Terkenang masa bertahun-tahun lalu saat bulan Ramadan saya pernah mengikuti kegiatan ngaji “pasanan” di Pondok Pesantren Langitan, Widang, Tuban. Sebuah pesantren kuno yang didirikan pada tahun 1852 ini berada tepat di tepian Bengawan Solo, berlokasi di Desa Widang dekat jembatan utama jalan raya Babat – Lamongan.
Pondok Pesantren Langitan menerapkan metode pesantren salaf. Terdapat ribuan santri dari seluruh pelosok dalam negeri baik pulau Jawa maupun luar pulau, sehingga tampak seperti sebuah miniatur Indonesia. Bahkan dengar-dengar ada juga yang dari mancanegara.
Ngaji pasanan atau mengaji pada bulan puasa di Pondok pesantren Langitan sudah biasa diadakan setahun sekali laiknya pesanten kilat. Para santri pasanan, umumnya ialah santri pesantren lain yang sedang mendapat tugas mondok selama Ramadhan.
Pada waktu dulu ngaji pasanan atau mondok Ramadhan tahun 2009, Pondok Pesantren Langitan masih diasuh oleh Kiai kharismatik, yaitu KH. Abdullah Faqih.
Mengenal KH. Abdullah Faqih
Siapa yang tidak kenal dengan Kiai ingkang paring asmo KH. Abdullah Faqih. Pengasuh Pondok Pesantren Langitan Tuban yang telah berpulang ke rahmatullah tahun 2012 lalu ini merupakan salah satu Kiai di Indonesia yang memiliki sanad keilmuan bersambung hingga Rasulullah SAW.
Beliau diakui sebagai Kiai yang faqihu fiddin dan sangat berpengaruh. Saking alim dan kharismatiknya Kiai Faqih di kalangan Nahdliyin termasuk ke dalam Kiai khos atau Kiai utama.
Ada syarat tertentu sebelum seorang Kiai masuk kategori khos. Antara lain, mereka harus mempunyai wawasan dan kemampuan ilmu agama yang luas, memiliki laku atau daya spiritual yang tinggi, mampu mengeluarkan kalimat hikmah atau anjuran moral yang dipatuhi, dan jauh dari keinginan-keinginan duniawi.
Dengan kata lain, mereka sudah memiliki kemampuan waskita sehingga menjadi solusi umat dalam menghadapi pelbagai persoalan. Tidak terkecuali rujukan para ulama dan umara.
Bukan hanya urusan agama melainkan juga politik. Keputusannya sering disebut Gus Dur sebagai “Suara Langit”. Bahkan menurut Gus Dur, Yai Faqih termasuk seorang wali. Kewaliannya bukan lewat lelaku tarekat atau tasawuf, melainkan karena kedalaman ilmu fikihnya.
Barangakali Gus Dur bisa berkata demikian karena menurut cerita yang cukup masyhur juga bahwa dulu KH. Abdurrahman Wahid, Presiden RI ke 4 ini pernah sowan ke ndalem Yai Faqih awal Januari 2001.
Gus Dur diajak masuk kamar pribadi Kiai Faqih. Mereka berdua melakukan pembicaraan khusus hanya empat mata dengan maksud meredam kerasnya seranganan politik dari Senayan.
Lebih-lebih saat menjelang Pilpres 1999, sejumlah kiai sepuh Nahdlatul Ulama mengadakan pertemuan di Ponpes Langitan, yang memunculkan istilah Poros Langitan. KH Hasyim Muzadi menemui Gus Dur untuk menyampaikan pesan Kiai Faqih yang isinya merestuai Gus Dur maju dalam pilpres. Akhirnya mengantongi suara terbanyak dalam pemungutan suara melalui sidang MPR, unggul 60 suara dari Bu Mega kala itu.
Pengalaman Ngaji Kitab Ihya’ Ulumuddin dan Tafsir Jalalain
Masih lekat dalam ingatan saya hingga kini, di antara ribuan santri KH. Abdullah Faqih saya termasuk pernah mencicipi duduk dalam satu majelis menyimak ngaji umum kitab Ihya’ Ulumuddin (احياء علوم الدين ) ba’da duhur dan kitab Tafsir Jalalain ba’da tarawih.
Kitab Ihya’ Ulumuddin adalah sebuah kitab kuning terkenal di pesantren-pesantren salaf yang merupakan karangan Imam Al-Ghazali ini memiliki tema utama tentang kaidah dan prinsip dalam penyucian jiwa yakni menyeru kepada kebersihan jiwa dalam beragama, sifat takwa, konsep zuhud, rasa cinta yang hakiki, merawat hati serta jiwa dan sentiasa menanamkan sifat ikhlas di dalam beragama.
Kandungan lain dari kitab ini berkenaan tentang wajibnya menuntut ilmu, keutamaan ilmu, bahaya tanpa ilmu, persoalan-persoalan dasar dalam ibadah seperti penjagaan thaharah dan salat, adab-adab terhadap al-Qur’an, dzikir dan doa, penerapan adab akhlak seorang muslim di dalam pelbagai aspek kehidupan, hakikat persaudaraan (ukhuwah), obat hati, ketenangan jiwa, bimbingan memperbaiki akhlak, bagaimana mengendalikan syahwat, bahaya lisan, mencegah sifat dengki dan emosi, zuhud, mendidik rasa bersyukur dan sabar, menjauhi sifat sombong, ajakkan sentiasa bertaubat, pentingnya kedudukan tauhid, pentingnya niat dan kejujuran, konsep mendekatkan diri kepada Allah (muraqabah), tafakur, mengingati mati dan rahmat Allah, dan mencintai Rasulullah SAW.
KH. Abdullah Faqih pernah dawuh di sela-sela ngaji kitab Ihya’, yang berbunyi “Wong sing bagus iku, wong seng naliko peweh bondo mareng wong liyo, roso bungahe podo karo nrimo barang soko wong liyo. Iki mau paribasan koyo wong buang hajat, roso eman ora bakal ono. Tegese, wong sing buang hajat mesti bungah ngetokno kotorane.”
Kurang lebih artinya begini “Orang baik yaitu, orang yang ketika memberikan hartanya pada orang lain, perasaan senangnya sama dengan orang yang menerima sesuatu dari orang lain. Peribahasa ini seperti orang buang hajat, perasaan eman tidak akan ada. Yakni, orang yang buang hajat mesti senang mengeluarkan kotorannya.”
Adapun pengajian kitab tafsir dibuka oleh KH. Abdullah Faqih dilaksanakan selepas shalat terawih dan diikuti oleh seluruh santri Aliyah maupun santri musyawirin. Dalam pemahaman ilmu tafsir, KH. Abdullah Faqih memiliki jalur sanad dari KH. Abdul Hadi, KH. Ma’shum, Syekh Yasin al-Fadani, dan Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki.
Namun semenjak kepeninggalan Kiai, sekarang kitab tersebut dibacakan oleh putera keenam beliau KH. Abdullah Habib Faqih. Menurut situs Langitan.net, kitab tafsir yang biasa dibaca sampai sekarang adalah kitab dari KH. Muhammad Khozin (pengasuh Pondok Pesantren Langitan ketiga).
Bagi yang belum tahu sekilas tentang kitab Tafsir Jalalain. Kitab ini merupakan kitab yang dikarang oleh dua mushonif (pengarang). Dinamakan dengan Tafsir Jalalain karena kitab tafsir ini dikarang oleh dua jalaluddin, yaitu Syekh Jalaluddin al-Mahalli dan Syekh Jalaluddin as-Suyuti. Syekh Jalaluddin al-Mahalli dilahirkan tahun 796 H. Di Mahalla al-Kubra, dan wafat tahun 835 H. Beliau menafsiri al-Quran mulai surat al-Kahfi sampai an–Nisa’, setelah itu menafsiri surat al-Fatihah.
Beliau wafat sebelum melanjutkannya dan diteruskan oleh murid beliau Syekh Jalaluddin as-Suyuti mulai surat al-Baqoroh sampai surat al-Isro’. Syekh Jalaluddin as-Suyuti sendiri lahir pada tahun 849 H. dan wafat pada tahun 911 H.
Dalam pengajian, Kiai Faqih bercerita kepada para santri serta berbagi pengalaman saat mondok 2.5 tahun di Lasem dan 6 bulan di Senori. Beliau dulunya tidak punya uang saku banyak, sehingga selama mondok dibiasakan tirakat. Seringkali ketika puasa jarang buka dan sahur. Hanya minum air putih di masjid jami’.
Kiai Faqih juga selama di pondok ngaji ke semua guru dan berusaha mendekat dengan banyak Kiai meski kadang di antara mereka ada beda pandangan (khilafiyah).
“Santri iku tergantung tirakate pas nang pondok. Sangune kurang banjur melarat ora opo-opo, barokahe sesok muleh ilmune dadi ketok mencorong. Aku biyen pas mondok sangu mung 15 ewu, wayah poso sering gak buko gak sahur, alhamdullihah yo diparingi jek urip. Pertama jek kepekso opo dijarak mengko inyaAllah diparingi cukup. Tur santri kudu pareg karo kyai. Iku sababe aku saiki dititipi ilmu, isoh tak lakoni lan tak tular-tularno mergo tirakat lan dungane guru-guru sing parek iku mau.”
Para santri pun menyimak dengan penuh khidmat, kadang sesekali disertai gelak tawa saat Kiai menganekdotkan cerita lucu khas ala Kiai NU. Kalau sudah ngaji bersama Kiai Faqih, suasana di dalam Musholah Agung Pondok Pesantren Langitan, serambi, sampai sepanjang area pesantren full berisi lautan santri.
Apalagi konon katanya santrinya tidak hanya ribuan dari kalangan manusia saja, tapi menurut cerita yang sudah bukan rahasia lagi kalau Kiai Faqih saat pengajian juga diikuti dari kalangan bangsa Jin Islam. Cerita kekaromahan Kiai Faqih ini saya dapatkan langsung dari ketua kamar saya ketika itu. Wallahua’lam bishowwaab.
alumni Pondok Pesantren Matholi’ul Anwar Lamongan yang sekarang tinggal di Bangkok Thailand