Perbincangan dalam sessi penutup semakin menarik ketika gus Yahya menyampaikan bahwa kita (ummat Islam) tidak bisa mengingkari berbagai realitas negatif yang ada. Bahwa ada sebagian perilaku ummat yang bertindak destruktif karena pengaruh pemikiran dan tafsir terjadap agama itu harus kita akui.
Kita tidak boleh mengingkari fakta dan realitas dengan bersembunyi di balik idealitas teks agama, menyangkal dengan pernytaan bahwa itu semua hanya ulah oknum yang tidak ada kaitannya dengan Islam.
Memurut Gus Yahya semua ini harus diakui kemudian dijadikan bahan analisis untuk mencari solusi dan jawaban yang tepat. Jika semua ini diingkari maka solusi yang ditawarkan tidak akan pernah tepat karena bukan berangkat dari persoalan riil yang ada.
Ibaratnya, agar dokter bisa membuat diagnosis yang tepat maka pasien harus jujur mengakui apa adanya atas kondisi tubuh. Jika ada fakta yang disembunyikan maka diagnosis tidak akan akurat dan dampaknya solusi yang diambil tidak tepat.
Ketika diberi kesempatan untuk menanggapi, penulis menyampaikan perlunya strategi kebudayaan yang tepat untuk menjawab persoalan tersebut. Karena dalam monteks Indonesia ada relasi dan interaksi yang kuat antara agama dan budaya/tradisi. Kebudayaan bahkan menjadi instrumen yang signifikan dalam menyebarkan dan membentuk pemikiran keagamaan yang tidak saja melahitkan tafsir tetapi juga membentuk berbagai tradisi sebagai manifestasi dan ekspresi beragama.
Dalam konteks kekinian kira-kira strategi kebudayaan macam apa yg barus dilakukan agar wasathiyyah Islam bisa teraktualisasikan secara massif? Tanya penulis
Menanggapi pertanyaan tersebut, Gus Yahya menawarkan lima strategi kebudayaan, selain mengakui dan menerima adanya radikaslme dan intoleransi sebagai fakta, strategi berikutnya adalah melepaskan diri dari belenggu ortodoksi abad pertengahan dan glorifikasi sistem khalifah yang menyebabkan terjadinya pengamaan sistem politik khilafah.
Artinya khilafah sebagai sistem politik dianggap sebagai doktrin agama sehingga yang menolaknya dianggap kafir. Pemikiran seperti ini harus diubah.
Strategi yang lain, perlu ada perombakan materi dalam pendidikan agama yang mebih menonjolkan aspek kemanusian yang bisa menumbuhkan sikap toleran, moderat dan kooperatif. Selama ini sejarah Islam yang diajarkan lebih didominasi oleh sejarah perang, penaklukan dan penguasaan atas kompok lain.
Dalam hal ini gus Yahya sempat menyebut Khulasoh Nurul Yaqin sebagai buku sejarah Islam yang lebih banyak berisi kisah2 peperangan. Perubahan pola pikir (changing mindset) merupakan kata kunci utama dari strategi kebudayaan yang harus dilakukan.
Apa yang disampaikan gus Yahya ini diamini oleh prof. Thomoty Winter atau syech Murad saat memberikan tanggapan. Dia menyatakan persoalan radikalisme dan intoleransi itu sangat complicated dan itu terkait dengan pemahaman dan perilaku sosial pemeluk agama. Meski ada sikap radikal dan intoleran dari sebagian ummat Islam namun itu sama sekali tidak merusak prinsip dan spirit ajaran Islam yang wasathiyyah. Di sinilah pentingnya membedakan antara prinsip ajaran Islam dengan perilaku para pemeluknya.
Saat memeberikan closing remark (catatan penutup diskusi) prof. Frans Wisjen selaku pemandu diskusi menampilkan gambar2 yang menunjukkan adanya tindakan anarkhi dan radikal yang dilakukan oleh sebagian ummat Islam Indonesia. Melalui gambar tersebut dia ingin menunjukkan bahwa ummat Islam Indonesia yang dianggap toleran, moderat dan santun itu ternyata tidak bisa lepas dari tindakan anarkhi dan intoleran.
Dari catatan singkat Prof. Wisjen kita bisa melihat bahwa apa yang terjadi di Indonesia memiliki resonansi global yang berdampak pada terbentuknya persepsi terhadap Indonesia dan Islam, karena tindakan tersebut dilakukan menggunakan simbol Islam.
Meski hanya dilakukan oleh kelompok kecil ummat Islam namun itu menimbulkan kesan mendalam terhadap keseluruhan ummat Islam. Disinilah pentingnya ummat Islam Indonesia bersikap waspada dan hati-hati dalam bertindak dan mengekspresikan spirit keagamaan.
Selain itu, catatan Prof. Wijsen ini juga menjukkan bahwa stigma negatif Islam sebagai agama kekerasan masih tertanam kuat dalam imaginasi masyarakat Barat. Tindakan anarkhi dan intoleran justru memperkuat stigma tersebut. Foto yang ditampilkan merupakan penjelasan kongkrit yang sulit ditolak.
Milihat kenyataan ini, penulis merasa betapa strategisnya pelaksanaan event konferensi ini. Dari segi waktu konferensi ini diselenngarakan pada saat yang tepat. Ketika situasi sosial politik sedang mengarah pada terjadinya segregasi sosial melalui arus radikalisme dan intoleransi, konferensi yang membahas moderasi islam ini dilaksanakan. Dari segi tempat, juga sangat strategis karena dilaksanakan di negara non muslim dan sekuler yang masih memandang islam secara stigmatik.
Apa yang dilakukan teman-teman PCI NU ini tidak hanya kegiatan akademik mengkaji Islam secara ilmiah sebagai upaya mewujudkan Islam rahmatan lil’alamin secara nyata dalam praktek kehidupan. Lebih dari itu, event ini juga menjadi langkah kongkrit menghapus stigma negatif terhadap Islam, akibat ulah sekompok orang yang merass palinga Islam.
Dan menurut saya inilah langkah elegan menunjukkan keluhuran Islam dibanding dengan cara kekerasan, caci maki, fitnah, memebar kebencian dan permusuhan.***

Budayawan