Suluk.id – Keilmuan Islam secara letak geografis, pola pandang, serta paradigmanya terbagi menjadi dua bagian yakni Orientalisme dan Oksidentalisme. Menurut Hanafi Orientalisme secara etimologi berasal dari bahasa Perancis yakni Orient artinya arah terbit matahari/ timur. Secara istilah beliau mendefinisikan bahwa Orientalis adalah hal yang berhubungan dengan dunia timur atau pelajar dunia ketimuran. Oksidentalis menurut Fattah berasal dari kata Occident artinya barat atau kebaratan. Maka melalui etimologi ini beliau mendefinisikan bahwa istilah Oksidentalisme merupakan sekte dan paradigma pemikiran yang berkaitan dengan barat. Keduanya diindikasikan sebagai golongan berbeda dan bertentangan.
Secara pemikiran kedua golongan ini memiliki banyak perbedaan. Dalam hal paradigma dan pendapat terhadap hadis kedua golongan ini bahkan saling bertentangan. Kaum orientalis menganggap bahwa kondisi kaum timur identik dengan kemiskinan, kebodohan akut, kontemplatif, dan fatalistis. Kaum Oksidentalis menganggap orang barat identik dengan materialisme, kapitalisme, positivisme, dinamisme, dan sekularisme. Artinya perbedaan ini sudah menjadi sekat besar pembeda pemikiran keduanya. Implikasi besar dari pemikiran keduanya ialah perbedaan pandangan terhadap keilmuan Islam khususnya ilmu Al Qur’an dan Hadis. Salah satu tokoh kaum orientalis pengkritik hadis adalah Joseph Schacht dan dibantah oleh Musthafa A’zami seorang Oksidentalis.
Kaum orientalis melalui latar belakang kemunculannya terlihat bersikap skeptis terhadap adanya hadis. Hal ini terbukti dari beberapa pernyataannya tentang hadis nabi yang secara skeptis menyudutkan kebenaran hadis. Melalui bukunya yang berjudul The Origins Of Muhammadan Jurisprindence misalnya, Joseph Schacht mengatakan bahwa tradisi sanad hadis dimulai sejak akhir abad pertama hijriah yang diinisiasi sebab berakhirnya kurun sahabat. Menurutnya sanad sudah ada sejak sepertiga akhir abad pertama yang kemudian disempurnakan dan dimanipulasi pada abad kedua dan ketiga melalui konspirasi ulama hadis dan ulama fikih. Manipulasi ini menurutnya untuk mendapatkan legitimasi dan pamor yang tinggi terhadap hadis yang diriwayatkan. Sehingga dengan mendapatkan kedua hal tersebut seorang perawi akan mendapatkan pengakuan di bidang akademisi intelektual hadis.
Pernyataan Joseph Schacht ini didasarkan pada proyeksi ke belakang yang kemudian hari dikenal dengan teori Projecting Back atau proyeksi ke belakang. Menurutnya proses adanya sanad ini sangat rumit dan penuh manipulasi. Pada akhir abad kedua muncul banyak ulama hadis dan ulama fiqih yang keilmuan dan pemikiran keduanya saling mengikat. Menurutnya pada akhir abad kedua hijriah ini ulama fikih menyandarkan hadis yang digunakan sebagai tendensi hukum kepada sahabat atau ulama yang masyhur hingga sambung sampai nabi. Hal ini menurut Schacht dilakukan guna mendapatkan pengakuan dan legitimasi atas benar dan Maqbul-nya suatu hadis dalam dunia akademis intelektual. Penjelasan Joseph ini tidak diterima oleh ulama hadis kontemporer dan bahkan mendapatkan banyak kritikan salah satunya dari Musthafa A’zami.
Menurut Musthafa A’zami pendapat ini ngawur dan tanpa tendensi. Menurut beliau walaupun munculnya Qadhi terdapat pada era Bani Umayyah, namun tradisi literasi fiqih sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW dan bahkan beliau sudah berijtihad. Tidak dipungkiri pula beberapa sahabat yang secara geografis berjauhan dengan nabi seperti Muadz bin Jabal juga melakukan ijtihad yang diselaraskan dengan nilai Al Qur’an dan sabda Nabi. Menurutnya Joseph terlalu kurang memahami sejarah sehingga kritik yang diberikan kepada ulama hadis dan tradisi fikih melenceng dari nilai akademis. Lebih jauh beliau melakukan penelitian di sejumlah kitab salah satunya kitab hadis milik Suhayl ibn Abi Shalih.
Lewat penelitiannya dalam kitab hadis Suhayl ibn Abi Shalih ini Musthafa A’zami menyimpulkan bahwa generasi ketiga periwayat hadis berjumlah 20 hingga 30 perawi yang semuanya tersebar di penjuru belahan dunia. Beberapa perawi itu berdomisili di Maroko, Yaman, Mesir, dan India dan menurut beliau mustahil dalam kurun tersebut perawi melakukan konspirasi hingga manipulasi teks dan sanad hadis. Sangat tidak logis pula apabila dari generasi setelahnya berkumpul dengan yang lainnya dalam rangka mempersamakan matan karena kendala letak dan kurun. Maka pada akhirnya teori Projecting Back dan kritik Joseph terhadap hadis oleh Musthafa A’zami dinilai gagal dan cacat.
Penulis : Ahmmad Misbakhul Amin / Pengkaji dan Mahasiswa Ilmu Hadis
Suluk.id merawat Islam Ramah serta mengajak beragama yang menggembirakan