Setelah melaksanakan roadshow ke Eropa tahun lalu, kali ini Ki Ageng Ganjur berkesempatan pentas lagi di Belanda, di kampus Universitas Radboud, di Nijmagen dalam even the 2nd Bienale International Conference yang diselenggarakan oleh PCI NU Belanda dan dihadiri oleh diaspora NU, para akademisi, peneliti dan intelektual.
Kali ini Ganjur tidak tampil full team, hanya membawa tiga orang musisi yang berkolaborasi dengan Imam Jimbot, seorang musisi tradisional Sunda yang sudah mendunia.
Rombongan Ganjur tiba di Amsterdam pukul 13.40 waktu setempat dan langsung menuju Den Haag. Setelah istirahat sejenak dan mempersiapkan peralatan, pukul 19an langsung berangkat menuju Nijmegen. Pukul 20.45 kami sampai di kampus Radbpud, untuk loading dan setting alat. Sebelum loading kami sempat foto2 dan keliling melihat suasana kampus yang asri dan sejuk dengan pepohonan yg rindang.
Universitas Radboud merupakan lembaga pendidikan Katholik yang cukup ternama. Didirikan pada 17 Oktober 1923. Pada awal.berdiri kampus ini memiliki 27 profesor dengan 187 mahasiswa. Saat ini mengampu hampir 20 ribu mahasiswa. Kampus ini menggunakan sistem inter disipliner, dimana mahasiswa diberi kesempatan berdiskusi lintas fakuktas.
Suasana kota yang tenang dan asri sangat mendukung sebagai tempat belajar. Nijmegen adalah kota tua dengan sentuhan budaya yang kental. Di kota banyak museum, gedung pertuntujukan teater dan musik. Beberapa pusaka keraton dan naskah kuno Nusantara ada di perpustakaan di kota ini.
Setelah beres loading dan setting kami menuju ke rumah mbak Yus, salah seorang panitia yang rumahnya dijadikan tempat kami menginap. Di sana sudah berkumpul para utusan PCI dari Belgia, Jerman, Maroko, dll. Meŕeka melakukan diskusi informal dengan Gus Yahya Cholil Tsaquf.
Forum sore itu seolah mejadi ajang berbagi rasa para diaspora NU. Mereka adalah anak2 muda yang rata2 sedang memempu study di luar negeri yang memiliki ghirah (semangat) tinggi untuk mengabdi di NU.
Beberapa catatan menarik yang muncul dalam perbincangan informal sore itu diantaranya, pertama NU memiliki sistem nilai yang dibutuhkan oleh dunia saat ini. Nilai itu adalah pemikiran keislaman yang moderat, toleran dan humanis. Pemikiran ini menjadi alternatif bagi arus gerakan Islam radikal, fundamentalis yang ekspresinya cenderung mengancam kemanusiaan dan keberagaman.
Kedua, NU memiliki potensi untuk ikut terlibat dalam menjawab persoalan keimigrasian terkait dengan terjadinya benturan sosial antara penduduk asli dengan para pengungsi dari negara2 konflik di Timur Tengah yang mayoritas beragama Islam. Sebagaimana terjadi di beberapa negara Eropa, keberadaan para pengungsi tidak hanya menimbulkan problem kemamusiaan tetapi juga benturan teologi yang bisa mengarah pada munculnya konflik politik.
Sebagai organisasi Islam terbesar di dunia dengan pamahaman keagamaan yang moderat dan humanis, NU memiliki legitimasi moral, teologis dan sosiologis untuk berperan aktif dalam upaya menyelesaikan konflik global berbasis agama.
Ketiga, gerakan radikalisme di Indonesia merupakan limbah teologi-kultural yang bersifat intermasional. Artinya radikalisme di Indonesia merupakan hilir dari persoalan global. Oleh karenanya akan sulit diatasi kalau hanya secara lokal. Perlu ada penyelesaian pada level hulu, yaitu di kalangan masyarakat internasional. Karena seberapapun kuat penyelesaian pada level lokal, jika pada level global sebagai hulu persoalan tidak diselesaikan maka persoalan radikalisme akan terus muncul pada wilayah hilir (lokal).
Strategi ini mengingatkan pada spirit NU melawan gerakan Wahabi yang merupakan cikal bakal radikalisme pada lewel hulu. Hal ini dilakukan oleh mbah Hasyim dengan membentuk komite Hijaz yang menjadi embrio berdirinya NU. Komite Hijaz inilah yang menghadang laju gerakan Wahabi dengan mendatangi langsung ke hulu gerakan di Arab Saudi. Strategi ini yang harus diaktualisasikan NU dalam konteks kekinian.
Untuk mengaktualisasikan potensi dan peluang tersebut, menurut Gus Yahya perlu dirumuskan agenda yang jelas, meliputi taktik, strategi dan format gerakan yang kongkit. Karena gerakan radikal yang ofensif dan sistematis tidak mungkin dihadapi secara sporadis. Selama ini gerakan NU masih bersifat sporadis dan reaktif. Masing2 jalan sendiri2 tanpa ada managemen gerakan (Nidhamul Kharakah) dan pembagian peran yang jelas, terukur dan sistematis.
Dari perbincangan ini tampak pentingnya NU membangun strategi untuk melalukan internasionalisasi pemikiran keislaman ala Manhaji Nahdlatul Ulama dengan memanfaatkan diaspora NU yang tersebar di seluruh dunia.
Saya melihat obrolan informal yang santai gaya NU ini tidak hanya sekedar berbagi rasa tetapi juga menggali makna dan menyusun langkah untuk meningkatkan pengabdian pada NU dan bangsa.
Budayawan