Sudah jelas dan gamblang, bagaimana kita diajarkan untuk tidak main-main dalam hal urusan rakyat. Jika kader NU itu serius untuk menjadi pemimpin daerah hingga nasional, berarti harus paham konsekuensi. Ketika dipilih apakah ia bersandar pada musyawarah, sebab Nabi Muhammad selalu menekankan pada musyawarah alias partisipasi.
Mengenai Pilkada, ada sedikit yang jadi pertanyaan besar bagi saya, khususnya bagi para kader NU yang turut berkontesatasi. Apakah memang benar keturutsertaan sampeyan-sampeyan ini mutlak mewakili umat dalam hal ini nahdliyin atau memang ada motif lain?
Tentu pertanyaan saya ini sungguh keterlaluan dan tidak pantas ditujukan. Apalagi saya ini hanya orang biasa, dikatakan kader NU kok ya tidak jadi apa-apa, paling ya nulis di webnya NU dan Suluk.id. Selain itu saya juga tidak punya KartanNU, dulu sempat mengurus tapi menguap entah ke mana.
Mendekati Pilkada semacam ini banyak sekali perhatian tertuju bagi kader NU atau lebih khususnya sosok yang dianggap representasi NU. Apalagi di daerah-daerah basisnya NU, tak terkecuali wilayah Tuban. Tapi seperti pertanyaan saya di atas, apakah memang benar mereka mewakili basis NU? Kalau mewakili apa indikatornya? Apakah yang mengajukan basis NU atau memang mereka sendiri?
Pertanyaan-pertanyaan inilah yang kadang menjadi sebuah hantu, ia terus menggelayuti pikiran sampai-sampai makan pun tak enak, tidur pun tak nyeyak dan ngopi pun terasa pahit getir. Sebab, nasib rakyat ke depan dipertaruhkan, karena mau tidak mau nahkoda kebijakan dan pelaksanan undang-undang adalah mereka.
Apalagi kelak UU Cipta Kerja dijalankan, wewenang kabupaten sendiri akan terbatas. Apakah ke depan kepala daerah, jika ada persoalan yang berbenturan dengan UU, tapi hal tersebut berpotensi merampas hak rakyatnya, lantas mereka berani membela rakyatnya? Atau hanya diam saja dan cenderung menghindari seperti yang sudah-sudah.
Menjadi pemimpin memang harus amanah, jujur dan adil, karena taruhannya adalah nasib orang. Maka dari itu Nabi Muhammad pernah mengingatkan kita bahwa menjadi pemimpin itu berat, jika tidak bisa menjalan dengan baik, apalagi dzalim maka kelak ia akan mendapatkan siksa pedih di neraka. Sesungguhya Allah mencintai orang-orang yang berbuat adil, membela yang benar dan melawan yang batil. Seperti dalam surat An-Nahl ayat 90:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
“Sungguh Allah memerintahkan (kamu) untuk berbuat adil dan berbuat baik,” (Surat An-Nahl ayat 90).
Maka kembali ke pemikiran pertama, sebenarnya mereka yang ingin jadi pemimpin karena siapa? Itu perlu diluruskan, jika karena Allah berarti ia harus rela sakit, miskin dan sengsara untuk membela rakyatnya. Bersiap menjadi pemimpin yang senantiasa ada untuk rakyatnya, dan tidak berjarak. Dan soal keperpihakan ini dipertegas dalam sebuah hadist Nabi Muhammad SAW, sebagaimana yang saya kutip dari catatan NU Online, bahwa:
وبدأ بالشخص العادل لأن حياته له وللناس فإن الحاكم العادل هو الكاسر لشوكة الظلمة والمجرمين وهو سند الضعفاء والمساكين وبه ينتظم أمر الناس فيأمنون على أرواحهم وأموالهم وأعراضهم
“Allah mengawali tujuh kelompok dengan menyebut ‘orang yang adil’ terlebih dahulu karena kehidupannya itu menyangkut dirinya dan nasib orang banyak. Pemerintah yang adil ini adalah ia yang mematahkan ‘duri’ orang-orang zalim dan pelaku kriminal. Ia adalah sandaran kaum dhuafa dan orang-orang miskin. Dengan kehadiran pemerintah yang adil, urusan publik terselesaikan sehingga mereka merasa aman dan terjamin jiwa, harta, dan nama baiknya,” (Lihat Syekh Hasan Sulaiman Nuri dan Sayyid Alwi bin Abbas Al-Maliki, Ibanatul Ahkam Syarah Bulughul Maram, [Beirut, Darul Fikr: 1996 M/1416 H], cetakan pertama, juz II, halaman 256).
Sudah jelas dan gamblang, bagaimana kita diajarkan untuk tidak main-main dalam hal urusan rakyat. Jika kader NU itu serius untuk menjadi pemimpin daerah hingga nasional, berarti harus paham konsekuensi. Ketika dipilih apakah ia bersandar pada musyawarah, sebab Nabi Muhammad selalu menekankan pada musyawarah alias partisipasi. Hal ini terekam dari tradisi syuro atau bemusyawarah yang selalu dijalankan oleh nabi, diwarisi hingga pemilihan pemimpin dan penentuan kebijaman umat pasca nabi yakni Khulafaur Rasyidin.
Sudah terang benderang, bagi anda-anda yang akan maju sebagai pemimpin, apalagi dari kader NU, apakah sampeyan-sampeyan ini dihasilkan dari musyawarah dan renungan mendalam? Atau hanya memajukan diri pakai embel-embel ini hanya untuk memanjakan syahwat berkuasa.
Lalu, siapkah kalian membela rakyat, berlaku adil dan selalu bermusyawarah dengan rakyat dalam membuat kebijakan? Seperti membela kepentingan air, tanah dan lingkungan dari serbuan indusri ekstraktif. Membela petani dari perampasan tanah perusahaan dan proyek ngawur. Membela buruh dari gaji tidak UMR, dipecat semena-mena dan tidak mendapatkan hak normatifnya.
Semoga kita dibukakan mata batin dan keteguhan iman untuk dijauhkan dari mereka yang dzalim.
Referensi:
https://islam.nu.or.id/post/read/97750/siapa-imam-atau-pemimpin-yang-adil-dalam-hadits-nabi
https://www.nu.or.id/post/read/104930/rasulullah-tentang-musyawarah-dalam-memilih-pemimpin
Warga Nahdlatul Ulama, pekerja sosial