Angka kemiskinan di Indonesia yang baru-baru ini diributkan banyak praktisi hingga akademisi, menjadi satu data yang menggambarkan realitas kekinian. Di mana memang cukup susah menempatkan kemiskinan dalam suatu hal yang baku. Tetapi di sini penulis ingin mengutip data yang disediakan oleh BPS, sebagai ilustrasi awal untuk menuju abstraksi tentang kemiskinan. Pemerintah Indonesia melalui BPS menyebutkan jika angka kemiskinan di Indonesia telah menurun, dari angka 9.66 persen di tahun 2018 menjadi 9.41 persen di tahun 2019. Pemerintah menetapkan angka kemiskinan dalam di bawah 400-500 ribu rupiah per bulan, menurut BPS itu sudah sesuai dengan standar ekstrem Bank Dunia.
Di Jawa Timur sendiri tercatat kemiskinan di Jawa Timur berada di angka 10.85 persen di tahun 2018, dengan sebaran kemiskinan di perdesaan sebesar 15.2 persen, lalu di perkotaan sebesar 6.9 persen. Laju kemiskinan yang berhasil diturunkan masih dikisaran angka 72 ribu jiwa dari 39,29 juta total penduduk, jika mengacu pada data sensus penduduk BPS di tahun 2017.
Lebih spesifik kita akan menuju tiga kabupaten di wilayah pesisir utara yang memiliki keterkaitan satu sama lainnya, yakni Bojonegoro, Tuban dan Lamongan. Berbicara tentang kemiskinan berdasarkan survei nasional BPS di tahun 2018, angka kemiskinan di Bojonegoro berada di angka 13.36% atau berada di kisaran angka 163.940 jiwa. Sementara di Tuban sendiri berada di angka 15.31 persen atau ada sekitar 196.000 jiwa, lalu di Lamongan angka kemiskinan berada di kisaran angka 14.42 persen atau ada sekitar 171.38 jiwa.
Kemiskinan di wilayah tersebut menjadi bukti, bahwa tugas utama umarah dan ulama sebagai penggerak umat ialah, turut serta memikirkan bagaimana kemiskinan ini bisa direduksi dan dieliminasi. Al- Masholih Ar-Raiyah merupakan konsep kemaslahatan umat, di mana kesejahteraan adalah kunci menuju kehidupan yang sentosa. Tenang dalam menjalankan kehidupan keluarga, sosial dan relijius, tanpa ada sedikitpun distraksi, itulah hakikat dari kesentosaan itu sendiri.
Ajaran Sosial-Relijius Sunan Drajat
Raden Qosim atau familiar dikenal dengan sebutan Sunan Drajat merupakan anak kedua dari Sunan Ampel (Raden Rahmat). Beliau berdakwah di wilayah pesisir utara pulau Jawa, lebih spesifik di wilayah pesisir utara Lamongan, namun lebih dari itu ajarannya pun menyebar hingga di seluruh wilayah pulau Jawa. Sunan Drajat dikenal sebagai walisongo yang memiliki ajaran sosial-relijius tinggi, dan tercatat bisa mengentaskan wilayah sekitar pantai utara terutama Paciran dari kemiskinan. Ajaran sosial-relijius yang ia implementasikan menjadi nilai tersendiri jika kita telaah lebih dalam, sebagai bagian dari tadabur atas realitas yang ada.
Sunan Drajat dalam beberapa literatur memiliki beberapa ajaran tasawuf karena memiliki kedalaman makna dan implikasi. Baik dalam kebatinan maupun yang berkorelasi dengan sisi realitas. Diskursus ajaran sosial-relijius Sunan Drajat yang dalam inilah yang seharusnya dielaborasi dan diimplementasikan dalam konteks terkini. Sebagai satu konstruksi filosofis yang realistis dalam upaya untuk mereduksi kemiskinan itu sendiri. Paling tidak dijadikan satu bijakan bergerak lillahi ta’ala, karena ketakwaan dan keimanan pada Allah.
Sunan Drajat dengan nilai-nilai luhur ajaran yang dimilikinya, memiliki satu sisi menarik dalam ajarannya terkait sebuah ajakan untuk berbuat yang terbaik untuk umat. Catur Piwulang yang merupakan piturur atau pesan-pesan luhur Sunan Drajat, merupakan salah satu ajaran sang sunan yang masih teridentifikasi dan telah diterjemahkan dalam berbagai perspektif. Namun secara harfiah dasar Catur Piwulang memiliki muatan atau isi kurang lebih sebagai berikut;
- Wenehono teken marang wong kang wuto (berilah tongkat pada orang yang buta).
- Wenohono pangan marang wong kang kaliren (berilah makan pada orang yang kelaparan).
- Wenohono sandang marang wong kang wudo (berilah pakaian pada orang yang telanjang).
- Wenohono payung marang wong kang kawudanan (berilah payung pada orang yang kehujanan).
Catur Piwulang dalam Konteks Terkini
Berangkat dari ajaran sosial-relijius yang terekam dalam catur piwulang sebagai ajaran adiluhung Sunan Drajat. Maka dalam konteks kekinian dapat direlasikan dalam beberapa realitas, terutama nilai-nilai filosofis sebagai pijakan yang impementatif. Wenehono teken marang wong kang wuto atau berikanlah tongkat kepada orang buta. Secara sosial terkini makna tersebut sangat sesuai dengan situasi dan kondisi faktual, di mana kemiskinan menjadi satu problem yang memang harus diatasi bersama.
Dalam situasi ini seorang yang pandai harus mampu memberikan pencerahan berupa penyebaran pengetahuan, baik dalam konteks kritik atas kebijakan atau alternatif-alternatif yang bisa disajikan untuk menanggulangi kemiskinan itu sendiri. Misal gagasan terkait pelatihan untuk usaha kecil dan menengah, khususnya di level rumah tangga perdesaan. Mencerahkan terkait tata guna serta tata kelola lahan, ketimpangan dan strategi terkait untuk mencapai kesejahteraan itu sendiri.
Wenehono pangan marang wong kang kaliren, berikanlah makan kepada orang kelaparan. Salah satu kebutuhan dasar manusia adalah makan dan minum. Tugas dari umara atau pemimpin di sini ialah senantiasa mengedepankan pangan dari umat itu sendiri. Berangkat dari problem seperti ketimpangan lahan, rusaknya lingkungan akibat dari tata kelola yang keliru mengakibatkan semakin terancamnya kebutuhan pangan.
Sebab itu maka dalam menentukan tata kelola sudah seharusnya melibatkan umat, kondisi lingkungan hidup dan fokus mengedepankan kebutuhan umat seperti pangan. Selain itu Wenehono sandang marang wong kang wudo, berikanlah pakaian kepada orang yang telanjang. Makna dari hal ini ialah orang-orang kaya tidak boleh tamak dan rakus, harus ingat bahwa harta adalah titipan Allah semata. Maka mereka harus adil dan tidak boleh secara serampangan mengambil hak-hak orang miskin dan lemah.
Wenehono payung marang wong kawudanan, berikanlah payung kepada orang yang kehujanan. Kita dipaksa agar selalu ingat bahwa hidup tidak sendiri, harus saling melindungi dan menghargai satu sama lainnya. Seorang pemimpin atau orang pandai harus mampu memayungi dan meneduhkan bagi orang membutuhkan. Ia harus mampu mendengarkan umat serta lingkungan hidupnya dan tidak menghianati umat itu sendiri. Semua yang ada di dunia merupakan titipan, manusia sebagai khalifah fil ard harus bijak dan mementingkan umat itu sendiri.
Kemiskinan salah satu penyebabnya ialah ketidaksinkronan antara kebijakan serta ketidakpekaan umara pada umatnya. Tidak mau mendengar, tidak mau mengedepankan dan egois. Maka ajaran Sunan Drajat jika dikontektualisasikan sebagaimana cara pandang penulis, akan menjadi salah satu pengingat serta pedoman bagaimana umara yang baik, bagaimana umat juga harus bersikap, demi terwujudnya maslahah ammah atau kebaikan pada semua orang.
Warga Nahdlatul Ulama, pekerja sosial