan yang kita dapatkan semakin hari semakin berkurang, sebaliknya kita justru dipertontonkan dengan berbagai adegan kehidupan yang jauh dari tatanan. Perilaku kekerasan, kesewenang-wenangan, penindasan, kemunafikan, kejahiliyahan, dan berbagai macam kekonyolan menghiasi sekeliling kita dalam keseharian. Akibatnya, lambat laun diri kita pun menjadi ikut tercemar, kotor, dan jauh dari nilai-nilai keteladanan. Saking keruhnya, kita sangat kesulitan membedakan kebenaran dan kebathilan, antara tuntunan atau tontonan. Naudzubillah.
Sebagai manusia yang beriman, tentunya kita tidak boleh membiarkan diri kita tercemar oleh limbah yang semakin parah. Sedikit demi sedikit kita bersihkan kembali sampah-sampah yang mengotori sungai kehidupan kita. Kita saring kembali agar menjadi bersih. Jika perlu, kita harus bersusah payah menempuh jalan setapak untuk mendatangi mata air keteladanan itu, untuk kita rasakan kesegarannya, kita nikmati kesejukannya.
Kendati semakin berkurang, masih banyak sosok ulama pada jaman sekarang yang masih bisa kita teladani kehidupannya, mereka yang wajahnya bercahaya karena keagungan akhlaq, kesucian hati dan kedalaman ilmunya, bukan mereka yang wajahnya bercahaya karena make up dan sorot lampu kamera. Di sekeliling kita, banyak pesantren yang sarat uswah dan terjaga kemurniannya. Masih ada sumber mata air yang jernih yang dapat kita datangi dan kita ambil manfaatnya.
Akhirnya, semua kembali kepada diri kita, masihkan kita mau melakukannya, atau justru mengabaikannya dan malah semakin asyik bergelimang sampah dan limbah yang lainnya? Kita mendekati ulama’ atau malah menjauhinya, atau bahkan menghujatnya? Kita senang dengan air bersih atau air yang tercemar?
Anggota Lajnah Ta’lif Wan Nasyr PCNU Kabupeten Tuban