Entah kapan saya pernah membaca kabar dari grup whatsapp tentang meninggalnya kerabat Mbah Imam. Karena saya bangun tidur saya berpikir Mbah Imam yang meninggal. Saya pun bertanya ke seorang kawan, dia memberikan pelurusan atas dugaan saya. Oh, panjang umur Mbah, batin saya berucap begitu.
Menjelang magrib kabar meninggalnya Mbah Imam muncul. Saya njenggirat. Saya baca perlahan kalimat demi kalimat. Saya tanyakan ke beberapa kawan. Benar. Mbah Imam sampun kapundut. Kami semua bersedih. Keluarga NU di Tuban dan kawan seprofesinya, para wartawan di Tuban.
Saya bukan orang yang akrab dengan Mbah Imam. Saya lebih dulu kenal dengan keponakannya. Sebab, keponakannya adalah kawan saya kuliah. Kami akrab hingga pernah mengadakan kegiatan di rumahnya bertemu dengan keluarga besarnya. Di sanalah saya tahu jika Mbah Imam masih saudara dengan kawan saya itu.
Saat bertugas di Tuban tak pernah saya bersua dengan Mbah Imam. Namanya tenar. Siapapun wartawan di Tuban kenal dengannya. Semua menyebut beliaulah orang sepuh yang masih srawung dengan para wartawan di Tuban. Kadang ngemong kadang juga membukakkan jalan untuk kader kader baru wartawan.
Anehnya, kedekatan saya dengan Mbah Imam justru setelah saya bertugas di Blora. Keakraban itu datang dari sebuah berita yang saya tulis dengan foto sesorang makan belalang goreng. Berita itulah yang membuka diskusi kita semakin gayeng.
Pernah suatu tempo kami berada di sebuah warung langgan para wartawan Tuban. Dia banyak bercerita tentang bagaimana awal mula media masa berada di Tuban. Wartawan di Tuban, kata dia, hanya beberapa orang saja. Rerata adalah wartawan dari Media jawa Timuran. Ah, Mbah Imam bisa saja ceritamu selalu ada sisipan senda gurau.
Saya tak ingin bercerita banyak soal Mbah Imam dan profesinya. Tapi, saya ingin bercerita sosoknya dan NU. Boleu dikata Mbah Imam ini orang unik di NU omongannya kadang nylekit bagi sebagian orang tapi isi omongannya benar.
Semisal saat pelantikan NU. Saya bertemu denganya. Sambil seloroh dia berucap ke beberapa orang yang dilantik. “Oh saiki ngaku NU. Tapi kantor NU panggone wae ora eroh.” Ini sentilan menarik. Tentang orang yang berbondong-bondong menjadi pengurus NU tapi tidak pernah tahu di mana kantor NU berada.
Menurut saya ini bahasa sanepan. Ya semacam sindiran bagi mereka yang tiba-tiba NU tapi sejatinya tidak pernah tahu tentang NU itu sendiri. Atau bahkan mereka banyak mencari keuntungan dengan bendera NU. Ah, Mbah Imam, bisa saja nyindirnya.
Guyonan Mbah Imam yang dibalut sindiran muncul lagi di grup whatsapp WongNU yang isinya mungkin macem-macem orang. Di sana dia mengingatkan tentang calon yang konon diusung oleh NU. Gelitik Mbah Imam sederhana saja. Intinya, jangan-jangan elit NU hanya gembar gembor saja tapi tidak pernah bergerak di lapangan. Lagi lagi sentilan Mbah Imam membuat orang-orang mengernyitkan dahi.
Mbah Imam saya yakin bukan orang yang baru di NU. Sejak kecil sepertinya hidupnya sudah berada di NU. Hingga di masa tuanya dia masih tetap mencintai NU. Sejatinya saya banyak belajar atas apa yang dilakukan Mbah Imam. Saat NU berada di belakang gawang pemerintahan ataupun ada di tengah lapangan dan memainkan bola, Mbah Imam tetap saja berada di dalam NU.
Seorang mahasiswa saya mengaku pernah bekerja satu tim dengannya di KONI. Saat mendengar kabar Mbah Imam meninggal. Dia benar-benar terpukul. Mahasiswa saya itu mengaku Mbah Imam sosok yang gemati dengan anak-anak muda. Guyub dan ngemong menjadikan anak-anak mahasiswa merasa tidak canggung guyon meskipun Mbah Imam sudah tua.
Saya bersaksi Mbah Imam adalah kader NU sejati. Kami kehilanganmu Mbah.
Redaktur suluk.id