Suluk.id – Menjelang hari raya banyak sekali perbincangan oleh netizen maupun konten kreator tentang pertanyaan-pertanyaan yang sebaiknya tidak ditanyakan ketika silaturahmi di hari lebaran. Entah itu dikemas secara serius atau menjadi konten guyonan. Hari raya idul fitri identik dengan agenda anjangsana antar keluarga, sanak saudara, dan para tetangga – tetangga. Pasti akan ada moment untuk membuka perbincangan dengan mengajukan sebuah pertanyaan-pertanyaan. Pertanyaan ini yang bagi sebagian orang dianggap sensitif untuk dilontarkan. Termasuk para generasi kelahiran tahun 2000an yang sedang memasuki masa quarter life crisis.
Quarter life crisis dapat diartikan sebagai fase individu berusia antara 18-30 tahun yang mengalami periode keraguan atau kebingungan akan arah hidupnya. Ditandai dengan rasa tidak yakin akan tujuan, motivasi, kelabilan emosi, hubungan sosial, dan masa depan. Terlebih mereka juga dapat merasa cemas, stress, bahkan depresi karena terbebani oleh ekspektasi sosial.
Ekspektasi sosial ini yang kemungkinan besar mempengaruhi pertanyaan-pertanyaan yang dianggap sensitif atau yang dianggap beberapa orang tidak semestinya keluar dari mulut. Pertanyaan-pertanyaan seperti kapan nikah? Kapan punya anak? Kok belum hamil? Kok tambah gendut? Kapan lulus? Kerja dimana? Gaji berapa? dan lain sebagainya yang sering menjadi point of view pembahasan di dunia maya.
Ekspektasi sosial di masyarakat terjadi ketika adanya normalisasi atau sesuatu hal dianggap normal ketika sesuai dengan alur kehidupan menurut kebanyakan orang. Misalnya anggapan masyarakat tentang perjalanan hidup yang dilalui dengan fase anak-anak yang bersekolah, kemudian memasuki remaja yang mulai bekerja atau melanjutkan jenjang pendidikan, selanjutnya menikah, setelahnya hamil, melahirkan anak pertama, anak kedua, dan seterusnya. Yang mana fase-fase krusial tersebut banyak ditemui dalam quarter life crisis remaja atau dewasa awal.
Seseorang dianggap ‘normal’ ketika melalui fase-fase tersebut dengan mulus. Kemudian bagaimana jika perjalanannya tidak semulus ekspektasi sosial tersebut. Secara tidak langsung pula, diri sendiri menganggap bahwa dirinya tidak masuk ke dalam kelompok masyarakat ‘normal’ semestinya. Akhirnya pertanyaan-pertanyaan di atas dianggap sebagai pemicu pada dirinya untuk membandingkan diri dengan orang lain.
Yang terbesit dalam pikiran “Oh iya ya aku sendiri yang belum punya pasangan, aku sendiri yang sudah menikah belum punya anak, aku yang belum hamil, apakah aku tidak normal seperti kebanyakan orang”. Secara tidak langsung akan berpikir jika mereka gagal menjadi manusia normal. Anggapan ketidaknormalannya dalam memenuhi ekspektasi sosial mempengaruhi mental yang berpotensi menyebabkan kecemasan, anti sosial, stress hingga depresi.
Konteks Pesan Komunikasi dalam Pertanyaan
Secara singkat, dalam kajian ilmu komunikasi salah satu komponen yang ada dalam proses komunikasi yakni konteks komunikasi. Pesan-pesan yang disampaikan termasuk pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan tersebut tidak akan lepas dari pengaruh konteks. Konteks komunikasi merupakan bagaimana latar belakang situasi dan kondisi pesan ketika disampaikan.
Maka penting mengetahui situasi dan kondisi seperti apa pesan atau pertanyaan-pertanyaan tersebut dibuat kemudian dilontarkan. Misalnya, siapa yang membuat pertanyaan tersebut, apakah seorang teman dekat, saudara atau tetangga yang lama tidak berjumpa. Apalagi dengan seseorang yang mempunyai latar belakang ‘konflik’ sebelumnya. Entah konflik dengan orang lain atau diri sendiri, tentu dalam menangkap makna pesan yang berupa pertanyaan tersebut akan diterima berbeda.
Berbeda jika tidak mempunyai latar belakang konflik yang menimbulkan bekas luka mental, pertanyaan tersebut akan terasa baik-baik saja. Bahkan kemungkinan besar bisa diterima dengan baik. Pada intinya latar belakang siapa dan bagaimana hubunganya, akan menentukan pesan yang berupa pertanyaan-pertanyaan tersebut ditafsirkan berbeda-beda.
Akhirnya, sebagai pembuat dan penerima pesan dalam komunikasi, tentu lebih baik melihat konteks dari komunikasi mereka. Apakah sudah mengenal dekat, sekedar mengenal, atau baru mengenal. Apakah penerima pesan akan baik-baik saja atau justru mereka punya latar belakang yang memengaruhi mental sehingga malah dapat membuat suatu konflik.
Terakhir, cara mengatasinya, yakni merubah pandangan bahwa semua manusia memiliki kehidupan normalnya masing-masing. Memiliki jalan kehidupan sendiri-sendiri. Maka tidak harus semua sesuai dengan ekspektasi orang lain. Kemudian, tetap berprasangka baik, ekspektasi sosial masyarakat dapat kita anggap saja sebagai do’a.
Menanggapi pertanyaan juga dapat lebih santai, jika ditanya kapan nikah, kapan punya anak, kapan hamil, bisa dijawab “setelah ini atau pasti ada waktu yang tepat, jadi mohon do’anya saja”. Jawaban tersebut dapat menjadi afirmasi sekaligus do’a positif untuk diri. Kalau tidak bisa menjawab apapun, seperti dalam acara kuis-kuis di TV, bisa dijawab dengan kata “pass” dan lanjut ke pertanyaan selanjutnya. (mrc).
Islamic digital activist. Mugi Barokah Manfaat