Suluk.id Tulungagung, – Menjadi wanita karier bukan sekadar tentang ruang kerja, jabatan, atau penghasilan. Bagi Dr. Mutrofin, M.Fil.I, Koordinator Program Studi Manajemen Dakwah UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung (UIN SATU), perjalanan menjadi wanita karier adalah sebuah proses panjang yang tidak lepas dari latar belakang keluarga, nilai-nilai yang tertanam sejak kecil, dan komitmen yang kokoh bersama pasangan.
Dalam acara Bincang-Bincang Wanita Karir yang diselenggarakan oleh Jurusan Dakwah Fakultas Ushuluddin, Adab, dan Dakwah (FUAD) UIN SATU pada Jumat (9/5) lalu, Mutrofin hadir sebagai salah satu narasumber yang berbagi pengalaman hidupnya secara jujur dan reflektif. Disiarkan secara langsung melalui kanal YouTube SATU TV, diskusi ini menjadi ruang penting bagi publik, khususnya perempuan, untuk menyelami lebih dalam bagaimana peran domestik dan profesional bisa dijalani secara seimbang.
“Kalau kita berbicara wanita karier, itu tidak ‘ujug-ujug’ menjadi wanita karier,” ujar Dr. Mutrofin membuka pernyataannya. Ia menegaskan bahwa setiap perempuan yang kini menjalani kehidupan sebagai wanita karier telah melalui proses panjang yang kadang tidak terlihat dari luar.
Ia mengingat bagaimana orang tuanya menanamkan prinsip sejak kecil bahwa kodrat perempuan adalah menjadi istri dan ibu. Namun, di saat yang sama, perempuan juga harus mampu berdiri di atas kakinya sendiri. “Kalau bahasa ibu saya, roda itu terus berputar. Kita sewaktu-waktu akan ditinggal pasangan kita. Maka kita harus siap,” kenangnya.
Menurut Mutrofin, menjadi wanita karier bukan hanya tentang memilih pekerjaan, tetapi tentang bagaimana mengaktualisasikan diri. Ia bahkan menyebut bahwa emak-emak yang aktif dalam kegiatan PKK pun layak disebut wanita karier, karena mereka mengelola waktu, tenaga, dan pikiran untuk hal yang lebih luas dari sekadar urusan domestik.
Mutrofin tidak menutupi bahwa menjadi wanita karier memiliki tantangan tersendiri. Ia menyebut keterbatasan waktu untuk keluarga sebagai konsekuensi logis. Namun, yang paling penting menurutnya adalah komitmen bersama pasangan.
“Ada resiprokal, saling mengakomodir tugas-tugas. Tidak ada yang lebih unggul. Kami membangun hubungan yang setara,” tuturnya. Dengan gaya santai, ia bercerita tentang kebiasaannya menyebut suaminya dengan sapaan “Beb” atau “Dek” sebagai bentuk kedekatan dan penghargaan.
Ia juga menggarisbawahi bahwa ketersalingan dalam rumah tangga adalah kunci untuk menghindari benturan antara peran profesional dan peran keluarga. Tugas sebagai ASN dan dosen harus dijalani berdampingan dengan peran sebagai istri, ibu, bahkan menantu.
Dalam bagian lain, Mutrofin mengenang masa awal kariernya di UIN SATU pada tahun 2014. Saat itu, anaknya masih berusia tiga tahun. Ia harus melakukan perjalanan pulang-pergi setiap hari dari Trenggalek ke Tulungagung, meninggalkan rumah sejak pagi buta.
“Saya berangkat sebelum subuh, anak saya masih tidur. Suami saya yang mengantar anak sekolah,” kisahnya. Dalam satu momen, anaknya sempat bertanya, “Ibu teng pundi? (Ibu ke mana?)” dengan nada bingung karena jarang melihat sang ibu di pagi hari.
Cerita itu menunjukkan betapa berat perjuangan emosional yang harus dijalani oleh seorang ibu yang juga berkarier. Namun, dengan komunikasi yang baik dan saling pengertian dalam keluarga, beban itu bisa dibagi dan dijalani bersama.
Dalam diskusi yang sarat perenungan itu, Mutrofin juga mengangkat nilai-nilai spiritual dan filosofis dalam menjalani kehidupan rumah tangga. Ia menyamakan konsep rezeki dengan benih gabah yang disebar di sawah.
“Kalau gabah satu karung kita simpan, tidak akan berkembang. Tapi kalau kita tabur, meskipun habis di awal, kita punya potensi panen tiga bulan lagi,” jelasnya. Ia percaya bahwa keberkahan datang dari keikhlasan untuk berbagi dan menebar manfaat.
Ia juga menyinggung realitas rumah tangga yang penuh kejutan. Menurutnya, pengeluaran dan pemasukan tidak selalu bisa dikalkulasi secara presisi. “Saya pernah dengar teman pakai Excel untuk atur keuangan, saya dengarnya saja sudah mumet,” katanya sambil tertawa.
Lebih lanjut, Mutrofin menyentuh pentingnya membedakan antara kebutuhan dan keinginan dalam pengelolaan keuangan rumah tangga. Ia menyayangkan jika banyak keluarga kolaps bukan karena tidak mampu memenuhi kebutuhan, tetapi karena keinginan yang tidak dikendalikan.
“Kalau keinginan lebih besar dari kebutuhan, maka akan sulit. Tapi kalau bisa dikendalikan, Insya Allah rumah tangga akan stabil. Stabilitas nasional rumah tangga,” ucapnya disambut tawa dari peserta diskusi.
Tidak hanya menyoal peran dengan suami dan anak, Mutrofin juga mengingatkan bahwa pernikahan adalah pertemuan dua keluarga besar. Oleh karena itu, komunikasi dan pengertian antar keluarga juga menjadi penting dalam membentuk rumah tangga yang harmonis.
Ia menegaskan bahwa cinta dalam rumah tangga tidak hanya ditujukan untuk pasangan, tetapi juga harus dibangun dalam relasi yang lebih luas antar anggota keluarga besar.
Bagi Mutrofin, menjadi wanita karier bukan soal pencapaian individual semata. Lebih dari itu, ini adalah cara untuk menebar manfaat, menjaga keseimbangan, dan membangun komitmen jangka panjang dalam rumah tangga.
“Rezeki sudah ada takarannya. Tinggal bagaimana kita mengelolanya dengan penuh syukur dan kerelaan,” ujarnya.
Simak tayangan lengkap “Bincang-Bincang Wanita Karir” bersama Dr. Luthfi Ulfa Ni’amah di kanal YouTube SATU TV.
Suluk.id merawat Islam Ramah serta mengajak beragama yang menggembirakan